Gantan mencibir, lalu menggeleng dengan begitu yakin. “Aku tersesat disini. Dan pedang ini yang membawaku sampai disini. Karna sebelum aku meningglkan negriku, aku sempat melihatnya diatas langit.”
Ying hecong kembali mengangkat botol minumnya, meneguknya dengan asal. “Kau percaya takdir?”
Gantan terlihat mulai gelisah, dia menatap kesembarang arah dengan kepala yang kini mulai berdenyut nyeri. “Aku lebih percaya yang namanya bencana. Dan aku selalu membenci takdir di negriku.”
Tawa meremehkan dari Ying hecong membuat Gantan merasa sedikit kesal. Dia memilih beringsut dengan kedua tangan menekuk di depan perut.
“Aku hanya ingin kembali lagi di duniaku. Kembali kumpul dengan keluargaku. Tempatku bukan disini.”
Yang jin yang memang tak tau kebenarannya, kini mulai menatap Gantan dengan penuh tanya. Dari tatapan matanya, Gantan tau, apa yang ada di kepala Yang jin.
“Yang jin, aku ini bukan tuanmu. Raga ini memang punya pangeran Zhao Gantang, tapi aku, aku bukan pangeran di negrimu ini. Aku adalah orang lain yang tersesat disini. Maafkan aku.” Wajah Gantan menekuk, penuh kesedihan disana.
Yang jin menelan ludah dengan begitu susah. “Yang mulia,” serunya lirih.
“Tenang, aku tak akan menyakiti atau menggunakan kekuasaan tuanmu ini. Aku hanya ingin kembali ke duniaku. Dan … sepertinya ….” Gantan menatap serius kearah Ying hecong. “Hanya dia yang tau, bagaimana caraku bisa kembali.”
Ying hecong mulai berdiri, melangkah menuju ke jendela yang terbuka, memperlihatkan tanaman bambu yang meliuk tertiup oleh angin. Sudut bibirnya menyunggingkan senyum lagi.
Dahulu ….
Zhao Xifeng adalah pendekar yang memiliki talenta paling bagus di dunia persilatan. Jurus pedang pembelah langitnya menjadi bahan perbincangan setiap orang. Bahkan sampai saat ini, menjadi dongeng para pendongeng yang selalu menceritakan kisah-kisah menarik di pasar tradisional atau di warung makan yang ramai pengunjung.
Tiba saat dia memimpin perang dengan para pemberontak di perbatasan Pingxiang, dia di racuni oleh Ju Loahen ; permaisuri istana Fanrong. Racun yang di gunakan Ju loahen sama dengan racun yang di gunakan oleh penyusup itu. Zhao Xifeng benar-benar tak bisa bertahan, tapi dia tetap membawa kemenangannya pulang, dan menghembuskan nafas terakhirnya di dalam istana Yongheng.
Semua orang mencari pedang pembelah langit yang selalu Zhao Xifeng bawa kemana pun, tapi tak ada seorang pun yang mampu menemukannya. Ying hecong memilih diam, diam dalam ketahuannya. Jika memang pedang pembelah langit itu bukanlah pedang sembarangan. Bahkan pedang itu memilih tak di pegang oleh siapa pun, termasuk Zhao Long yang saat itu memimpin kekaisaran.
Zhao Chuan ; kaisar yang sekarang ini, adalah anak kandung Zhao long. Sementara Zhao Xifeng adalah kakak tertua mereka berdua yang tak pernah mau menjadi seorang kaisar. Dia memilih mengatasi masalah di luar istana, sampai titik darah penghabisannya, dia benar-benar tidak pernah terlibat dalam urusan istana.
Semenjak pedang pembelah langit itu menghilang, Ying hecong sudah sibuk mencari tau kebenaran. Dia juga berada di sekitaran istana untuk mencari informasi hilangnya pedang yang ia buat untuk sahabatnya itu (Zhao Xifeng). Hanya mendengar jika sang putra mahkota terluka karna seorang penyusup, tanpa tau dengan apa putra mahkota itu terluka. Dia juga mendengar bahwa Zhao Gantang terluka oleh racun yang sama seperti racun yang telah membunuh Zhao Xifeng. Namun, dia benar-benar tak menyangka jika Zhao Gantang masih bisa bertahan hidup. Dan kenyataannya, malah dia bisa tetap hidup dengan nyawa orang lain yang masuk dalam raganya.
**
Malam ini, Gantan dan semua anak buah Yang jin bermalam di rumah tua Ying hecong. Berkali Gantan mengganti posisi tidurnya, tapi matanya tak mau terpejam juga. Akhirnya dia memilih kembali bangun, membuka jendela, mengamati bulan yang hanya seperlapan diatas langit sana.
Bayangan ketika dia tengah nongkrong bersama Daniel, Aldy dan beberapa teman-temannya kembali terlintas. Saat itu, bulan berbentuk sama seperti yang ia lihat sekarang. Dia dengan sombongnya, duduk diatas jok motor gede milik Aldy. Satu tangan memegang gitar, menaruh di pangkuannya, lalu satu tangan memetik senar. Bernyanyi lagu yang saat itu tengah booming dan memasyarakat. Menggoda para gadis yang lewat didepan warung. Lalu tertawa kompak ketika saling ejek.
Ah, rindu mereka semua.
Tanpa terasa, bibir Gantan mengulas senyum tipis. Dia menarik nafas, lalu membuangnya kasar melalui mulut. Semua karna ke-egoisannya dia bisa sampai di negri gila ini. Andai waktu itu Tantri tak meminta putus hanya karna dia tak memiliki motor gede seperti motor Aldy, mungkin saja dia tak akan marah. Tak akan meminta bapak membelikannya motor, tak akan menghina kedua orang tuanya. Dan tentu saja, dia tak akan kabur dan lari ke pinggir hutan.
Kenapa sih, penyesalan itu selalu ada? Njiir lah!
Beberapa kali Gantan memukul kusen dari kayu alam yang ada di depannya dengan penuh kekesalan. Kedua mata memanas mengingat kedua adik perempuannya yang masih kecil. Senyum sang ibu saat mengambilkannya nasi, sarapan dengan sayur bayam yang dipetik dari halaman belakang, gorengan tempe yang hampir setiap hari. Lalu telur ceplok andalan tiap bapak habis gajian.
Astaga, kenapa yang sederhana dan hanya seujung kuku itu terlihat membahagiakan ketika udah jauh?
“Buk, aku kangen ….”
“Pak, maafin aku ….”
Gumamnya, berusaha menahan embun untuk tak keluar membasahi kedua pipi.
“Yang mulia,” sapaan dari Yang jin membuatnya sedikit terlonjak.
Gantan mengusap kedua mata cepat. Menatap Yang jin yang berdiri tak jauh dari jendela. “Yag jin, kau tak tidur?”
Yang jin melipat satu tangan di belakang, ikut menatap bulan di atas langit sana. “Udara disini sangat nayman, sejuk. Semua bisa tidur dengan begitu nyenyak. Saya tidak mungkin akan ikut terlelap dan membiarkan yang mulia tak ada yang menjaganya.”
Gantan tertawa kecil mendengar penjelasan Yang jin.
“Kenapa yang mulia tidak tidur? Apa terlalu dingin? Ada selimut tebal di dalam kereta. Mau saya ambilkan?” tawarnya.
Gantan menggeleng. “Tak perlu, Yang jin.” Dia menyentak nafas kasar, kembali tatapannya menerawang jauh ke atas langit, “aku hanya … hanya merindukan rumah.”
“Besok pagi, kita bisa langsung berangkat ke Hua rong, yang mulia.” Usul Yang jin.
Gantan kembali terkekeh kecil. “Bukan, bukan. Aku tak merindukan istana. Tapi … aku merindukan rumahku yang sesungguhnya. Rumahku … rumahku yang ada di kota sangat jauh. Begitu jauh dari negrimu ini, Yang jin. Kotaku, disana sangat jauh berbeda dari sini.” Dia tersenyum getir mengingat semuanya.
Yang jin menyandarkan tubuh ke dinding kayu, melipat kedua tangan dibawah d**a. “Saya … saya masih antara percaya dan tidak.”
Menoleh, tersenyum kecil menatap Yang jin yang terlihat bingung. “Saat aku bangun, aku pun tak percaya. Berada di tempat yang aneh, semua orang yang tak aku kenal, bahkan bahasa kalian sama sekali tak aku pahami. Beruntung nilai bahasaku saat sekolah dulu bagus. Jika tidak, aku tak akan bisa berkomunikasi dengan kalian semua.”
“Jadi, bahasa yang mulia di negri sana, berbeda dengan disini?” tanya Yang jin yang masih tak percaya.
Gantan tersenyum lagi. “Seperti ini. ‘Yang jin, gue udah anggap lo kek saudara, sahabat dan keluarga.’”
Yang jin melongo, dia benar-benar nggak paham.
Gantan menepuk bahu Yang jin. “Thanks, ya. Maksudku, terima kasih.”
Yang jin tersenyum dengan anggukan, lalu mengepalkan kedua tangan. “Sama-sama, yang mulia.”
**
“Jadi, bagaimana caraku bisa kembali lagi ke duniaku?” kembali pertanyaan Gantan ini terlontar.
Ying hecong menghela nafas. Menaruh nampan berisi sup jamur dan nasi yang sudah ia masak. “Lebih baik isi dulu tenaga, nanti kita bicarakan setelah makan.”
Hanya bisa menurut, memakan apa yang telah tersedia. Karna dia sendiri tak bisa mengolah makanan. Hanya bisa merasakan, jika rasa makanan paling enak adalah punya ibuknya ; bu Sarmilah. Terlebih lagi disini, semua makanan terasa aneh, benar-benar sangat aneh.
“Ying hecong, sebenarnya apa yang kau masak ini? Sama sekali tak ada rasanya.” Kesal Gantan. Ia menjatuhkan sumpit, beranjak, malangkah keluar dari rumah tua itu.
“Pangeran,” seru Yang jin. Dia memutuskan untuk mengejar langkah tuannya. “Pangeran, apa anda ingin memakan sesuatu? Biar saya mencarikan.”
Gantan menyentak nafas, kenapa dia begitu baik? Malah jadi nggak tega. “Tidak. Aku tak berselera makan apa pun. Kau, makanlah dulu.”
“Baik, yang mulia.” Patuhnya, kembali ia masuk kedalam rumah.
Berberapa menit berlalu, Ying hecong keluar dari rumah. Mendekati Gantan yang memainkan batang bambu di sebalah rumahnya.
“Pangeran,” panggilnya, membuat Gantan menoleh kearahnya.
“Pak tua,” ia pun melangkah mendekat, berdiri tak jauh dari Ying hecong.
“Belajarlah bela diri mulai detik ini.”
Sebaris kalimat yang membuat Gantan menatap dengan begitu terkejut kearah Ying hecong. “Untuk apa?”
“Jika kau mau kembali ke dunia asalmu, kau harus bisa mengalahkan Pangeran Qin Yuwan dari Fanrong. Karna jiwa Pangeran Zhao Gantang ada didalam batu permata yang tertancap didalam jantung Pangeran Qin Yuwan.”