Bab 7. Harus Nikah Dulu, Kan?

1394 Kata
Lima menit yang terasa seperti lima jam. Sejak tadi ia ditemani oleh pesan-pesan w******p dari Jihan dan Haris. Ia melarang kedua sahabatnya itu untuk menelepon, demi menghemat baterai ponselnya yang sudah tersisa 15%. Namun, semakin lama di dalam hutan sendirian, kepanikan di dalam dirinya semakin membesar. Luna gelisah bukan kepalang. Ia menggigit bibirnya sesekali, menoleh ke sana ke mari, hingga menguliti batang pohon pinus tempat ia bersandar. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tidak segera berlari dari tempatnya berdiri, karena ia sendiri tak bisa menentukan arah mata ingin di dalam sini. Jika nekat berlari tak tentu arah, bisa saja ia justru masuk semakin dalam ke hutan. Sayangnya, Luna sudah tidak bisa lebih lama lagi menunggu. Lima menit lalu, Ummi Nur menelepon kembali dan menyuruhnya menunggu hingga ada yang datang. Tapi, Luna tak bisa sesabar itu. Dikelilingi ratusan bahkan mungkin ribuan pohon pinus tidak semenyenangkan itu. Setiap detik yang terlewati, membuat kepanikan semakin menggerogoti dirinya. Maka setelah berhitung dengan kemungkinan, Luna beranjak dan mulai melangkahkan kaki. Kali ini Luna tak ingin kecolongan. Berbekal sebuah ranting pohon ia mencoba memberi tanda pada setiap jalur yang dilewati. Agar ketika ia merasa semakin jauh dari ujung hutan, ia bisa kembali ke tempat pertama dan mencoba arah lainnya. Ponsel Luna kembali berdering, Ummi Nur menelepon. Sebenarnya, Luna tak ingin menerima telepon itu. Ia sedang berusaha mempertahankan baterai ponselnya selama mungkin. Tapi, tak mungkin juga ia menolak panggilan telepon itu. “Halo, Mi?” Luna menghentikan langkahnya. Ia tak mau mengulang kesalahan, berjalan ketika menelepon membuat langkahnya tak terkontrol. “Gimana? Udah ada yang datang?” “Belum, Mi.” Ummi Nur mendesah gelisah di ujung telepon. “Aduh, kamu pasti takut sendirian, ya, Nduk? Tetap tenang, ya. Semoga sebentar lagi siapapun datang jemput kamu.” Meski berusaha menenangkan, suara Ummi Nur terdengar bergetar menahan rasa khawatir yang membuncah. “Iya, Mi. Ummi, teleponnya ditutup dulu, ya? Baterai hp Luna tinggal dikit,” Luna menjauhkan ponselnya, mengintip persentase baterai di ujung kanan atas. Sudah 13%. “Oh, iya, Nduk. Semoga selalu dalam lindungan Allah, ya, Nduk.” “Aamiin.” Sambungan telepon terputus. Luna kembali melanjutkan langkah. Tangan kanannya menggores tanah di dekat pohon sebagai tanda. Pada batang pohon yang bisa dikelupas, itu yang ia jadikan tanda. Lima belas menit berlalu, Luna kembali ke tempat semula. Pasalnya, ia tak menemukan tanda-tanda ujung hutan. Daripada terus melangkahkan kaki lalu tersesat semakin jauh, Luna memilih kembali. Gadis berhidung mancung itu menengadah. Menatap ranting dan daun pohon pinus yang seolah memayunginya. Menutup akses cahaya matahari, membuat sekitarnya gelap meski tak gulita. Luna mendesah pelan, air matanya hampir saja meluncur jatuh. Tapi buru-buru ia hapus. Ia tidak mau menghabiskan energinya untuk menangis. “Aduh, laper,” keluhnya lirih. Sejak bangun tidur memang belum ada satu makanan pun yang masuk ke perutnya. Luna tak memedulikan perutnya yang mulai terasa perih. Ia memilih untuk kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini, ia memilih arah yang berbeda. Langkahnya sangat hati-hati. Ia juga tak lupa tetap memberi tanda pada batang pohon atau tanah di dekat batang pohon. *** Ahsan dan Raihan sudah berpencar sejak di mulut hutan tadi. Meninggalkan sebuah sebuah hasduk melingkar di salah satu batang pohon. Untuk selanjutnya, keduanya meninggalkan tanda apapun agar memudahkan untuk kembali. Setelah setengah jam mencari dengan sesekali meneriakkan nama Luna, siapa sangka Ahsan justru menemukan ujung gua lainnya yang berbatasan langsung dengan sungai besar dan perkampungan warga. Ahsan mencapai ujung hutan itu berkat mendengar suara deras arus sungai. Ia gegas memberi tanda pada sebuah batang pohon lalu berbalik dengan mengambil arah yang berbeda. “Ning Lunaaaa,” teriakannya kembali menggema. Tak ada jawaban. Ia terus melangkah. Dalam hatinya merapal doa agar gadis itu baik-baik saja. “Ning Lunaaaaa,” Masih tak ada jawaban. Namun, setelah hampir semenit berlalu hening, sayup-sayup Ahsan mendengar jawaban. “Iyaaaaa! Luna di siniiiii!” Tubuh Ahsan menegang, merinding hebat. Dengan segala harap yang membubung tinggi, Ahsan mempercepat langkahnya. “Ning Lunaaaa. Jawab saya terus, ya!” Tanpa sadar, langkahnya berubah menjadi berlari kecil. Dadanya bergemuruh, jantungnya berdegup kencang. “Iyaaaa!” Suara itu terdengar lebih jelas dari sebelumnya. Ahsan melangkah mantap. Ia yakin arahnya sudah benar. Hingga akhirnya, suara berdebam terdengar tak jauh dari tempatnya. Ahsan menoleh, mendapati sosok yang tengah ia cari-cari tersungkur di tanah. Sekitar lima meter jauhnya. “Ning Luna!” pekiknya tertahan. Gegas ia berlari, menghampiri gadis bertubuh kurus itu. “Aduh, sakit.” Luna meringis, ia sudah duduk sebelum Ahsan mencapai posisinya. Luna mendengus, memijit kakinya yang sepertinya terkilir. “Ning Luna nggak apa-apa?” Ahsan berjongkok, memindai seluruh tubuh Luna. Memastikan gadis itu baik-baik saja. Luna mengangguk. Ia menepuk-nepuk pakaiannya, menyingkirkan tanah yang menempel. “Ayo berdiri,” ajak Ahsan. Ia sudah lebih dulu berdiri. “Abi sama yang lain pasti khawatir kalau kita nggak segera kembali.” Luna tertunduk, kemudian mendesah pelan. “Maunya gitu. Tapi bentar dulu, duduk dulu.” Ahsan terdiam sejenak. Lalu menurut. Berjongkok di sebelah Luna. “Kakinya sakit, ya?” tanyanya prihatin. Luna menoleh, menatap kedua mata Ahsan yang lurus menatapnya. Ia mengangguk. Lalu tanpa sadar, air matanya menetes. Air mata yang sejak tadi ia tahan, ditambah perasaan lega dan senang yang menyeruak tiba-tiba. “Eeeh? Kenapa nangis?” seru Ahsan panik. “Sakit banget, ya, Ning? Aduh, gimana ini?” Jika Luna laki-laki, sudah sejak tadi Ahsan akan membantunya memijat pergelangan kaki yang nyeri. Tapi ini Luna, lawan jenis yang jelas tak boleh disentuh. “Hiks… hiks…” Luna semakin terisak. Bahunya berguncang. “Niiing, jangan nangis,” lirih Ahsan, setengah memohon. Sungguh, situasi ini membuatnya serba salah. “Huhu… Abiiii Ummiiii, Luna takut. Kaki Luna sakiiit!” Bukannya meredakan tangis, Luna malah semakin merengek. Wajahnya sudah banjir oleh air mata. Ahsan meringis, menatap Luna bingung. Tapi laki-laki itu menyadari satu hal, Luna tetap cantik meski wajahnya kotor oleh tanah dan basah oleh air mata. “Ning Luna perempuan, sih…” celetuknya tiba-tiba. “Heh? Apa maksudnya?” Tangisan Luna mendadak berhenti. Kini, keduanya saling tatap. “Eh?” Ahsan baru menyadari ucapannya. “Maksud saya, kalau Ning Luna laki-laki ‘kan saya bisa bantu pijetin kakinya, bantu berdiri, bantu jalan, gitu. Kalau begini ‘kan…” Ahsan menggantung kalimatnya. Ia mengusap tengkuknya canggung. Luna mengulum senyum. Lucu melihat wajah Ahsan yang kebingungan. Ia juga tak menyangka bahwa wajah pertama yang ia lihat setelah hampir satu jam berteman sepi dan gelisah justru wajah tampan Ahsan. Betapa bahagianya Luna ketika berhasil menemukan asal suara tadi. Hingga membuatnya tidak awas dan jatuh terjerembab. Luna menoleh, sekali lagi memandangi wajah Ahsan yang tertunduk. Jika saja akal sehatnya tak mengingatkan, mungkin tadi ia akan berhambur memeluk Ahsan. Saking leganya. Tapi sepersekian detik sebelum tubuhnya impulsif bergerak, peringatan itu berdenting di kepalanya. Luna terkekeh dalam diam. Lalu kembali disadarkan oleh rasa perih di perutnya. “Sudah bisa berdiri?” tanya Ahsan lebih dulu. “Bisa kayaknya.” Luna mencoba, namun sontak wajahnya meringis. Menahan nyeri di pergelangan kakinya. “Nggak apa-apa?” Wajah Ahsan dihiasi rona khawatir. Luna tersenyum tipis, mengangguk. “Aku lapar,” ucap Luna kemudian. Ahsan terdiam, terlihat berpikir. “Sebenarnya kita udah deket ke perkampungan penduduk. Coba dengar, ada suara arus sungai ‘kan?” Luna memfokuskan pendengarannya. Mencari suara yang dimaksud Ahsan. Lima detik berlalu, barulah ia menangkap sayup-sayup suara itu. Luna mengangguk. “Saran saya, gimana kalau kita keluar dari hutan lewat perkampungan penduduk? Tapi, jadinya kita terpisah dari rombongan.” Luna belum menjawab. “Soalnya kalau kita kembali ke lapangan, saya khawatir kaki Ning Luna makin sakit dan bengkak. Belum lagi Ning Luna udah lapar ‘kan? Kita bisa cari warung di perkampungan penduduk nanti,” jelas Ahsan. Lima detik berpikir, akhirnya Luna mengiyakan. “Saya telepon Mas Raihan dulu. Biar beliau kembali sekalian menyampaikan kondisi terkini.” Ahsan pamit menjauh. Luna memperbaiki posisi berdirinya. Mencari posisi terbaik agar kakinya tak terlalu merasakan nyeri. “Alhamdulillah Mas Raihan bisa ngerti,” ucap Ahsan setelah kembali. “Sekarang ayo berangkat, Ning.” Luna mengangguk. Meraih sebuah ranting pohon yang terlihat cukup kokoh. Menjadikannya tumpuan saat berjalan. “Maaf, ya, Ning. Saya nggak bisa bantu memapah,” ujar Ahsan disertai rasa bersalah. “Nggak apa-apa. Harus nikah dulu ‘kan biar halal dipegang-pegang?” “Eh?!” Keduanya saling tatap, lalu sontak memalingkan wajah. Beruntung suasana di dalam hutan masih cukup gelap, menyembunyikan semburat merah yang menghuni pipi keduanya. Mereka hanya perlu khawatir pada hening yang membuat degup jantung keduanya terdengar lebih keras dan tak beraturan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN