Pesantren Al-Jihad terdiri dari pesantren putra dan putri. Kedua pesantren ini berada dalam satu kompleks. Rumah pimpinan dan kantor administrasi berada di tengah-tengahnya, memisahkan kedua wilayah tersebut. Karena itu dalam beberapa kasus, pertemuan laki-laki dan perempuan tak dapat dihindari. Salah satu tempat yang paling sering terjadi pertemuan itu adalah di kantor administrasi.
Elisha sudah bekerja di kantor administrasi sejak lulus kuliah di pesantren itu juga. Al-Jihad juga memiliki sebuah sekolah tinggi agama yang letaknya berdekatan dengan komplek pesantren. Beberapa santri lulusannya melanjutkan kuliah di sana. Namun, tak sedikit juga yang melanjutkan studi di luar pesantren. Di antara santri yang melanjutkan studi sarjana di sekolah tinggi itu adalah Elisha, Nuri, dan Ahsan.
Tak seperti di pesantren, di sekolah tinggi mahasiswa dan mahasiswi belajar bersama dalam satu ruangan. Maka sejak itu Elisha mengenal Ahsan. Salah satu mahasiswa pintar yang tampan dan ramah. Kesayangan beberapa dosen yang tak segan membantu siapapun yang membutuhkan.
Selama empat tahun kuliah bersama Ahsan, interaksi keduanya sangat minim dan hanya seputar tugas kuliah. Elisha hanya melihat Ahsan sebagai sosok yang baik hati. Hanya saja, keadaan berubah sejak dua tahun lalu. Ketika Ahsan resmi diangkat sebagai sekretaris pribadi pimpinan pesantren.
Hari itu, Elisha terpaksa lembur bersama beberapa staf lain. Menjelang Idul Adha, kesibukan di kantor administrasi memang sedang tinggi-tingginya. Mengatur distribusi daging kurban yang paling menyita banyak waktu.
“Istirahat dulu, Ustadz, Ustadzah,” celetuk Ahsan dari ambang pintu kantor administrasi.
Pukul 11 malam, ia juga baru pulang dari kediaman Abi Jamal.
Elisha menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada proposal di hadapannya.
“Kamu juga baru pulang?” Seorang staf administrasi senior menyapa Ahsan.
“Iya.” Ahsan masuk, duduk di salah satu kursi kosong. “Nggak ada cemilannya, Ustadz?” Tatapannya beredar ke seluruh penjuru ruangan.
“Udah habis tadi. Itu yang akhwat yang ngabisin.”
“Apaan? ‘Kan dihabisin bareng, Ustadz!” sahut Nuri sewot.
“Ya udah biar saya belikan lagi sekalian mau keluar. Mau nitip apa?” Ahsan menawarkan diri.
Elisha menoleh lagi. Laki-laki itu masih sama saja, ramah dan baik.
“Beneran, nih, San? Nggak apa-apa?” tanya sang senior basa-basi.
“Beneran. Saya juga laper, mau cari makan. Tadi makan malam habis isya, sekarang udah laper lagi.”
“Ada apa, ya, jam segini di luar?” Senior itu tampak berpikir. “Ustadzah Nuri sama Ustadzah Elisha mau apa?”
“Bakso kalau ada,” sahut Nuri. “Kamu mau apa, Lis?”
“Apa aja, deh. Seadanya di luar,” jawab Elisha sembari melirik Ahsan sekilas.
“Oke. Saya pergi dulu, ya? Jangan ditunggu, takut lama. Hehehe,” ujar Ahsan cengengesan.
Elisha yang melihat itu jadi tersenyum tipis.
“Ngapain senyum-senyum, heh?” Nuri menyikut lengan Elisha.
“Apa? Nggak boleh senyum memangnya?” Elisha buru-buru mengembalikan tatapannya ke layar komputer. Memperhatikan tulisan dan angka di sana.
“Ustadz Ahsan emang ganteng, sih,” seloroh Nuri.
Elisha mendelik. Mulut Nuri memang tidak ada saringannya. “Hus!” tegurnya kemudian.
“Ngomongin Ahsan, ya?” Anas, senior staf administrasi itu tersenyum.
“Ini si Elisha senyum-senyum aja ngeliatin si Ahsan. Wajar, sih. Dulu juga banyak mahasiswi dari luar yang kepincut sama Ahsan. Ya nggak, Lis?”
“Apa, sih?!”
Anas tersenyum simpul. “Jaga hati, Ustadzah. Jangan kayak santri yang masih belum bisa jaga hati dan pandangan. Ustadzah pasti udah lebih ngerti.”
“Tuh, Lis. Dengerin!”
Elisha tak menjawab, lebih memilih fokus pada pekerjaannya. Lagipula, apa yang dituduhkan kedua rekannya belum tentu benar. Ya, belum. Karena pada momen berikutnya, Elisha benar-benar jatuh hati pada laki-laki bernama Ahsan itu.
Momen itu hanya berselang satu jam sejak obrolan mereka tadi. Ketika Ahsan kembali ke kantor administrasi. Memberikan beberapa macam cemilan dan bakso titipan Nuri.
“Ustadzah Elisha mau apa?” tanya Ahsan. Tangannya sibuk merogoh kantong plastik besar dengan logo sebuah minimarket yang cabangnya di mana-mana.
Elisha tertegun, tak menyangka bahwa Ahsan akan mengetahui namanya.
“Apa aja, seadanya. Sama minum kalau ada.”
Ahsan mengangguk, mengantarkan sebungkus besar kripik singkong dan sebotol teh dingin. “Biar saya bukain sekalian. Tangannya sibuk itu,” ujar Ahsan dengan senyum terkembang, menunjuk kedua tangan Elisha yang memegang proposal dan keyboard dalam waktu bersamaan
Laki-laki itu mulai sibuk membukakan bungkus kripik singkong dan tutup botol teh dingin tanpa tahu perbuatannya berhasil menggetarkan hati Elisha.
Elisha menahan nafas, buru-buru memalingkan wajah. Jantungnya berdegup kencang. Pipinya memanas. Ia menunduk, menekuri keybord komputer. Tak berani menatap Ahsan.
“Silakan dimakan, Ustadzah,” ucap Ahsan ramah dan berlalu meninggalkan Elisha yang sibuk meredakan degup jantungnya.
“Ustadz Anas, saya makan di sini, ya? Biar ada temennya.” Ahsan kembali ke kursi dekat pintu, membuka bungkus nasi gorengnya.
“Iya, boleh.”
Anas melirik Elisha yang masih menyembunyikan wajah. Ia mengerti apa yang terjadi. Sejak dulu, Ahsan ini memang mudah sekali menarik perhatian lawan jenis.
Sebelum menikah, Anas menjabat sebagai salah satu pengurus Majelis Pengasuhan Santri. Selama menjabat, beberapa kali surat-surat tak dikenal dari santri putri mampir ke tangannya. Sebagian besar tertuju untuk Ahsan. Bahkan beberapa kali, surat-surat itu diantar langsung oleh Ahsan. Membuat Anas mengerti bahwa Ahsan juga tidak menginginkannya.
Ahsan memang ramah pada semua orang. Bukan hanya senang membantu, wajahnya yang sumringah setiap diajak bicara selalu menyenangkan untuk lawan bicaranya. Tak jarang, sikapnya ini membuat lawan jenis baper alias bawa perasaan. Tapi hingga hari ini, tak pernah sekalipun terdengar desas-desus bahwa Ahsan sedang serius dengan seorang akhwat.
***
Momen kedua yang mampu membuat Elisha benar-benar melabuhkan hatinya pada Ahsan adalah ketika Idul Adha.
Pagi itu usai sholat id, Elisha sibuk memantau pembagian daging kurban. Hingga lewat tengah hari, urusannya baru selesai dan ia tersadar ternyata perutnya keroncongan. Belum ada sesuap nasi pun yang masuk.
Elisha masuk ke kantor administrasi dengan langkah gontai. Tadi ia sempat mampir ke dapur umum, mencari apapun yang bisa dimakan. Tapi sepertinya semua orang sedang sibuk, hingga kehadiran dan pertanyaannya tak digubris.
Elisha menghela nafas, lelah. Ia meletakkan kepalanya di atas meja, berbantalkan lengan. Menikmati sensasi perih di perutnya. Hingga tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kantor administrasi yang terbuka.
“Assalamu’alaikum.”
Elisha menegang di tempatnya duduk. Ia kenal betul suara ini. “Wa’alaikumsalam,” jawabnya setelah berhasil menguasai diri.
“Belum makan, ‘kan? Ini sate kambing sama nasi. Dimakan, ya?” Ahsan meletakkan piring di atas meja. “Saya balik dulu. Kalau sudah selesai, bawa piringnya ke dapur umum aja.”
“Ah, i-iya. Makasih,” jawab Elisha seadanya. Jantungnya sudah belingsatan sejak tadi.
“Sama-sama. Assalamu’alaikum,” pamit Ahsan dengan senyum cerahnya seperti biasa.
Pertemuan mereka singkat, kurang dari tiga menit. Tapi sukses membuat Elisha salah tingkah.
Hari itu, ia pikir bahwa mungkin Ahsan memiliki perasaan yang sama dengannya. Padahal, memang begitulah Ahsan. Laki-laki itu hanya tak sengaja melihat Elisha celingukan mencari makan. Lalu berinisiatif memberinya apa yang dibutuhkan. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak ada perasaan apapun di dalam sepiring nasi dan sate itu. Tapi namanya cinta, seringkali tumbuh semena-mena.