Sudah sejak 30 menit lalu seluruh santri pulang. Kini, tersisa Abi Jamal, Nia dan dua orang staf pesantren yang menatap pemimpin mereka sedang gelisah sembari mondar mandir.
“Harusnya tadi Abi ikut masuk saja ke dalam,” sesal Abi Jamal.
Tak ada yang menyahut. Antara takut salah bicara atau khawatir menyinggung perasaan Abi Jamal. Nia pun bungkam, hanya terus merapal doa agar adiknya baik-baik saja.
Hutan pinus itu memang luas. Sisi hutan yang berbatasan langsung dengan jalan raya saja sudah lebih dari 1 km. Entah bagaimana sisi hutan lainnya. Bukan hanya soal luasnya, tapi juga soal kerapatan dan ukuran pepohonannya. Membuat cahaya matahari sulit masuk dan tentunya merinding bukan main jika berada di dalamnya.
Beberapa kali santri putra melakukan jurit malam di sana. Itupun hanya untuk santri kelas menengah atas. Tentunya setelah panitia menyisir hutan dan memberi tanda agar memudahkan mereka keluar dari sana.
“Kenapa kamu pake ketinggalan hp segala, sih?” tanya Abi Jamal pada Nia.
Nia mendesah. Ia sama gelisahnya, jadi ketika disalah-salahkan begini rasanya kesal juga. Tapi bukan Nia jika ia tak bisa menghadapi Abinya dengan santun. “Maafkan Nia, Bi.” Hanya itu kalimat yang keluar dari bibirnya.
Abi Jamal mendengus, menatap dua staf pesantren yang ikut menunggu. “Kalian juga cuma bawa hp satu? Yang dibawa Raihan tadi?”
“Iya, Bi,” jawab keduanya serentak.
“Kenapa kamu nggak bawa juga?” tanya Abi Jamal pada salah satunya.
“Anu… ‘kan memang terbatas yang boleh bawa hp, Bi?” jawabnya takut-takut.
Abi mendengus. Serba salah.
“Bi!” tiba-tiba Nia memekik. Matanya melotot menatap salah satu sisi hutan.
“Raihan!” Abi Jamal gegas melangkah, mendapati Raihan yang sudah kembali membuat jantungnya berdegup kencang.
Empat orang itu cepat mendekat. Ikut tak sabar mendengar kabar dari Raihan.
“Gimana, Nak?” tanya Abi Jamal.
“Alhamdulillah Luna sudah ketemu,” jelas Raihan sembari tersenyum.
“Alhamdulillaaah…” yang lain ikut berseru lega.
“Di mana dia sekarang?” kejar Abi Jamal tak sabar. “Ahsan juga, kok belum keluar?” Abi celingukan ke sisi hutan yang lain.
“Ahsan yang menemukan Luna, Bi. Tapi karena posisi mereka ternyata lebih dekat ke tepi hutan yang lain, jadi Ahsan bilang mau keluar lewat sana.”
“Apa?!” sergah Abi Jamal tak suka.
“Tenang, Bi. Yang penting sekarang Luna aman sama Ahsan.” Nia mengusap lengan Abi Jamal, mencoba menurunkan emosinya.
“Berani-beraninya anak itu!”
“Bi…” Raihan ikut membantu mendinginkan mertuanya. “Ahsan cuma berusaha cari solusi terbaik. Kalau dia harus balik arah dan keluar di sini, bisa setengah jam lagi mereka sampai sini.”
“Ya, nggak apa-apa. Yang penting Luna dibawa ke sini!” sembur Abi Jamal cepat.
Raihan dan Nia saling pandang sesaat. Lalu Nia menjawab cepat, “sekarang kita telepon Hanif aja. Minta jemput pake mobil terus nyusulin Luna sama Ahsan. Gimana, Bi?”
“Iya. Begitu saja,” putus Abi Jamal tak kalah cepat.
Semua mendesah lega. Hampir saja mereka terimbas kemarahan Abi Jamal.
Mungkin karena terlalu gelisah, Abi Jamal yang sedang dalam keadaan emosional jadi mudah tersulut amarah. Belum lagi memang tak pantas bagi Ahsan dan Luna berduaan, jadi Abi Jamal semakin geram.
Abi Jamal terlihat berkali-kali menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Lalu setelah Raihan selesai menelepon, ia mendekati menantunya.
“Maafkan Abi, ya, Nak,” ujarnya lirih.
“Eh? Kenapa, Bi?”
“Tadi Abi membentakmu, padahal kamu sudah susah payah masuk hutan mencari adikmu.” Wajah Abi Jamal menyiratkan penyesalan. “Abi juga minta maaf sama kalian.” Tatapannya beralih pada dua staf pesantren yang ikut bersamanya.
“I-iya, Bi. Maafkan kami juga,” balas salah satunya. Sebenarnya mereka bingung hendak menjawab apa, asal saja.
“Terima kasih buat sarannya, Nak.” Abi Jamal merengkuh putri sulungnya, menepuk puncak kepalanya.
Nia tersenyum. Ia tahu, Abinya jauh lebih mampu mengendalikan emosi. “Sama-sama, Bi.”
Abi Jamal melepas rengkuhannya. “Abi juga harus berterima kasih sama Ahsan.”
Nia tersenyum lega. “Iya, Bi. Harus.”
“Tapi mungkin akan Abi kasih pelajaran sedikit,” seloroh Abi Jamal dengan senyum jahil.
“Bi? Mau ngapain?” Nia melotot.
Abi Jamal tak menjawab. Memilih mengajak yang lain untuk berjalan meninggalkan lapangan. Sebentar lagi, jemputan mereka pasti datang.
***
Luna menutup mulutnya ketika berhasil keluar dari hutan. Kedua matanya berkaca-kaca, menatap sekitar yang sepi. Hanya suara deras arus sungai yang terdengar.
“Huhuhu… hiks….” Tiba-tiba ia kembali terisak.
“Kenapa, Ning?” tanya Ahsan khawatir.
“Nggak pernah ngerasa seseneng ini ngelihat alam bebas, hiks… hiks….” Luna menutup wajahnya, menangis di sana.
Ahsan mengulum senyum. Membiarkan Luna menyelesaikan emosinya.
Menit demi menit berlalu, akhirnya gadis itu mengusap wajah. Menyelesaikan sesi menangis terharu. “Ayo, jalan!” ajaknya kemudian.
Ahsan mengangguk, tersenyum. Senang karena Luna sepertinya sudah tak sesedih dan setakut tadi.
“Lewat sini, Ning,” katanya menunjuk jalan di tepi sungai. Mengarah ke jembatan yang dibangun warga seadanya.
Beberapa meter lagi mereka akan tiba di kawasan pemukiman penduduk.
Luna membiarkan Ahsan memimpin perjalanan. Tapi, sepertinya itu merupakan kesalahan. Karena sekarang, ia jadi tak fokus pada jalanan di hadapannya. Justru sibuk mengagumi punggung Ahsan yang bidang, langkahnya yang tegap, serta tubuhnya yang tinggi benar-benar menambah indah pemandangan di hadapannya saat ini.
”Astaghfirullah…” Luna buru-buru beristighfar. Menundukkan pandangan.
“Kenapa, Ning?” Ahsan berbalik.
“Enggak, enggak. Cepet jalan aja.” Luna memegangi pipinya yang memanas, tak berani menatap Ahsan.
“Nggak boleh cepet-cepet, dong? Kaki Ning Luna ‘kan sakit, saya harus mengimbangi kecepatan Ning Luna.” Ahsan tersenyum.
Luna menahan nafas. “Wah, memang harus jaga pandangan, nih,” bisiknya pelan.
“Kenapa, Ning?”
“Nggak apa-apa. Cepet jalan!” tanpa sadar, Luna justru berteriak.
Ahsan mengangkat alis, cukup terkejut dengan reaksi Luna. Tapi detik berikutnya, ia justru tertawa geli. “Ning Luna lucu, ya,” komentarnya lalu berbalik. Melanjutkan perjalanan.
“Hah?! Lucu apanya?!”
“Eh? Maaf kalau tersinggung.” Ahsan melirik Luna yang kini berjalan lebih ke depan. Nyaris menjajari langkahnya.
Luna mendengus. “Apanya yang lucu?” Ia menurunkan intonasi suaranya.
“Ya… lucu. Nggak seperti Ning Nia atau Gus Hisham.”
“Kenapa? Kalau mereka kelihatan serius terus, ya?” tebak Luna, melirik Ahsan sekilas.
Ahsan mengangguk. “Iya. Mereka berdua punya aura seperti Abi Jamal. Kayak otomatis bikin orang segan gitu.”
“Kalau aku?” Entah kenapa, Luna jadi penasaran bagaimana penilaian Ahsan tentang dirinya.
“Hm, mungkin karena kita seumuran dan dari kecil saya sudah sering lihat Ning Luna, jadi kesannya lebih merakyat?” Ahsan menoleh, tidak yakin dengan diksi yang dipilihnya.
Luna terkekeh, “merakyat? Udah kayak anggota DPR aja merakyat.”
Ahsan ikut tertawa kecil. “Yah, pokoknya begitu.”
Luna mengangguk-angguk. “Baguslah kalau begitu.”
“Kenapa kok bagus?”
Ahsan mulai melangkahkan kakinya ke jembatan kayu. Sembari terus memperhatikan Luna, memastikan gadis itu bisa melalui jembatan dengan selamat.
“Memang maunya begitu. Karena kalau orang-orang segan tiap berinteraksi denganku, jadinya nggak bisa akrab.”
“Berarti… kita boleh akrab?” tanya Ahsan sedikit ragu.
“Hm… boleh,” jawab Luna malu-malu.
Di sisi kiri jembatan, Ahsan justru dengan berani menatap Luna. Tersenyum mendengar jawaban sang gadis.