“Baru pulang, San?” Salman, salah seorang guru yang bertempat di kamar yang sama dengan Ahsan menyambut.
“Iya,” jawab Ahsan, senyum tipis tersungging.
“Gimana tadi? Ketemu Ning Lunanya?” Salman mendekat.
“Alhamdulillah ketemu.”
“Wah, Alhamdulillah. Ngeri banget bisa tersesat di dalam hutan pinus itu. Kita aja kalau mau masuk harus rame-rame, dia malah nekat sendirian.” Salman geleng-geleng kepala.
“Nggak sengaja itu katanya. Dia lagi teleponan sama temennya, tahu-tahu udah masuk hutan,” ujar Ahsan mengutip cerita Luna tadi.
“Oh gitu….” Kini Salman mengangguk-angguk. “Memang ada, sih, orang yang begitu. Kalau lagi fokus sama sesuatu jadi lupa sama sesuatu yang lain.”
Ahsan tak menjawab. Ia sibuk mengambil pakaian, hendak membersihkan badan.
“Mau ke mana?” tanya Salman.
“Mandi dulu, gerah.”
Ahsan berlalu, menuju kamar mandi khusus ustadz di dekat gedung asrama. Beruntung, sepertinya penghuni lain sudah mandi sejak tadi. Kamar mandi itu lengang, membuat Ahsan gegas menunaikan hajatnya.
Lima belas menit berlalu, laki-laki bertubuh tinggi itu keluar kamar mandi dalam keadaan segar. Rasa lelahnya sedikit berkurang. Lalu, ketika ia menyusuri lorong kecil di samping gedung asrama, tiba-tiba momen kebersamaannya dengan Luna berkelebat begitu saja. Wajah Luna yang cantik dan menggemaskan, pipinya yang bersemburat merah saat tersipu malu, terbayang jelas di benaknya. Membuat Ahsan senyum-senyum sendiri.
“Heh! Ngapain senyum-senyum gitu?” tegur Salman, ia sedang keluar kamar.
“Eh? Hahaha, enggak. Bukan apa-apa. Mau ke mana, Man?” Ahsan mengalihkan pembicaraan.
“Mau ngembalikan buku ke asrama sebelah.” Salman mengacungkan buku bertuliskan bahasa arab di tangannya. “Eh, iya, San. Tadi ada telepon dari Abi Jamal.”
Ahsan menghentikan langkahnya. “Kenapa kata beliau?”
“Nggak tahu,” Salman mengedikkan bahu. “Nggak berani ngangkat.”
“Oh, ya udah. Syukron, Man.”
Ahsan masuk ke dalam kamar. Segera mengambil ponselnya yang tergeletak di atas kasurnya. Benar, ada satu panggilan tak terjawab di sana. Laki-laki itu menggigit kecil bibir bawahnya, ada perasaan takut yang samar. Karena itu, ia memilih untuk tak langsung menghubungi Abi Jamal. Membiarkan perasaannya lebih tenang sedikit.
Usai merapikan barang-barangnya, Ahsan menghempaskan tubuh di kasur. Meraih ponselnya, menghubungi Abi Jamal.
“Assalamu’alaikum, Bi,” sapanya ketika sambungan telepon itu terhubung.
“Wa’alaikumsalam. Di mana, Nak?” balas Abi Jamal. Nada suara Abi Jamal terdengar tenang dan kebapakan seperti biasa.
Ahsan menghela nafas lega. “Di asrama, Bi. Ada apa? Maaf tadi teleponnya nggak terangkat. Saya sedang di kamar mandi.”
“Iya, enggak apa-apa. Kalau sudah selesai semua ke rumah Abi, ya?”
“Oh, iya, Bi. Siap. Ada lagi yang dibutuhkan, Bi?” tanya Ahsan santun.
“Nggak ada. Ke sini aja.”
“Baik, Bi.”
Sambungan telepon terputus. Ahsan menatap ponselnya. “Panggilan biasa ternyata. Padahal udah takut dimarahi gara-gara tadi,” gumamnya.
***
Matahari sudah tinggi ketika Ahsan tiba di kantor kesekretariatan. Tanaman di teras kantor terlihat berkilau tertimpa cahaya mentari. Meski terik, angin yang berhembus tetap terasa menyegarkan.
Ahsan masuk ke ruangan, sudah ada beberapa orang di sana. “Abi Jamal ada di dalam?” tanyanya setelah menguluk salam.
“Iya, masuk aja. Sudah ditungguin,” sahut salah satunya.
Ahsan mengangguk lalu mengetuk pelan pintu yang terhubung ke ruang kerja Abi Jamal.
“Masuk.” Suara berat Abi Jamal menyambut.
Ahsan memutar pegangan pintu, memasuki ruangan bernuansa tenang itu dengan senyum cerah seperti biasa.
Abi melihat Ahsan sekilas, kemudian melanjutkan kegiatannya. “Sebentar, ya, Nak. Kamu ke sini dulu saja.”
“Baik, Bi.”
Ahsan menurut, berjalan mendekati Abi Jamal. Mencium tangan laki-laki yang ia segani itu. Lalu duduk di sofa.
Lima menit berlalu, Abi Jamal menutup bukunya, melepas kacamata bacanya.
“Ahsan,” panggilnya.
Ahsan beranjak. “Ia, Bi?” Ia berjalan mendekat mendekat dengan santun, berdiri di sebelah meja kerja Abi Jamal.
“Tiga hari ke depan, kamu nggak usah ke sini. Pekerjaanmu akan diambil alih sementara sama Pak Ali,” ucap Abi Jamal tanpa basa-basi. Ia menyebutkan nama salah satu sekretarisnya yang lain.
Ahsan terkejut bukan main, ia bisa menyimpulkan bahwa dirinya sedang dihukum.
“Maaf, tapi kenapa, Bi?”
Abi Jamal menghela nafas, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.
“Abi sayang sama kamu, Nak. Abi sudah menganggapmu seperti anak Abi sendiri. Tapi bukan berarti kamu jadi bisa bepergian dengan anak perempuan Abi.” Sorot mata Abi Jamal teduh, meski begitu ada sedikit amarah di sana.
Ahsan memahami situasinya. “Maafkan Ahsan, Bi.” Ahsan menyebut namanya sendiri, pertanda obrolan mereka sedang lebih dalam dari sekedar atasan dan bawahan.
Abi Jamal mengangguk. “Abi mengerti maksudmu baik, kamu nggak punya maksud buruk. Bahkan Abi sangat berterima kasih karena kamu sudah menyelematkan Luna.” Abi menarik nafas dalam, lalu melanjutkan. “Tapi, Abi juga nggak mau kalian memaknai lebih kebersamaan kalian kemarin, apalagi mengikutinya dengan pertemuan dan obrolan-obrolan yang mengundang bisikan syetan.”
Ahsan mengangguk pelan, ia jauh lebih dari paham maksud kalimat Abi Jamal. Sayangnya, Abi Jamal kalah cepat dibanding benih cinta yang tumbuh begitu saja di hati pemuda tampan itu. Tapi Ahsan tetaplah Ahsan, ia menerima dengan lapang d**a hukuman dari Abi Jamal.
“Kamu paham maksud Abi, Nak?” tanya Abi Jamal lembut.
“Paham, Bi.”
Abi Jamal menghela nafas pelan. “Kalau begitu, kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu yang tertunda sampai sore nanti. Sisanya, akan dilanjutkan Pak Ali besok dan 3 hari ke depan.”
“Baik, Bi.”
Ahsan melangkah ke luar ruang kerja Abi Jamal usai berpamitan. Hatinya terasa berat, pun langkahnya. Tubuhnya yang biasa tegap itu terasa lunglai. Sayangnya, Ahsan belum menyadari bahwa semua itu akibat kekecewaan karena tak bisa bertemu Luna, putri bungsu sang pemimpin pesantren selama tiga hari ke depan.
Sementara itu di kamar si bungsu, Luna sedang sibuk mengompres kakinya yang terasa ngilu sambil berbalas pesan dengan sahabatnya.
“Aduh, ternyata ada bengkaknya,” gumam Luna. Memperhatikan kaki kirinya.
Ia kembali menyelupkan handuk basah ke baskom berisi air hangat, mengulangi mengompres kakinya.
Luna meraih ponselnya, ada telepon dari Jihan.
“Woy, Lunaaaa!” teriak Jihan histeris. Membuat Luna menjauhkan ponselnya.
“Pelan-pelan, Buk! Gue masih mau punya telinga normal,” sembur Luna.
“Wah, wah, wah. Itu, sih, namanya hidden visual, Lun.”
Luna terkekeh. “Ya ‘kan? Gue aja kaget pas pertama ketemu, kok bisa ada yang begitu di sini dan gue nggak tahu.”
Semenit lalu, setelah baterai ponselnya terisi penuh, Luna mengirimkan foto Ahsan yang ia ambil diam-diam pada Jihan. Menepati janjinya semalam. Dan tak disangka, Jihan langsung meneleponnya.
“Beneran dia santri sana?” tanya Jihan.
“Beneran. Dia cerita sendiri pas makan bareng tadi.” Luna bicara sambil menekan pelan kakinya yang sakit.
“Ceilee! Udah nge-date aja lo?” goda Jihan. Gadis itu tertawa geli di ujung telepon.
“Nge-date apaan?! Gue tersesat di hutan, Ji!” sahut Luna kesal.
“Hahaha, ya nggak apa-apa, ‘kan? Jadinya bisa sarapan bareng ayang.” Jihan belum berniat berhenti menggoda.
“Ayang, ayang, ayang jago?!” ketus Luna.
Di seberang sana, Jihan justru tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu kamar Luna. Lalu suara lembut Ummi Nur terdengar.
“Eh, Ji. Udah dulu, ya? Ummi nyariin, nih.” Luna turun dari ranjang.
“Oke. Kabari lagi kalau lo ada kemajuan sama si Ahsan itu, ya? Minimal maju ke pelaminan gitu.”
“Diem, Ji!” Luna mendelik, meski tentu Jihan tak dapat melihatnya.
“Hahahaha,” gelak Jihan membahana.
“Dah, gue tutup. Assalamu’alaikum!”