Bab 6. Luna Hilang (?)

1254 Kata
Luna sudah tiba di tepian hutan pinus. Ia masih berjalan di atas gundukan tanah yang memagari hutan pinus. Langkahnya perlahan, seolah ia sedang bermain-main di sana. “Ini hutan tembus ke mana, ya?” bisiknya, bertanya pada diri sendiri. Luna mondar mandir, sembari sesekali menoleh ke arah lapangan. Menyaksikan para santri yang tertawa-tawa meski wajah mereka mulai memerah kepanasan. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Ada sebuah panggilan video masuk dari Jihan. “Halo, Jiiiii!” pekik Luna tertahan. Wajahnya sumringah bukan main. “Coba tebak gue shift malem sama siapa?” Jihan tak membalas sapaan Luna. Malah melontarkan sebuah pertanyaan. “Siapa?” Luna berbalik, membelakangi kerumunan. “Jeng jeng jeng!” Gambar di layar ponsel Luna bergerak cepat, lalu menampilkan wajah laki-laki yang amat ia kenal. “Hariiisss?!” Luna mengangkat alis, kaget. “Kok udah shift malem lagi? Bukannya pas sama aku tuh shift malem kedua?” “Hahaha, iya. Habis sama kamu itu off, kok. Tapi besoknya si Aryan minta gantiin jaga. Ya udah, deh. Berakhir shift malem sama Jihan.” Haris menjelaskan. “Permisi, ini pesenannya.” Obrolan mereka terpotong oleh seorang laki-laki yang mengantar dua mangkok bubur ayam untuk Jihan dan Haris. “Kalian udah pulang? Lagi makan di mana?” tanya Luna basa-basi. Ia mulai meneruskan langkahnya. “Sebenarnya belum jam pulang. Tapi karena lagi sepi dan yang shift pagi udah dateng, jadi kita izin makan keluar sekalian pulang. Hahaha,” jelas Jihan sambil mengaduk bubur ayamnya. “Jihan, kenapa buburnya diaduk, sih?” Tiba-tiba terdengar suara protes dari Haris. “Hahaha, marahin, Ris, marahin!” Luna justru mengompori. “Kenapa, sih?!” balas Jihan sewot. “Kalian tim bubur nggak diaduk, ya?” Layar ponsel Luna menampilkan wajah Jihan yang sedang menyuap bubur dengan dua alis yang bertaut heran. “Iya, dong! Jelek banget tampilan bubur ayam kalau diaduk tahu!” jawab Luna sambil terkekeh pelan. Ia tak sadar, langkahnya semakin menjauh dari kerumunan. “Biarin! Yang penting masih enak,” dengus Jihan sambil terus menyuapkan bubur ke dalam mulutnya. “Gimana di sana, Lun? Abi sama Ummi sehat?” tanya Haris, mengalihkan topik. Gegas, Jihan mengarahkan ponselnya ke Haris. Kini, layar ponsel Luna menampilkan sosok Haris yang juga sedang sibuk menikmati bubur ayamnya. “Alhamdulillah sehat semua. Ini aku lagi jalan santai sama Abi, guru-guru, sama santri sepesantren juga.” Luna mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, mengamati jalan setapak yang ia lewati, sedikit bertekstur sehingga harus membuatnya lebih berhati-hati. “Wah, dalam rangka apa?” “Nggak tahu tuh si Abi. Katanya udah rutin kayak begini tiap hari Minggu sejak tahun lalu,” jawab Luna sambil manyun. “Haha, tapi seru ‘kan jalan-jalan pagi di sana? Udaranya sejuk gitu, masih banyak sawah juga, pasti seger, deh.” “Betuuul!” Luna mengangguk-angguk. “Eh, Lun…” Kini wajah Jihan kembali tampil di layar. “Lo di mana, sih? Kok rada gelap gitu?” Luna tersentak. Badannya seketika menegang. Ia sudah merasa aneh sejak kakinya menjejak tanah yang tidak rata. Tapi entah kenapa ia malah abai dengan suasana di sekitarnya yang semakin gelap. Luna menggigit kecil bibir bawahnya, mulai mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru. Dan yang ia dapati adalah pohon pinus di mana-mana. Tinggi menjulang dan berbaris rapat, menghalangi cahaya matahari. “Ji…” panggil Luna parau. “Lun, lo nggak apa-apa?” “Kamu di mana ini, Lun?” Haris ikut berseru panik. Bahkan ponsel Jihan sudah beralih ke tangannya. “Kok kayak pohon semua itu?” Alis tebal laki-laki itu beertaut erat. “I-iya, nih.” Luna menelan ludah, rasa takut sekaligus panik mulai menjalari dadanya. “Apanya yang iya, Lun? Kamu di mana?!” cecar Haris makin panik. Setelah menyadari bahwa ia tak dapat melihat ujung hutan pinus, Luna kembali menatap layar ponsel. “Aku matiin dulu teleponnya, ya? Mau telepon Mbak Nia atau Abi.” “Oke. Tetap tenang, ya, Lun. Kabari lagi kalau ada apa-apa,” pesan Jihan. “Sip!” Luna mengacungkan jempolnya, lalu segera menekan tombol merah di layar. *** Ahsan berjalan ke arah Nia dengan cepat. Baru saja ia menerima perintah dari Abi Jamal untuk mengajak kedua putrinya pulang. Matahari sudah mulai tinggi, para guru dan santri juga sudah mulai kepanasan. “Ning Nia, sama Abi diajak pulang,” ucapnya sambil membungkuk ketika tiba di sebelah Nia. “Oh, iya,” jawab Nia singkat. Ia hanya menoleh sekilas dan kembali memperhatikan hutan pinus yang gelap. Ahsan mengikuti arah pandang Nia, “kenapa, Ning?” “Si Luna itu ke mana, ya? Tadi katanya mau jalan-jalan tapi sekarang udah nggak tahu di mana. Takutnya masuk ke dalam hutan,” jelas Nia. Kentara sekali ia sedang khawatir. “Nggak ditelepon aja, Ning?” usul Ahsan. “Nah itu masalahnya. Saya lupa bahwa hp, ketinggalan di rumah.” Nia beranjak bangun, menepuk-nepuk roknya. “Sebentar saya kembali ke Abi, minta tolong Abi telepon Ning Luna.” Nia mengangguk. “Tolong, ya?” “Saya juga boleh minta tolong nggak, Ning? Tolong sampaikan ke Ustadzah Latifah buat mulangin santri.” “Oke. Makasih, ya, Dek.” “Iya, Ning.” Laki-laki santun itu cepat berbalik dan kembali berlari ke rombongan laki-laki. Ketika tiba di dekat Abi Jamal yang ternyata sudah berdiri, ia langsung menyampaikan maksudnya. Abi Jamal tak banyak menjawab. Hanya saja, air wajahnya yang hampir selalu tenang itu berubah gelisah. “Nak Raihan, kamu bawa hp?” tanyanya pada sang menantu. “Enggak, Bi. Tadi ditinggal di rumah.” Raihan menggeleng lalu ikut bangkit. Ahsan ikut merasakan kegelisahan yang semakin intens. Tapi, bunyi dering ponsel segera membuyarkannya. “Maaf, Bi. Saya izin angkat telepon dari kantor Abi, ya?” “Kantor Abi, Nak?” Abi balas bertanya. “Iya. Mungkin Ummi Nur yang telepon.” “Biar Abi yang angkat.” Ahsan mengangguk, menyodorkan ponselnya ke arah guru sekaligus atasannya itu. “Halo, Mi?” “Abi!” Ummi Nur berseru di ujung telepon. “Kenapa, Mi?” “Luna, Bi. Luna barusan telepon ke hp Mbak Nia, katanya dia di dalam hutan.” Suara Ummi Nur terdengar panik. “Kok bisa dia masuk ke hutan nggak ada yang tahu? Cari Luna, Bi. Sekarang!” “Iya, Mi.” “Pastikan Luna nggak kenapa-kenapa, ya, Bi. Aduh, kasian sekali anak Ummi. Dia pasti ketakutan, Bi,” racau Ummi Nur yang terdengar semakin panik. “Ummi tenang, ya? Habis ini Abi cari.” “Kok habis ini? Sekarang, Bi. Sekarang!” “Iya. Abi tutup dulu teleponnya. Assalamu’alaikum.” Abi Jamal mengangsurkan ponselnya pada si pemilik. Ahsan menadahkan kedua tangannya, melihat layar ponselnya yang sudah kembali ke tampilan layar terkunci. “Ahsan sama Raihan ikut Abi. Kita cari Luna.” Titah Abi Jamal kemudian. “Anu, Bi,” potong Ahsan cepat. “Boleh saya sama Mas Raihan saja yang nyari? Abi tunggu di sini saja.” “Mana bisa Abi menunggu, Nak?!” Suara Abi sedikit meninggi. “Saya setuju dengan Ahsan, Bi. Abi tunggu di sini sambil mendoakan Luna baik-baik saja. In syaa Allah kami bakal cepat kembali,” ujar Raihan tenang. Abi Jamal terdiam sesaat, lalu menghembuskan nafas pelan. Benar, jika ia ikut masuk ke dalam hutan, itu justru membuat repot Ahsan dan Raihan. Salah satu dari mereka pasti ada yang harus betanggung jawab menjaganya. Meski ia menolak untuk itu, tak mungkin dua laki-laki muda itu tega membiarkannya menelusuri hutan tanpa penjagaan. Maka dengan berat hati, Abi Jamal mengangguk. “Cepatlah kembali,” lirihnya kemudian. Ahsan dan Raihan mengangguk mantap. Dua laki-laki yang tingginya hampir sama itu berbalik, berlari meninggalkan rombongan. Diantar oleh tatapan penuh kegelisahan sekaligus harap dari Abi Jamal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN