“Berapa, Bu?” Ahsan mengeluarkan dompetnya. Menunggu jawaban.
“Empat belas ribu sama gorengannya.” Penjual nasi pecel itu menjawab dengan tersenyum ramah, mengelap kedua tangannya ke celemek yang senantiasa ia kenakan.
Ahsan menyodorkan uang pas. Berterima kasih lalu berbalik. Tepat saat kedua matanya bertubrukan dengan tatapan Luna, ekor matanya justru menangkap sosok lain.
Luna mengikuti arah tatapan Ahsan, dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati Abi Jamal, Raihan, dan dua laki-laki yang tidak ia kenal sudah tiba di sana dengan berjalan kaki.
“Abi!” pekik Luna kaget.
Abi Jamal tak menjawab, tapi langkah kakinya yang mantap terus memasuki halaman rumah pemilik warung pecel itu. Di belakangnya, Raihan menatap iba pada Luna. Entah mengapa kakak iparnya itu berekspresi demikian.
Luna menelan ludah, bangkit dari duduknya. Berdiri menunggu Abi tiba dengan perasaan takut luar biasa. Mirip seperti kejadian beberapa tahun lalu ketika ia pulang terlambat ke rumah. Menjelang maghrib baru tiba karena sibuk bermain dengan teman-temannya. Itu kejadian sudah lama sekali, saat Luna masih SMP. Tapi perasaan takut dan terintimidasinya masih kental.
“Assalamu’alaikum, Bu Min,” sapa Abi dengan wajah sumringah.
“Loh? Wa’alaikumsalam.” Wanita penjaga warung itu terkejut, tergopoh-gopoh keluar dari balik etalase warungnya. “Apa kabar, Kak Jamal?”
Luna melotot, semakin terkejut. “Apa tadi? Kak Jamal?”
“Baik, Alhamdulillah.”
Dua orang yang tampaknya sezaman itu berjabat tangan. Bu Min, si penjaga warung merekahkan senyum terbaik.
“Ada perlu apa ke sini, Kak? Nggak mungkin mau beli nasi pecel, ‘kan?”
Abi Jamal tergelak. “Enggak. Mau jemput anak saya, si Luna.”
“Luna? Fazluna yang pecicilan itu?”
Luna melipat wajah, malu dengan label yang disematkan Bu Min padanya. Sementara Ahsan sibuk menahan senyum.
“Iya. Masih pecicilan sampai sekarang. Masa Abinya ditinggal?” Abi Jamal memasang wajah pura-pura sedih.
Bu Min menoleh, menatap Luna yang tertunduk takut. “Oalaaah…” serunya setelah menyadari keadaan. “Ini Ning Luna toh?”
“I-iya,” jawab Luna seadanya.
Wanita hampir separuh abad itu menghampiri Luna. Menyentuh kedua lengan gadis itu. “Udah gede, ya? Sampe Bu Min nggak bisa ngenalin. Sekarang jadi dokter ‘kan, Ning? Sampe nggak pulang-pulang.”
“Hehehe, mau gimana lagi, Bu? Pasien ‘kan nggak ada liburnya, nggak kayak sekolah. Jadi ya gitu, susah mau pulang.” Luna mencoba ikut larut dalam atmosfer kekeluargaan yang tiba-tiba tercipta begitu saja.
“Terus sekarang kok pulang?” Bu Min melirik Ahsan yang berdiri di belakang Luna. “Lagi lamaran?”
“Hah?!” Luna melotot.
“Itu… bukan calon Ning Luna?”
Luna terdiam, pipinya merona merah.
“Bukan, Bu. Saya sekretarisnya Abi Jamal. Tadi-”
“Sudah, sudah,” potong Abi Jamal cepat. “Saya mau jemput Luna malah ngobrol.”
“Loh, ya nggak apa-apa toh? Duduk dulu juga boleh.”
“Belum bisa, Bu Min. Kapan-kapan, in syaa Allah. Saya bawa Luna sekalian sebelum dia kembali ke tanah rantau.” Abi menggamit tangan Luna, mengajaknya berdiri di sisinya.
“Yo wis kalau gitu,” lirih Bu Min, terdengar kecewa. “Kak Jamal jalan kaki ke sini?”
Abi tergelak pelan, “enggak. Saya sudah nggak sekuat warga sini. Kebanyakan kerja di belakang meja. Jadi dikit-dikit capek. Tadi naik mobil ke sini.”
Bu Min mengangguk-angguk. Mengantar tamu-tamunya ke halaman. “Hati-hati, ya. Oh ya, kayaknya tadi Bu Min lihat Ning Luna pincang gitu jalannya. Kenapa, Ning?”
Luna melipat bibir. Padahal sejak tadi ia berusaha berdiri dan berjalan dengan normal, ternyata Bu Min sudah menyadarinya lebih dulu.
Abi menatap putri bungsunya tajam. “Kamu kenapa, Nduk?”
“Anu… nanti di rumah aja ceritanya, Bi. Sekarang pulang dulu, ya?” Luna meringis. Ia tak mau dimarahi di hadapan banyak orang begini.
Abi mengangguk. “Luna pulang bareng Abi sama Mas Raihan. Ahsan ikut Hanif,” putus Abi Jamal kemudian.
“Memangnya Abi bawa dua mobil?” tanya Luna.
“Iya. Biar kalian nggak semobil,” pungkas Abi Jamal tajam.
“Kalian?”
“Kamu sama Ahsan.”
Luna terkesiap, menelan ludah dan menatap Abi Jamal horor. Tak menyangka dengan jawaban Abinya.
“Kenapa? Kamu maunya semobil sama Ahsan?”
“Abi apa, sih?!” sahut Luna sewot. Bibirnya manyun sementara kedua matanya sibuk melirik ke belakang. Mencari sosok Ahsan yang sayangnya tak terjangkau oleh ekor matanya.
***
Menjelang pukul sembilan pagi, ketika matahari sudah tinggi menyinari halaman depan kediaman Abi Jamal, mobil berwarna hitam metalik itu merapat. Menurunkan Luna yang dipapah oleh Abi Jamal. Sementara Raihan terus melajukan mobil, memarkir di tempat yang seharusnya.
Pemandangan itu tak luput dari tatapan tajam Elisha. Ia baru saja tiba di kantor adminstrasi pesantren, sedang membersihkan ruangan lalu keluar gedung untuk membuang sampah sisa potongan kertas.
“Biasa aja ngeliatnya, dong!” tegur Nuri yang baru saja ikut bergabung bersama Elisha. Membuang sampah yang tertinggal.
Elisha berdecak. “Ayo, masuk!”
Nuri ikut berbalik. Menjajari langkah teman seangkatan yang jadi dekat sejak diangkat menjadi staf administrasi.
“Alhamdulillah, ya, Ning Luna udah ketemu. Khawatir banget kenapa-kenapa tadi.” Nuri membuka topik obrolan. “Ustadz Ahsan sama Gus Raihan sampe lari-lari masuk ke dalam hutan. Apalagi Abi Jamal, belum pernah lihat Abi sepanik tadi.”
Elisha melengos. Tak menanggapi kalimat Nuri.
“Pasti takut banget sendirian di dalam hutan.” Nuri memeluk dirinya sendiri, bergidik ngeri.
“Lagian salah sendiri masuk ke dalam hutan,” sahut Elisha sewot.
“Heh, Elisha!” Nuri melotot.
“Apa?”
“Jangan sembarangan kamu, Lis. Nggak boleh begitu sama putri pimpinan.”
“Begitu gimana?” Elisha tak menggubris. Ia mulai menyalakan komputer di atas meja.
“Jangan pura-pura nggak tahu gitu. Tadi juga waktu jalan pagi, yang lain sumringah ngobrol sama Ning Luna, kamunya malah sinis begitu.” Nuri duduk di kursi sebelah Elisha, ikut menyalakan komputer.
“Masa aku begitu? Enggak tuh!” Elisha mengedikkan bahu, lalu sibuk mengamati layar komputer yang menampilkan logo windows.
“Iya! Kamu sinis banget tahu! Kayaknya Ning Luna juga nyadar, deh. Cuma nggak peduli aja.”
Elisha menoleh. “Masa?”
“Iya. ‘Kan sempat ngeliatin kamu gitu. Tapi terus ngobrol lagi sama yang lain, nggak peduli.”
Elisha mendengus, mulai menggerak-gerakkan mouse di tangannya. Tak menggubris ocehan Nuri yang terkesan memojokkan dirinya.
“Lis…” panggil Nuri setelah hening beberapa saat.
“Hm?”
“Kamu betulan soal waktu itu?” tanya Nuri hati-hati.
“Soal apa?”
“Mau ngajak Ustadz Ahsan ta’aruf?”
Elisha terdiam, seluruh tubuhnya membeku. Hanya jantungnya yang berdegup lebih kencang.
“Kayaknya nggak bakal dibolehin sama Ustadzah Latifah,” kata Nuri serius. Ia melirik sahabatnya, mengamati perubahan air mukanya.
Elisha masih diam. Tapi tangannya sudah mulai bergerak. Wajah terkejutnya juga sudah kembali datar.
“Mana ada orang berniat ta’aruf begitu, Lis? Ngajuin sendiri siapa calonnya.”
“Ada. Khadijah mengajukan diri buat dinikahi Rosul, kok.”
“Beda kasus, Lis!” Nuri memukul lengan Elisha pelan. “Lagian gimana kalau ternyata Ahsan belum berniat ta’aruf. Masih mau melajang gitu misalnya?”
Lagi-lagi Elisha bungkam. Sejujurnya, ia belum berpikir sejauh itu. Namun kemudian ia menyahut pelan. “Nggak apa-apa, aku coba dulu.”
Nuri terkesiap. “Wah, udah gila kamu, ya? Nekat banget.”
“Hus! Mulutmu, Nur!” balas Elisha santai. Namun tidak dengan tekadnya, ia telah memantapkan hati.