Luna dan Ahsan sudah tiba di sisi sungai satunya. Menjejak tanah yang lebih datar dan kokoh. Menyusuri perkampungan yang masih cukup sepi.
Tak jauh dari sungai besar itu, salah seorang warga terlihat membuka warung makan di depan rumahnya. Ia menjual nasi pecel dan beberapa gorengan.
“Mau makan di sana aja?” Ahsan menawarkan.
“Boleh, deh. Apa aja. Udah laper banget.”
Ahsan mengangguk. Lalu mendahului Luna, berjalan menghampiri warung makan sederhana itu. Karena matahari sudah cukup tinggi, warung makan itu sepi. Warga di sekitar sudah menyantap sarapan mereka beberapa menit setelah matahari terbit. Itu sudah jadi kebiasaan. Sarapan sepagi mungkin, lalu gegas berangkat ke sawah.
“Nasi pecelnya masih ada, Bu?” tanya Ahsan begitu tiba di depan warung.
“Ada, ada. Gorengannya juga masih anget ini baru habis goreng,” jawab wanita sang penjaga warung ramah. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar.
“Nasinya 2 porsi, ya, Bu.” Ahsan mengacungkan dua jarinya.
“Makan sini atau dibungkus?”
Ahsan tak langsung menjawab, memilih menoleh ke arah Luna.
“Makan sini aja,” jawab Luna yang mengerti maksud sikap Ahsan.
“Makan sini aja.”
Wanita hampir separuh abad itu mengangguk mantap. “Duduk dulu, ya. Ibu buatin dulu,” katanya sembari menunjuk kursi panjang di sisi lain teras rumahnya.
Ahsan dan Luna menurut, duduk berjauhan di kursi panjang yang kosong itu.
“Gorengannya berapa, Bu?” tanya Ahsan lagi. Melihat setumpuk bakwan sayur dan tempe tepung yang tampak lezat.
“Lima ratusan. Murah aja. Di sini kalau mahal dikit nggak laku,” jelas ibu penjaga warung tanpa diminta.
“Ning Luna mau?”
“Hm… boleh, deh.”
“Mau berapa?” Ahsan sudah beranjak dari duduknya, melepas tas kecil yang menyilang di tubuhnya.
“Tempe aja 2.”
Laki-laki itu mengangguk, kemudian berlalu menuju ibu penjaga warung yang terlihat sibuk menyusun lauk pauk di piring.
“Lauk pecelnya mau apa?” si ibu bertanya.
“Ning Luna mau apa lauk pecelnya?”
“Telur dadar aja, Bu.”
“Saya samain juga, Bu,” timpal Ahsan.
Ibu penjaga warung mengangguk, masih dengan senyum ramah yang menyertai.
Sementara Ahsan sibuk mengisi piring yang ia bawa dengan gorengan, Luna sibuk memeriksa ponselnya. Ada beberapa pesan dari Haris dan Jihan. Ia membalasnya segera, memberitahu mereka bahwa ia baik-baik saja dan sudah keluar dari hutan.
Tiba-tiba, Luna teringat permintaan Jihan untuk mengirimkan foto Ahsan. Kebetulan sekali sekarang laki-laki yang dimaksud sedang bersamanya. Luna cepat-cepat mengangkat ponselnya, mengambil sudut foto terbaik yang ia bisa.
Luna menekan tombol, mengambil gambar. Dalam waktu kurang dari 2 detik, ia mendapatkan foto side profile Ahsan yang ternyata cukup membuat tercengang. Hidung mancung, bibir tipis berwarna merah muda dan garis rahang yang tegas, benar-benar terlihat menawan.
Luna menahan nafas, lalu merutuki dirinya yang secara impulsif mengambil foto orang lain tanpa izin.
“Dihubungi orang rumah?” Ahsan sudah tiba di kursi panjang itu lagi. Bertanya setelah melihat Luna sibuk dengan ponselnya.
“Eh? Bukan. Anu…” Luna gelapagan, cepat-cepat menyembunyikan ponselnya. Ia terdiam sejenak, mendesah pelan, lalu memperbaiki bicaranya. “Bukan. Temen,” lanjutnya dengan lebih tenang.
Tepat ketika ibu penjaga warung mengantarkan pesanan mereka, ponsel Ahsan berdering. Dari Abi Jamal.
“Assalamu’alaikum.” Suara Ahsan terdengar santun.
Luna langsung bisa menebak siapa yang menelepon.
“Wa’alaikumsalam. Di mana kamu, Nak?” suara Abi Jamal terdengar sedikit terburu-buru.
“Di desa sebelah, Bi.”
“Tepatnya di mana? Abi dalam perjalanan ke sana.”
Ahsan menanyakan nama pemilik warung ini lalu memberitahukannya pada Abi Jamal.
“Ya sudah. Jaga putri Abi dengan baik, sebentar lagi Abi sampai.”
“Baik, Bi.”
“Kenapa?” tanya Luna usai Ahsan meletakkan ponselnya.
“Katanya Abi Jamal mau jemput,” jawab Ahsan tenang. Mulai menyantap nasi pecel di hadapannya.
“Ke sini? Naik apa?” Luna terkejut. Meski begitu, ia tetap melanjutkan sarapannya.
“Iya, ke sini. Naik mobil. Nggak pernah saya lihat Abi Jamal naik motor, Ning.”
“Oh, iya juga.”
Ahsan tersenyum. Sepertinya, sekretaris Abi Jamal itu memang murah senyum. Meski itu formalitas, tapi jelas menambah ketampanannya beberapa persen.
“Memangnya Abi kenal daerah sini?”
Ahsan mengangguk. “Abi kenal hampir seluruh warga sini. Dulu ‘kan Abi Jamal merintis pesantren dari sini. Masa Ning Luna nggak tahu?”
Gadis itu tak menjawab, ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Lalu menggeleng pelan. “Udah lama banget nggak ke sini. Jadi, lupa. Terakhir kayaknya pas masih SD.” Luna mengangkat bahu.
“Tapi kalau cerita perjuangan Abi Jamal membangun pesantren ini tahu ‘kan?”
“Tahu lah! Ya kali santri sepesantren tahu masa anak pimpinannya nggak tahu. Itu udah makanan sehari-hari, sampe hafal di luar kepala,” jelas Luna sedikit sewot.
Ahsan mengulum senyum, gemas melihat Luna bercerita sambil manyun.
“Abi kedengeran marah nggak?” tiba-tiba Luna khawatir akan kemungkinan itu.
“Hm? Enggak kayaknya. Biasa aja, sih.”
“Kamu pernah dimarahi Abi?”
Ahsan menoleh, “pernah banget, Ning.”
“Gara-gara kenapa?”
“Dulu, awal-awal ditawari untuk jadi sekretaris Abi. Beliau ngasih tugas baca kitab gundul plus nerjemahin.” Ahsan memberi jeda, menyuap sesendok penuh nasi pecel.
“Terus?”
“Banyak salahnya,” kekeh Ahsan. “Jadi dimarahi. Beliau bilang ‘jadi begini lulusan Al-Jihad? Memalukan!’ Wah, waktu itu takut banget. Padahal udah mengerahkan seluruh kemampuan, Ning.”
Luna tertawa kecil. Mulutnya penuh dengan makanan. “Tapi kok tetep diterima?”
“Nah, kalau itu nggak tahu.” Ahsan mengedikkan bahu.
Hening sesaat. Luna hendak mengambil sepotong tempe goreng tepung.
“Pakai ini, Ning. Banyak minyaknya.” Ahsan menyodorkan selembar tisu yang ia ambil dari dalam tas.
“Wah, prepare banget kamu, ya?” Luna tersenyum, mengambil tisu pemberian Ahsan.
“Kebiasaan pergi sama Abi Jamal.” Ahsan kembali merogoh tasnya. “Kalau mau minum air juga ada,” katanya sembaru menyodorkan sebotol air mineral.
Luna mengangkat alis, lantas tertawa. “Terjamin banget, ya, kalau pergi sama kamu?”
Ahsan mengangguk mantap. “Betul. Karena udah terbiasa pergi bareng Abi Jamal yang perfeksionis, jadi kebiasaan well prepared, deh.” Laki-laki itu tertawa di ujung kalimatnya. “Pergi sama saya juga nggak perlu takut kelaparan, kok,” lanjut Ahsan tiba-tiba.
“Kenapa gitu?” Luna menoleh. Tertarik mendengar kalimat Ahsan barusan.
“Pasti saya traktir makan.” Ahsan tersenyum penuh arti, menatap Luna tepat di manik mata.
Sejenak, Luna mematung. Membiarkan tatapan mereka bertemu selama beberapa detik. Lalu ketika tersadar, cepat-cepat gadis itu memalingkan wajah. Menyuapkan sendok yang entah berisi apa.
“Ya, harus. Apalagi ini, harus ditraktir. Aku ‘kan nggak bawa uang,” celetuk Luna asal. Wajahnya sudah memerah. Apa, sih? Begini doang! Gerutunya dalam hati.
Ahsan tak kuasa menahan tawa. Ia tergelak pelan.
“Kenapa ketawa?”
“Saya ‘kan sudah bilang. Ning Luna lucu,” jawabnya tanpa rasa bersalah, bahkan kalimatnya terkesan tidak disaring sama sekali.
Luna melotot, memasang wajah kesal. Sayangnya, justru membuat Ahsan semakin tertawa gemas.