Pada akhirnya, dua piring spaghetti aglio e olio tetap terhidang di atas meja. Setelah bermenit-menit waktu mereka habiskan untuk menenangkan hasrat yang mendadak bergejolak, perut mereka meronta-ronta minta diisi. Itu sukul setengah sepuluh malam dan mereka belum makan. Maka secara naluri, manusia tentu akan memenuhi kebutuhan dasar terlebih dahulu.
“Kamu masih sering bikinin Eyang Ni kue-kue tradisional,” Arka membuka percakapan.
Arista menggeleng. "Selama nginap di sini saya nggak bikin apa-apa. Soalnya bukan dapur saya, belum familiar. Baru kemarin saya kirimin lagi. Saya bikinin nagasari, pas banget ada pisang kepok bagus di supermarket,” jelas Arista lalu mulai menyuapkan gulungan besar spaghetti.
"Kenapa saya nggak dikirimin juga?" tanya Arka.
"Eh? Bapak juga mau?"
Arka terkekeh pelan. "Kenapa enggak? Masakanmu enak gini," pujinya tulus.
Seulas senyum segera terbit di bibir sang dara. "Makasih, Pak. Lain kali saya buatkan sekalian."
Hening sesaat, hanya ada suara alat makan yang beradu. Keduanya larut dalam cita rasa menu makan malam mereka yang sederhana tapi benar-benar nikmat. Aroma bawang putih dan minyak zaitun yang ditumis bersama sangat pas dipadukan dengan keju dan udang yang manis. Tapi tiba-tiba Arista teringat sesuatu.
“Oh, iya. Bapak sudah lihat rekaman dari hp korban yang ditinggal di kamar hotel?”
Arka mengernyit lantas menggeleng. “Enggak. Bukannya itu jadi milik polisi, ya?”
Kini giliran Arista yang menggeleng. “Saya minta salinannya, Pak. Dan ternyata dibolehin. Udah saya simpan di dropbox 'data lain-lain.' Habis makan mau lihat bareng?”
Arka berpikir sejenak kemudian mengangguk.
“Pak, besok aja lihatnya gimana?” tanya Arista setelah makan. Wajahnya berubah gelisah.
“Kenapa nggak sekarang? Kamu sendiri yang ngajak sekarang, ‘kan?”
“Anu… tapi ini udah malem sih.”
“Kamu takut pulang sendiri?” Arka menaikkan sebelah alisnya. Ia sudah duduk di ruang kerjanya, membuka file yang dimaksud Arista.
“Bukan…” Arista melangkah masuk ragu-ragu. Membuang pandang ke sembarang arah, asal tidak bertemu sorot tajam Arka.
Arka mengerti, maka ia menyeringai tipis. “Kenapa? Kamu takut saya ngelanjutin yang tadi di dapur?” godanya.
Arista tersentak, melotot. “Memangnya enggak?” tanyanya berani.
Tawa Arka seketika meledak. Wajah polos yang mengucapkan kalimat frontal itu terlihat menggemaskan. Membuat pria itu justru semakin ingin menggodanya.
“Duduk sini, Ta.” Ia menarik sebuah kursi kerja, menepuknya.
Arista ragu, tapi akhirnya ia duduk juga. “Soalnya saya nggak tahu kalau ternyata Bapak sangat touchy,” komentarnya setelah menghempaskan bokongnya di kursi. "Apa mungkin love language Bapak memang physical touch?"
Arka tersentak, sebuah memori tiba-tiba muncul begitu saja di kepalanya. Wajahnya bukan hanya menyiratkan keterkejutan atas kalimat yang terlontar santai dari bibir Arista. Ada ekspresi lain yang membayang samar. Tapi Arista tak bisa menebaknya. Yang pasti setelah mengatakan itu Arka jadi lebih diam dan fokus. Tak lagi sibuk mengerling nakal atau menggodanya.
Rekaman itu adalah sebuah video yang direkam menggunakan ponsel. Di dalam video itu tampak si pria duduk di atas kasur sedang memetik gitar, sedangkan si wanita duduk di tepi kasur. Wajah mereka terlihat sendu. Lantas, saat alunan nada dari gitar yang dipetik si pria mulai terdengar kompleks, wanita berwajah sendu itu bernyanyi. Suaranya indah, tapi nyanyiannya menyayat hati. Liriknya berisi tentang kisah cinta mereka yang terhalang restu.
Arista dan Arka saling pandang usai suara petikan gitar terhenti dan video mati. Ada rasa sesak yang menjalari d**a Arista, seolah ia mampu merasakan kesedihan mereka.
Ruang kerja Arka hening selama beberapa detik, hanya terdengar helaan nafas berat dari keduanya. Lagu itu dinyanyikan oleh sepenuh hati sehingga sampai ke hati.
“Itu… lagu mereka sendiri?” Arka yang bertanya, memecah hening.
“Iya. Mereka memang musisi. Gitaris dan vokalis band indie di daerah mereka.” Arista mengetahui profil keduanya dari data penyewa kamar hotel dan dari polisi.
Arka melirik jam digital di sudut kanan layar komputernya. “Kamu naik apa ke sini, Ta?” tanyanya mengalihkan topik.
“Eh, naik ojol tadi, Pak.”
“Pulangnya mau dianter?”
Arista terdiam, sejujurnya ia masih memikirkan sesuatu selain pulang.
“Pak, sepertinya kita bisa pakai lagu itu untuk mempromosikan hotel kita sekaligus menghapus stigma negatif,” tutur Arista kemudian. Lidahnya sudah gatal ingin mengatakan apa yang ada di kepalanya. Sebuah ide agak gila yang terbersit begitu saja.
Arka mengernyit, menatap Arista bingung. “Gimana caranya?”
***
Hari Minggu, Arista tengah membereskan kamarnya yang sempat menjadi tempat kejadian perkara dan diselidiki polisi. Sebagian besar barang-barangnya berhamburan karena proses penyidikan yang cukup mendetail. Belum lagi kemarin Arka memaksa untuk memasang kamera CCTV di balkon dan di depan pintu, jadi Arista baru sempat membereskan semuanya hari ini.
Sejak pagi tadi selepas lari pagi, Arista sudah memulai kegiatannya. Dimulai dari kamar tidurnya, ruang tengah, dapur, dan terakhir sebuah kamar kecil tak berpenghuni yang ia jadikan gudang.
Arista sedang melepas dahaga dengan meneguk segelas air dingin ketika seseorang menekan bel apartemennya. Ia menatap layar monitor yang terhubung ke kamera CCTV, menampakkan bagian luar pintu apartemennya.
“Nola? Ngapain ke sini?” gumamnya lantas segera berlari kecil menuju pintu.
“Gue bawa sarapan,” ujar Nola ceria begitu pintu terbuka. Di tangannya sudah ada dua kotak styrofoam.
Arista membuka pintu lebih lebar, tersenyum cerah. “Lo tahu aja gue kelaparan.”
Sejurus kemudian, dua sahabat itu sudah sibuk menyantap bubur ayam yang dibawa Nola. Mengobrol ringan sambil duduk lesehan di ruang tengah apartemen Arista yang sudah bersih.
“Eh, nanti siang ikut yuk ke studio rekamannya si Tio?” ajak Arista usai menelan suapan bubur ayam terakhirnya.
Tio adalah nama penyanyi yang disepakati oleh Arka dan Arista untuk menyanyikan lagu besutan korban b*nuh diri itu. Diproduseri oleh produser musik kondang tanah air membuat lagu itu menjadi lebih enak didengar. Dan hari ini adalah hari pertama Tio akan melakukan rekaman.
“Ngapain? Ogah ah!” tolak Nola cepat.
“Kan lo yang ngerekomendasiin, La?”
“Bukan berarti gue juga harus ikut, ya! Please, jangan mengganggu akhir pekan gue. Lo pergi aja bareng ayang beb lo itu. Berduaan sekalian kencan.” Nola kembali ke makanannya. Kecepatan makannya memang lebih lambat dari Arista. Mungkin karena Arista terbiasa buru-buru, terutama sejak menjadi sekretaris Arka.
“Ogah gue berduaan bareng Pak Arka lagi,” sahut Arista sambil bergidik.
“Lah, kenapa?”
“Ngeri gue. Takut hilang akal.”
“Hah? Maksud lo?”
“Kalau gue nggak tahan terus gue nyosor aja gimana? Lo tahu sendiri gue suka nekat.”
Nola melotot tak percaya. “Wah, kalau gitu bukan cuma kelakuan lo yang rusak. Pola pikir lo juga!”
Arista tergelak sambil membereskan bekas makannya. Ia memang belum menceritakan soal hubungannya dengan Arka. Belum. Nanti saja ketika keluarga Maheswara sudah merestuinya.
Tiba-tiba, bel apartemen Arista kembali berbunyi. Nola yang berada di ruang tengah segera beranjak.
“Lo mau ada tamu, Ris? Gua bukain, ya?”
Arista mengintip layar monitor dan mendapati Arka sudah berdiri di sana.
“Jangan, La!”
Terlambat. Pintu apartemen sudah terbuka. Tubuh tinggi Arka menjulang di depan pintu, mengenakan pakaian kasual seolah mereka akan pergi berkencan.
Arista menggigit bibir, serba salah. Sementara Nola sudah melotot ke arahnya, menuntut penjelasan.
“Kamu belum siap-siap, Ta?” tanya Arka tanpa menghiraukan Nola di hadapannya. Lantas ia masuk tanpa permisi. Seolah itu sudah biasa.
Nola semakin melotot, bibirnya bergerak-gerak membentuk kalimat ‘lo hutang penjelasan ke gue’.
Arista menelan ludah canggung. “Tunggu sebentar, ya, Pak? Saya siap-siap dulu. Barusan habis beres-beres.”
“Nggak usah,” sergah Arka cepat.
“Eh? Kenapa, Pak?”
“Kamu mandi aja. Setelah itu kita ke butik dan salon…”
“Buat apa, Pak?” Arista memotong kalimat Arka sambil melotot. Apalagi masih ada Nola di ambang pintu. Kepalanya menebak skenario apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Ini akhir pekan, Ta. Masa kita cuma mau pergi ke studio? Tentu saja kita juga akan kencan,” jawab Arka dengan penuh percaya diri. “Atau… kamu mau kita kencan di apartemen saya aja dan...”
"Saya siap-siap dulu, Pak!" pekik Arista cepat, memotong kalimat Arka yang sudah bisa ditebak kelanjutannya.
Di ambang pintu, Nola yang hendak keluar sontak melotot. Mulutnya ternganga. Arista benar-benar berhutang banyak penjelasan padanya.