“Dek, habis ini jangan tidur lagi, ya?” Nia mengingatkan.
“Aduh, Mbak. Sekarang kan hari Minggu, mau rebahan lah bentar, ya?” Luna merengek, mulutnya manyun.
“Jangan! Hari Minggu itu biasa ada jalan santai gitu di sini. Pasti Abi ngajakin kamu habis ini, deh.” Nia bicara sambil berlalu kembali ke kamarnya.
“Mbak Nia mau ke mana?”
“Ganti baju sekalian ngajakin Mas Rai,” ucap Nia dari dalam kamar. Sementara Luna tetap duduk di ruang makan keluarga.
Tadi mereka mengobrol sambil menikmati jahe hangat buatan Nia. Salah satu kegiatan yang rutin dilakukan keluarga besar Abi Jamal setiap pagi, kecuali jika puasa. Meneguk seduhan jahe hangat sebelum memulai hari memang sangat menenangkan bagi tubuh dan pikiran.
Suhu udara di kota kelahiran Luna itu memang tergolong dingin. Suhunya bisa mencapai belasan derajat celsius pada musim penghujan. Dan tidak pernah melebihi 300C pada musim kemarau. Keberadaan pohon-pohon besar yang rindang, taman kecil yang hijau, membuat suasana di rumah induk itu memang terasa begitu sejuk dan asri. Karena itu, rumah besar yang ditinggali keluarga Abi Jamal sama sekali tidak memerlukan pendingin ruangan.
“Sudah siap, Nduk?” Abi Jamal tiba-tiba muncul dari pintu dapur.
“Eh? Siap buat apa, Bi?” Luna malah balik bertanya.
“Loh, nggak dibilangin sama Mbak Nia?”
“Udah, kok, Bi.” Belum sempat Luna menjawab, Nia sudah keluar dari dalam kamar. Mengenakan rok panjang, kaos lengan panjang, dan kerudung kaos yang terlihat nyaman dikenakan. “Cepet ganti baju, Dek!” titahnya pada Luna.
“Assalamu’alaikum, Bi.” Lagi-lagi, belum sempat Luna beranjak dari kursinya, Ahsan sudah muncul di pintu belakang yang terhubung langsung dengan dapur.
“Wa’alaikumsalam. Gimana, Nak?” sambut Abi Jamal dengan senyum merekah. Laki-laki bertubuh tegap itu berjalan melewati Luna, menghampiri Ahsan.
“Para santri sudah siap, Bi.”
“Nah, dengar ‘kan, Nduk? Ayo cepat siap-siap juga.” Abi Jamal berbalik, menatap putri bungsunya yang melongo.
Jika kemarin pagi Luna mendapati Ahsan berpakaian rapi dengan kemeja lengan panjang, hari ini ia disuguhi pemandangan laki-laki rupawan bertubuh tinggi itu yang mengenakan pakaian olahraga. Kesan yang ditunjukkan pun jadi berbeda. Terlihat lebih santai tapi tetap berkharisma. Rambut hitam yang kemarin ditutup peci itu kini dibiarkan tersisir rapi ke belakang. Menampakkan dahinya yang lebar dan mempertegas keberadaan dua alis matanya yang tebal.
Luna menelan ludah, buru-buru beranjak dari duduknya. “I-iya bentar, Bi!”
***
Matahari baru saja terbit, sinarnya menyiram hamparan padi yang menghijau. Menciptakan kilau keemasan yang begitu indah. Di sana, di balik siluet gunung, bola api raksasa itu mengintip malu. Kegagahannya tetap terpancar meski baru sebagian tubuhnya yang terlihat.
Di tepi jalan raya yang menghubungkan kota kelahiran Luna dan kota sebelah, iring-iringan santri Pesantren Al-Jihad terlihat kompak berjalan. Rombongan paling depan ada Abi Jamal dan Raihan, suami Nia. Ditemani oleh Ahsan dan beberapa staf pesantren lainnya. Barulah di belakangnya, barisan panjang santri putra berjalan mengikuti ritme langkah Abi Jamal.
Nia dan Luna berjalan bersama barisan santri putri. Mereka enggan untuk berjalan lebih dulu, dan memilih ikut masuk ke dalam rombongan para guru.
“Ning Luna kapan datang?” Seorang ustadzah berbasa-basi pada Luna.
“Malam Sabtu kemarin,” jawab Luna sembari tersenyum tipis. Ia mengingat ustadzah itu, namanya Ustadzah Latifah. Salah satu guru paling senior di pesantren putri.
“Maa syaa Allah, makin cantik aja, Ning Luna.” Ustadzah lain menimpali.
Luna hanya tersenyum simpul sambil menggumamkan terima kasih.
“Sejak kapan, sih, ada jalan santai begini?” Luna membuka topik baru. “Kayaknya terakhir kali pulang belum ada, deh.”
“Baru tahun lalu, Ning.” Ustadzah Latifah yang menjawab. “Ini juga kehendak Abi Jamal. Awalnya cuma untuk guru-guru, tapi kemudian para santri juga dilibatkan.”
Luna mengangguk-angguk. “Iya, sih. Kalau semua guru-gurunya keluar jalan santai, siapa yang jagain santri ‘kan?”
Latifah mengangguk, “betul, Ning.”
“Kayaknya mereka juga seneng jalan-jalan begini.” Luna mengedarkan pandangannya ke belakang, menyaksikan wajah-wajah polos yang sumringah. “Tuh lihat, pada ketawa-ketawa.” Ia terkekeh di ujung kalimatnya.
“Maklum, Ning. Mereka ‘kan sehari-harinya terkurung di dalam pesantren. Jadi sekalinya keluar, biar cuma jalan-jalan begini jadi seneng.” Latifah tersenyum tipis. Diikuti anggukan dari ustadzah lain yang mendengar percakapan mereka.
“Betul juga. Dulu waktu saya masih tinggal di sini juga rasanya kayak dikurung. Nggak bisa ke mana-mana, sekolah juga di sini, main juga di sini, kalau mau ketemu temen yang di luar pesantren eh sama Abi malah mereka yang disuruh dateng.” Luna malah curhat.
“Hus!” Nia menyikut lengan adiknya.
“Apa?”
Nia tak menjawab, justru memelototi si bungsu yang mengedikkan bahu, tak peduli. Sementara di sebelah mereka, Latifah dan guru lainnya sibuk menahan tawa. Hanya satu orang yang terlihat berekspresi sama sejak tadi. Seorang gadis berkerudung cokelat tua yang berjalan di belakang Latifah. Sejak tadi juga, ekspresi wajah gadis itu cukup menarik perhatian Luna. Raut wajah yang terkesan menyimpan kesal padanya.
Luna melanjutkan langkahnya, tak memedulikan gadis di belakang Latifah. Ia menikmati udara pagi yang terasa segar mengisi paru-paru. Belum lagi pemandangan hijau di sisi kanan jalan yang sangat memanjakan mata. Pemandangan yang sulit sekali ia temui di ibukota.
Setengah jam berlalu, rombongan itu berbelok. Memasuki jalanan setapak yang diapit oleh rumah-rumah warga. Di ujung jalan, tampak hamparan tanah lapang yang sangat luas. Luasnya hampir menyamai lapangan sepak bola. Rumput tumbuh merata di atasnya.
Lima menit berjalan, seluruh rombongan sudah tiba di tanah lapang itu. Rok yang dikenakan Luna basah oleh embun di ujung rerumputan. Membuatnya sedikit menyingsingkan roknya.
Rombongan itu terbagi menjadi dua. Rombongan laki-laki menetap di ujung selatan lapangan. Berbatasan dengan sawah tebu yang sudah tinggi menjulang. Sementara rombongan perempuan mendapat jatah di ujung utara lapangan. Berbatasan langsung dengan hutan pinus yang gelap.
Dari kejauhan, Luna menyaksikan Abi Jamal mengobrol dengan Ahsan. Kemudian mereka menjauh dari kerumunan. Duduk di tepi lapangan, menyaksikan para santri yang mulai sibuk memilih permainan.
Tak berbeda jauh dengan santri putra, kini Latifah sudah sibuk memberikan wejangan-wejangan pada para santri putri. Mengingatkan agar tidak berpencar dan meninggalkan rombongan tanpa izin. Sisanya, mereka diperbolehkan melakukan permainan apapun.
“Ustadzah, main kasti boleh?” Seorang gadis berkerudung putih terlihat mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
“Boleh. Kalian bawa bola kasti dan pemukulnya?”
“Bawa, Ustadzaaaah!” jawab rombongan kecil itu serempak. Sepertinya, mereka adalah rombongan teman sekelas.
Maka menit berikutnya, para santri putri juga memulai permainan. Menggerakkan badan, membiarkan tubuh berkeringat, tertawa saat menang, dan tetap bahagia meski kalah.
Luna tersenyum di tempatnya duduk. “Mbak, kapan kita pulang?” tanyanya pada Nia yang juga duduk di sebelahnya.
“Bentar lagi biasanya Abi ngajak pulang,” Nia menoleh, memperhatikan Abi Jamal yang masih mengobrol dengan Ahsan dan Raihan. Beberapa guru juga terlihat berada di sekitarnya.
“Kalau gitu Luna jalan-jalan bentar, ya?”
“Mau ke mana?” tatapan Nia mengikuti gerakan Luna yang beranjak.
“Cuma jalan-jalan di sekitar lapangan aja. Bosen kalau duduk-duduk doang. Mbak Nia nggak usah ikut. Ibu hamil muda istirahat aja,” ucapnya sembari tersenyum manis.
“Ya sudah, hati-hati, ya?”
Luna mengangguk lalu mulai melangkah pergi. Menyusuri tepian lapangan, menuju pinggiran hutan pinus yang membuatnya penasaran.