Bab 13. Mumpung Abi Pergi

1242 Kata
Hari Senin pagi, kaki Luna sudah terasa jauh lebih baik. Ia memilih untuk berjalan-jalan di sekitar rumah sebentar. Menikmati segarnya pagi, menyejukkan mata dengan pemandangan rumput dan pepohonan hijau, menghirup udara yang belum tercampur polusi. Hingga tanpa sadar, ia justru tiba di depan kantor kesekretariatan. Luna menengok ke dalam kantor yang gelap, lalu tersenyum tipis. Teringat akan pertemuan pertamanya dengan Ahsan. “Eh!” Luna terdiam, ia teringat sesuatu yang lain. Kemudian gegas kembali ke dalam rumah. “Kok udah balik, Dek?” sambut Nia yang – seperti biasa – sedang menyiapkan sarapan. Kediaman Abi Jamal memiliki tiga pintu masuk. Pertama, pintu di sebelah utara. Pintu ini khusus untuk tamu-tamu pribadi Abi Jamal yang tidak ada kaitannya dengan bisnis atau kepentingan pesantren. Tamu-tamu pribadi anggota keluarga Abi Jamal yang lain juga akan dijamu di sini. Lalu yang kedua, pintu barat. Ini adalah pintu yang terhubung dengan kantor kesekretariatan. Pintu khusus untuk staf pribadi Abi Jamal, termasuk Ahsan dan Pak Ali. Dan yang terakhir, pintu belakang atau pintu selatan. Pintu ini mengarah langsung ke dapur rumah induk. Ini adalah satu-satunya pintu yang bisa diakses oleh siapa saja. Anggota keluarga, saudara dekat atau jauh, rekan bisnis, hingga para guru dan santri pesantren. “Iya, keinget sesuatu.” “Apa emang?” “Ubi yang waktu itu masih ada nggak, Mbak?” “Ada. Mau Mbak bikin donat ubi ini,” ujar Nia sambil meletakkan tahu kukus di atas meja. “Emang Mbak bisa?” Luna menatap kakaknya penuh keraguan. “Heh, kamu ini!” Nia menyubit gemas pipi adiknya. “Bisa, dong! Mbak ‘kan belajar,” jawab Nia bangga. Sedikit mengangkat dagunya. “Halah! Awas gagal,” cibir Luna. Nia tak menggubris, sibuk menabur bumbu pada sayur asem buatannya. “Kamu kenapa nanyain ubi tadi?” “Oh, iya. Mau bikin bola ubi, dalamnya dikasih cokelat. Hm, enak banget!” Luna memasang raut wajah seolah sedang menyantap makanan yang dimaksud. “Ya udah, sana bikin.” “Nanti lah. Mau sarapan dulu.” “Assalamu’alaikum,” sapa seseorang dari ambang pintu. “Wa’alaikumsalam.” Nia menoleh. “Oh, Pak Ali sudah datang?” “Iya, Ning.” Rumah induk itu memang terbuka untuk siapapun. Seluruh keluarga Abi Jamal pun memahami hal tersebut. Karena itu, siapapun yang berada di dalamnya harus senantiasa menjaga aurat. Satu-satunya ruang paling privasi di rumah besar itu adalah kamar masing-masing penghuni. “Dek, tolong panggilin Abi. Pak Ali sudah datang gitu. Sekalian Ummi Nur juga, ajak sarapan,” titah Nia pada adiknya. Luna mengangguk, segera masuk ke dalam rumah. Luna mengenal Pak Ali. Sekretaris Abi Jamal sejak ia berusia belasan tahun. Ia juga cukup dekat dengan Pak Ali dulu. Tapi sejak kuliah, hubungan mereka jadi renggang begitu saja. Lima menit kemudian, Abi Jamal, Ummi Nur, dan Luna sudah kembali ke dapur sekaligus ruang makan. Benar kata Nia, sarapan sudah siap. Terbukti dari meja makan yang sudah penuh oleh aneka lauk pauk, nasi, dan tak ketinggalan minuman hangat. Abi Jamal menyambut Pak Ali sumringah, memeluk laki-laki yang lebih muda lima tahun darinya itu. “Sudah sarapan, Pak?” tanya Abi Jamal. “Belum,” jawab Pak Ali santun. “Ayo sarapan bareng,” ajak Abi Jamal. Pak Ali mengangguk. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa siapapun yang diundang Abi Jamal ke rumahnya di pagi hari, maka pasti akan diajak sarapan. Jika undangan itu bertepatan dengan makan siang atau makan malam pun juga begitu. Akan selalu disiapkan hidangan besar untuk tamu. Semua orang sudah siap, duduk melingkari meja makan. Ummi Nur menyendokkan nasi ke piring Abi Jamal, sementara Nia membantu mengisi piring Raihan dengan nasi dan lauk pauk. “Abi mau ke mana?” tanya Luna sebelum mulai makan, piringnya sudah penuh. “Ada urusan di kota sebelah,” jawab Abi Jamal tenang. Luna mengangguk-angguk. “Nggak pergi sama Ahsan?” Sontak semua orang menoleh ke arah Luna. Bahkan gerakan tangan Nia terhenti demi mendengar kalimat adiknya. Abi Jamal berdehem pelan, wajahnya mengeras, bahkan suaranya terdengar lebih dingin dan tajam. “Enggak.” Luna terdiam sejenak. Ia menyadari perubahan intonasi dan raut wajah Abi Jamal. Prasangka-prasangka buruk mulai memenuhi kepalanya. *** “Dek, kamu nggak tahu kalau si Ahsan diskors?” bisik Nia sambil sibuk mencetak donat ubi. “Diskors?!” Luna melotot, tangannya yang sedang mencetak bola-bola ubi seketika terhenti. “Udah kayak sekolah aja diskors,” komentarnya kemudian. “Tapi iya, loh! Si Ahsan beneran diskors sama Abi. Nggak boleh ke sini selama 3 hari ke depan,” jawab Nia serius. “Eh, serius, Mbak? Kenapa?” Luna mendekatkan posisinya. Mau mendengarkan lebih jelas cerita dari Nia. Karena kakaknya itu bercerita sambil berbisik. Entah kenapa. “Masa kamu nggak bisa nebak?” Nia malah balik bertanya. Luna berpikir sejenak. “Jangan bilang gara-gara nolongin Luna?” Nia mengangguk. “Masa?! Masa gara-gara itu?” Luna ternganga, matanya mendelik kaget, alisnya terangkat tinggi. Gadis itu benar-benar terkejut. “Dek, kamu naksir Ahsan, ‘kan?” tuduh Nia sambil memicingkan mata. Menatap adik bungsunya penuh curiga. “Ih, Mbak! Kenapa malah tanya begitu?” Luna manyun, pura-pura kesal. Padahal hatinya jumpalitan. Takut ketahuan. “Jangan bohong sama Mbak Nia, Dek! Kamu tuh kebaca banget. Dari awal, kamu tertarik ‘kan sama Ahsan?” Luna menelan ludah. Benar, susah untuk mengelak dari kepekaan Nia. “Kayak Mbak Nia bilang. Tertarik aja. Nggak sampai yang gimana-gimana,” ujarnya pelan. Nia menghela nafas pelan. “Kok bisa, sih, Dek? Emangnya di kampusmu nggak ada yang ganteng apa? Si Haris itu masa nggak ganteng?” “Mbak, bukan cuma soal ganteng, ih!” Luna menyenggol lengan kakaknya. “Terus apa?” “Nggak tahu.” “Kok nggak tahu?” “Males, ah! Nanti diledekin.” Nia tergelak. “Hahaha, enggak enggak.” Belum sempat Luna menjawab, terdengar suara berisik dari luar rumah. Maka gadis itu beranjak. Ingin mengetahui apa yang terjadi. “Ustadzah Latifah!” seru Luna ketika melihat sosok yang dikenalnya berada di depan rumah induk. “Ning Luna, ada apa?” Latifah berjalan mendekat. “Mau ngapain ke sini?” “Oh, itu. Ada rapat TU di ruangan depan.” Latifah menunjuk sebuah ruangan terbuka yang berjarak beberapa meter saja dari rumah induk. Itu memang ruangan khusus untuk pertemuan-pertemuan semacam rapat yang melibatkan pesantren putra dan putri. Luna mengangguk-angguk. “Sama ustadz-ustadz gak?” “Iya. Kenapa, Ning?” “Anu, nanti minta tolong panggilin satu ustadz suruh ke sini setelah rapat, ya?” “Ustadz siapa, Ning?” tanya Latifah tak mengerti. “Siapa aja,” jawab Luna antusias. “Siapa aja?” “Iya!” “Hm, ya udah nanti saya panggilin. Siapa aja, ya, Ning?” Latifah memastikan bahwa pesan Luna tidak keliru. Luna terlihat berpikir sejenak. “Eh, yang seangkatan atau seasrama sama Ahsan aja,” sahutnya sambil nyengir. “Tapi kalau nggak ada, siapa aja boleh.” Latifah mengangguh mantap, tanda mengerti. “Ada lagi, Ning?” “Udah, itu aja. Makasih, Ustadzah!” Luna nyengir, barisan giginya yang rapi terpampang. “Sama-sama.” Latifah balas tersenyum kemudian berlalu. “Kamu mau ngapain, Dek?” sembur Nia begitu si bungsu sudah kembali duduk. “Mau ngasih bola-bola ubi ini buat Ahsan,” jawab Luna tanpa rasa bersalah. “Berani banget kamu, Dek?” Nia geleng-geleng kepala, tertawa kecil. Tangannya masih sibuk mencetak adonan. “Kenapa harus nggak berani? Ngasih makanan doang.” Luna mengedikkan bahu tak peduli. “Oh, mentang-mentang Abi nggak ada, ya?” “Hehehe. Tuh Mbak Nia tahu.” Luna nyengir lagi. “Dasar!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN