Sulit, dan ini sungguh tak mudah. Berkali Gantan jatuh, bahkan kedua kaki sampai lecet karna terpentok oleh kayu. Ying hecong melatihnya dengan keras, karna dia lebih tau seperti apa kekuatan musuh yang nanti akan Gantan hadapi. Berkali Yang jin mengenggam pedangnya dengan sangat gemas saat melihat Gantan terjatuh, lalu harus memulai kembali semuanya dari awal.
“Pak tua,” panggil Gantan dengan kedua tangan yang berkacak pinggang. “Sepertinya ini sudah tengah hari. Bukankah waktunya makan dan istirahat sejenak?”
Ying hecong mengangkat kaki, meletakkan kedua kakinya diatas meja, lalu meneguk arak dari botol minum yang selalu ia bawa kemana pun. “Seorang prajurit tak akan memikirkan makan ketika perang. Karna keselamatannya itu lebih penting.” Ia beranjak. “Yang jin, bantu aku menangkap ikan di sungai.”
“Hey … Yang jin! Yang jin! Hey, Ying hecong! Pak tua!” teriakan Gantan yang sama sekali tak di hiraukan.
Ia menendang asal kayu yang ada di depannya, tapi berakhir kesakitan sendiri. “Gila, kayunya keras banget sih!” memukul kayu berukuran dua meter lebih beberapa senti itu.
Mengelus perut yang mulai terasa sedikit perih. Jika ini di Jogja, sudah pasti ibuknya akan berteriak untuk menyuruhnya makan lebih dulu. Bahkan akan dengan tanpa lelah mengguncang kaki dan tangan, agar Gantan bangun dan segera makan.
Membuang nafas kasar, mengelus rambut panjang untuk menyalurkan kekesalan serta rasa rindu dengan keluarganya. Dia diam, menatap semua kayu yang berjajar dengan tak berarah didepannya. Mengahfal formasi yang terbentuk disana. Nggak tau formasi apa namanya, tapi dengan otak pintarnya, bentuk itu langsung melekat di ingatan.
Ia menarik nafas dalam, mengeratkan kepalan di kedua tangan. Sekitar tiga puluh menit ia berfikir, kini mulai melonpat, sedikit kesusahan tapi tetap mampu menyelesaikan semuanya. Mengulang semua yang dilakukan sampai mata hari tak terlihat lagi. Hari berikutnya, ia mengulang lagi, sampai kini ia bisa berlari cepat, bahkan sudah mampu menyeimbangkan tubuhnya di sana.
Ying hecong mengubah formasi yang ia buat, kembali menyuruh Gantan untuk melewati seperti semula. Cukup bangga, karna Gantang bisa dengan mudah paham semua yang ia ajarkan.
Di tempat yang berbeda, beberapa prajurit yang mendapatkan tugas dari kaisar telah masuk tahanan bawah tanah di istana Fangrong. Semua rencana Putri Xiao Yuran dan Qin Yuwan berhasil membuat kaisar kalang kabut.
Saat ini, kaisar Zhao tengah khawatir setengah mati dengan keadaan putra mahkota yang tak berkabar. Beberapa orang yang ia utus mencari kabar tentang pangeran Zhao Gantang tak ada yang kembali. Semua menghilang bagai tertelan bumi.
Enam bulan telah berlalu, setelah kepergian Zhao Gantang, kaisar Zhao lebih banyak menyendiri dan tak terlalu fokus mengurus istananya. Banyak mentri dan pejabat yang membicarakan ini, bahkan kabar menghilangnya pangeran Zhao Gantang telah menyebar dan kini menjadi bahan perbincangan di seluruh mulut.
“Kasim, sepertinya … aku akan pergi mencari Tang’er.” Suaranya terdengar begitu lirih.
Kehilangan seorang anak untuk yang kedua kali, siapa yang tak sedih? Sedangkan dia adalah seorang kaisar yang hanya mempunyai satu putra saja. Selir yang lain tidak bisa hamil, dan permaisurinya hanya bisa memberinya seorang putri saja.
“Mingxiang, ajak bicara ayahandamu. Dia merasa kesepian karna adikmu telah pergi tanpa kabar.” Permaisuri Li berbicara pada putri satu-satunya.
Zhao Mingxiang memang tak terlalu dekat dengan kaisar Zhao. Jauh berbeda dengan Zhao Gantang yang setiap hari selalu bertemu didalam pengadilan istana.
“Ibu, aku tak akan bisa mengobati kesedihan ayah. Aku bukan Gantang yang ia sayang.” Tolak Mingxiang dengan wajah cemberut.
Permaisuri Li menepuk lengan Zhao Mingxiang. “Cckk, anak ini! ayo, temui ayahmu.”
Mingxiang cemberut, mengalihkan pandangan.
“Mingxiang!”
“Iya, iya, ibu.” Gadis cantik dengan dandanan ala putri itu memberengut. Menghentakkan kaki, lalu melangkah menuju paviliun Qingsong, dimana kaisar Zhao tengah duduk diam disana.
Kakinya melangkah pelan menaiki undakan kecil, dia membungkukkan sedikit badan, tanda hormatnya pada sang ayah. Begitu juga para pengawal dan beberapa pelayan yang menemaninya. Seorang pelayan membantunya untuk duduk di meja depan Kaisar Zhao.
“Ayah,” panggilnya lembut, “aku tau, ayah sedang tak tenang memikirkan pangeran Gantang. Tapi … aku percaya, pasti Pangeran Gantang akan baik-baik saja, yah.”
Kaisar Zhao menoleh, menatap anak gadisnya yang benar-benar telah tumbuh dewasa. Dia menghela nafas, beranjak dari duduk, menatap kolam yang tepat ada di samping paviliun. “Tang’er tak bisa bela diri. Bagaimana ayah bisa tenang? Dan kau juga tau hal itu. Kata baik-baik saja, itu hanya untuk menenangkan hati.”
Zhao Mingxiang beranjak dengan bantuan seorang pelayan, terlihat begitu anggun, melangkah mendekati kaisar Zhao. “Aku juga khawatir padanya, yah. Terlebih, dia adalah adikku satu-satunya. Kami memang tidak dekat, tapi aku tetap menyayanginya.” Mengelus lengan ayahnya dengan senyum manis, “Semoga pangeran Gantang baik-baik saja.”
**
Blaas!
Anak panah yang baru saja Gantan lepas meleset. Kendi yang berjarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri masih utuh, belum ada satu pun yang pecah. Ia kembali mengambil anak panah, mata menyipit menatap tepat ke anak panah dan kendi di depan sana.
Bllas!
“Cckk, anjirr!” umpatnya saat si anak panah itu kembali meleset.
“Istirahatlah. Anak panahnya telah habis. Namun, kendiku masih utuh di sana.” Ejek Ying hecong, lalu lelaki tua itu ngeloyor masuk ke dalam rumah seraya meneguk minuman di dalam botol yang selalu ia bawa kemana pun.
“Gantan, kau mau minum dulu?” tawar Yang jin yang selalu menemaninya.
Gantan diam dengan menimang satu anak panah yang baru saja ia ambil. “Kau cobalah. Nanti aku akan menirukan gayamu.” Mengulurkan anak panah serta busur panah yang ada di tangannya.
Tuuk!
“Awwh!” seru Gantan saat sebuah kayu terkena kepalanya.
Ying hecong melotot dengan sebatang kayu, tepat di belakangnya.
“Kau apa-apa’an, hn?! Kau bisa dihukum pansung kalau berani menyakiti pangeran.” Kesal Gantan dengan masih mengelus kepala.
Sementara Yang jin menahan untuk tak tertawa. Tingkah Gantan lebih lucu dari pada Pangeran Zhao Gantang. Gantan lebih bisa bermasyarakat dan bisa berinteraksi seperti orang biasa pada umumnya.
“Kau benar-benar akan selamanya hidup di sini. Lalu ucapkan selamat tinggal pada duniamu!” ucap Ying hecong tegas, tapi terdengar santai.
Gantan melemah, ia menunduk menatap busur panah yang masih ada di genggamannya. Ragu banget bisa jadi ahli bela diri dengan memulai semua dari awal. Terlebih, lawannya adalah pangeran Qin yang terkenal dengan tangan besi dan mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Namun, celoteh kedua adiknya disertai senyum tulus sang ibu membuat genggaman tangan ke busur panah itu mengencang. Gantan menutup mata, memantapkan hati. Kembali mengambil anak panah, mulai lagi menatap kendi yang berjajar di depan sana dengan serius.
Bllass!
Pyaar!
Kedua mata sedikit berbinar saat kini anak panah yang ia lepaskan mengenai kendi itu. Senyum kecil terbit di bibir manisnya. Makin semangat, ia kembali meraih anak panah.
Gantan menghabiskan waktu kurang lebih sebulan untuk bisa menguasai taktik memanah. Kini ia sudah bisa ilmu keseimbangan, ilmu memanah dan menaiki kuda. Ying hecong memberinya waktu tiga bulan untuk melancarkan semuanya. Lalu dia harus bersiap berlatih menggunakan pedang.
Hari ini ia berkeliling ke hutan bersama Yang jin dengan kuda. Keduanya bermaksud berburu untuk mencari hewan yang bisa di makan. Yang jin mengajak Gantan turun, melangkah cepat tapi hati-hati. Mereka mengintai seekor kelinci hutan yang berkerumun.
“Gantan, ini adalah jatahmu. Pilih salah satu diantara mereka, lalu mulai lepaskan panahmu.” Ucap Yang jin dengan sedikit berbisik.
Gantan menyunggingkan senyum, lalu mentonyor kepala Yang jin. Hal yang seumur hidup tak pernah pangeran Zhao Gantang lakukan.
“Gampang. Lo tunggu disini.”
Tak paham sebenarnya. Tapi karna dia sudah hampir setahun hidup di samping Gantan, Yang jin mulai memahami setiap kalimat aneh Gantan. Hanya tersenyum, menatap Gantan yang kini mulai melangkah menjauh darinya.
Menetapkan anak panah ke satu kelinci yang sudah ia incar. Mulai menarik busur, lalu ….
Blaas!
Kelinci malang itu tergeletak karna sebuah panah mengenai tepat di bagian perut. Kedua mata Gantan melotot dengan sangat terkejut saat seseorang tersenyum lebar, melangkah, mengambil kelinci yang sudah tak berdaya itu. Kedua tangan melemah dengan tetap memegang anak panah yang belum sempat ia lepaskan.