Seminggu kemudian, lagu itu dirilis versi audio yang dinyanyikan oleh Tio. Popularitas Tio sebagai penyanyi jebolan salah satu ajang pencarian bakat membuat lagu itu cepat sekali viral. Dan berbondong-berbondong permintaan untuk merilis lagu aslinya datang. Tapi tentu saja pihak Hotel Sunflower tidak bisa mengabulkannya. Selain karena masalah privasi korban, juga ada kebenaran yang harus ditutupi. Yaitu, lirik aslinya.
Benar, lirik lagu yang dirilis sudah diubah sedemikian rupa agar orang-orang terharu oleh kisah cinta mereka sekaligus penasaran dengan hotel Sunflower. Tentu saja ini langkah besar yang sedikit gila, tapi dunia bisnis memiliki cara kerjanya sendiri.
“Ide kamu keren juga, Ta,” puji Arka. Mereka sedang makan siang bersama di ruang kerja Arka sambil melihat tayangan wawancara eksklusif Tio yang menjelaskan tentang lagu tersebut.
Arista mengulas senyum tipis. “Saya senang ide saya berhasil menaikkan penjualan kita, Pak.”
“Kenapa kamu berani merilis lagu ini, Tio?” sang presenter wanita bertanya. Antara membaca script dan memang benar-benar penasaran. “Kamu nggak mungkin nggak tahu kasus yang menimpa mereka baru-baru ini, ‘kan?”
“Kakak udah denger lagunya belum?” Tio justru balas bertanya.
“Udah, dong! Masa belum? Kalaupun belum pasti udah denger dikit-dikit. Lagunya bener-bener diputer di manapun, loh!” mata sang presenter wanita membulat.
Tio tertawa. “Harusnya kakak tahu dong kenapa lagunya dikasih judul ‘Sunflower’?”
“Kenapa? Karena terinspirasi dari hotel tempat mereka menginap terakhir kali, eh?”
Tio menggeleng. “Bunga matahari itu melambangkan cinta, kasih sayang, ketabahan, dan kehidupan. Mereka menuangkan seluruh cinta dan hidup mereka dalam lagu itu untuk menggambarkan ketabahan mereka selama ini. Mereka memilih hotel Sunflower untuk mengabadikan kisah cinta mereka juga karena filosofi itu. Karena itu, aku tertarik banget pas tahu lagu ini bakal dirilis dan bersedia nyanyiin.”
Sontak dua presenter di layar televisi bertepuk tangan, tak lupa membuat ekspresi kagum yang tentu saja sedikit dibuat-buat.
Sore harinya, potongan video interview itu segera viral. Banyak yang merasa kagum dengan keputusan Tio dan memuji keindahan lirik lagu itu. Imbasnya, lebih banyak lagi yang penasaran dengan hotel Sunflower. Hasilnya, tiga hari berikutnya penjualan kamar hotel Sunflower meroket. Bahkan staf resepsionis sampai harus membuat daftar tunggu.
Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Tim pemasaran akhirnya juga merilis berbagai paket penginapan plus restoran yang mereka rencanakan beberapa waktu lalu. Berkat itu, penjualan di restoran pun ikut meningkat. Dan untuk merayakannya, Arka sengaja membuat pesta kecil-kecilan yang mengundang seluruh staf hotel dan kolega bisnis Mahesa Grup.
“Luar biasa sekali kamu, Nak!” puji Yaksa senang. “Mengubah musibah menjadi berkah,” lanjutnya sembari terkekeh. Ia sama sekali tak menutupi raut bahagia di wajahnya.
Di sebelahnya, Dewi juga tersenyum anggun. Sementara Hardiyanto yang juga turut hadir justru mendengus kasar.
“Terima kasih, Pa.” Arka mengangguk sopan. Ia melirik Arista yang berdiri di sebelahnya, mengenakan gaun berwarna kuning pastel dengan hiasan bunga matahari di pinggang. Gaun yang sengaja dipilihkan Arka untuknya, sebagai imbalan atas ide cemerlangnya yang mampu memutarbalik keadaan. “Tapi itu bukan ide Arka,” lanjutnya.
“Oh ya? Terus ide siapa?” tanya Yaksa penasaran.
Arka meraih pinggang ramping Arista, menariknya mendekat hingga tubuh mereka melekat. Lantas berucap dengan bangga. “Itu ide Arista. Luar biasa, bukan?”
Yaksa, Dewi, dan Hardiyanto sedikit terperangah. Sementara Arista hanya mengulum senyum malu.
“Hahaha!” tawa Yaksa meledak seketika. “Luar biasa! Kau punya bakat berbisnis, Arista!” ia bahkan bertepuk tangan senang. Melupakan kenyataan bahwa beberapa waktu lalu ia sangat memusuhi wanita itu.
“Terima kasih, Pak,” jawab Arista sopan.
“Kemarilah, Nak!” Yaksa melambaikan tangan, meminta Arista mendekat.
Arista menurut, melepaskan tangan Arka dari pinggangnya.
“Har, sekarang kau tahu kenapa anakku memilih Arista dibanding Lia?” tanyanya penuh kesombongan. Hilang sudah aura permusuhannya pada Arista.
“Cih! Kau tidak pantas membandingkan anakku dengannya!” Hardiyanto berlalu pergi sembari mengentakkan kakinya kesal.
***
“Apa ini, Arista?!” Abisatya Maheswara, si bungsu di generasi kedua keluarga Maheswara itu menggebrak meja. Tabletnya di atas meja sedang menampilkan berita viralnya hotel Sunflower usai merilis lagu ‘Sunflower’.
Arista mengatupkan rahangnya rapat, berusaha tenang. Ia tahu cepat atau lambat Satya akan segera mengajak bertemu. Tapi ia tak tahu akan secepat ini. Tepat sehari setelah pesta perayaan semalam.
“Tenanglah, Om--”
“Gimana bisa tenang, Arista?! Sekarang kamu bahkan melenceng jauh dari rencana awal kita!” Satya menggeram, menatap tajam wanita awal tiga puluhan tahun yang berdiri kaku di hadapannya.
“Itu… refleks, Om. Saya sudah jadi staf Sunflower empat tahun terakhir, melihat tempat kerja saya nyaris bangkrut tentu saya melakukan segalanya supaya bisa bangkit lagi,” jelas Arista cepat.
“Bohong!” desis Satya marah.
“Serius, Om! Lagipula, kalau Sunflower jatuh sekarang, saya justru nggak dapet apa-apa. Saya nggak mau, dong!” Arista mengerutkan wajahnya, tak terima. “Om urus saja bagian Om, saya urus bagian saya sendiri.”
Satya terdiam, masih melempar tatapan tajam seolah siap membunuh keponakan tirinya itu. Namun tiba-tiba ponsel Arista berdering panjang.
“Bentar, ya, Om. Saya angkat telepon dulu,” ujarnya seraya berjalan menjauh. Arista bicara di telepon selama beberapa detik lalu kembali ke hadapan Satya. “Om, saya pergi dulu, ya? Dipanggil ke rumah Eyang Ni sekarang juga.”
Satya mendesah lalu membiarkan Arista keluar dari ruang kerjanya.
Tiga puluh menit kemudian Arista sudah tiba di kediaman Eyang Ni yang selalu terasa sejuk. Sebuah rumah yang didesain memang sebagai rumah peristirahatan generasi pertama Maheswara. Di rumah ini Eyang Ni hanya ditemani beberapa pekerja yang sudah membersamai keluarga Maheswara sejak dahulu. Puluhan tahun bersama membuat mereka sudah sangat dekat layaknya keluarga.
Arista tiba di rumah Eyang Ni saat keluarga besar mereka berkumpul. Eyang Ni, Yaksa, Dewi, Arka, Elva si anak tengah, dan… Tio.
Arista melotot demi melihat penyanyi yang wajahnya malang melintang di televisi sedang duduk berdekatan dengan Elva sembari tertawa-tawa. Entah bercanda tentang apa, tapi mereka terlihat dekat sekali.
“Halo, Kak Rista!” sapa Tio ceria, membuat Elva menoleh.
“Udah ditungguin, Kak,” imbuh Elva.
Empat tahun bekerja dengan keluarga Maheswara memang membuat Arista cukup dekat dengan masing-masing anggota keluarga termasuk Elva. Hanya Arya yang belum pernah ia temui karena si bungsu sedang melanjutkan studi di Amerika. Tapi ia tak pernah tahu bahwa keluarga itu memiliki hubungan dengan Tio. Pantas saja Tio secara sukarela meluangkan waktu di sela-sela jadwalnya yang padat hanya untuk merilis audio lagu ‘Sunflower’.
“Kalian….” Arista menatap Elva dan Tio bergantian.
“Hehe, pacaran, Kak.” Elva nyengir, lantas memeluk lengan Tio erat.
Mata Arista membola seketika. Ini benar-benar kejutan!
Namun Arista tak bisa berlama-lama dengan keterkejutannya karena Arka sudah lebih dulu mendatanginya. “Ta, ayo masuk! Sudah ditunggu Eyang Ni. Kalian juga masuk, jangan pacaran terus.”
Tio dan Elva ikut beranjak, berjalan di belakang Arista.
Eyang Ni sedang duduk di teras belakang rumah, ditemani Yaksa dan Dewi yang masing-masing memegang cangkir teh. Menikmati pemandangan taman hijau yang disiram cahaya matahari sore. Berkilau indah sekali.
Arista menarik nafas dalam, mendekati Eyang Ni. “Selamat sore, Eyang,” sapanya dengan senyum terbaik.
Eyang Ni menoleh. “Naik apa ke sini?” ia menyodorkan tangannya untuk Arista yang segera disambut kecupan lembut di punggung tangan.
“Naik ojek online, Eyang.”
Eyang Ni segera melempar tatapan tajam ke arah cucu sulungnya. “Kenapa nggak dijemput?”
“Eh?” Arka terkejut, begitu juga dengan Arista. Membuat mereka saling melirik sejenak.
“Kamu kenapa nggak jemput pacarmu? Malah dibiarin naik ojek sendiri?” tanya Eyang Ni ketus.
Arka dan Arista saling pandang. Sedikit bingung dengan situasi barusan.
“Karena kita berangkat dari tempat yang berbeda?” Arka menjawab seadanya.
Eyang Ni melengos. “Harusnya dijemput, Arka! Mana sopan santunmu sebagai pria? Papamu saja sampai sekarang masih sering menjemput mamamu meski ada sopir yang bertugas.”
Arka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sedikit merasa bersalah.
“Ya, lain kali Arka jemput, Eyang.”
Arista meringis kemudian segera mengubah ekspresi begitu Eyang Ni kembali menatapnya.
“Terima kasih, Nak,” ucap Eyang Ni tiba-tiba. “Kamu sudah menyelamatkan salah satu bisnis kami.”
“Ah, soal itu, Eyang. Itu bukan hal besar, Eyang. Saya hanya melakukan tugas saya sebagai staf hotel,” jawab Arista sopan. Ia tak menyangka Eyang Ni memanggilnya hanya untuk ini.
Eyang Ni menatap Arista lekat, mengusap tangan wanita itu yang masih berada di genggaman. “Menjadi pendamping cucuku haruslah bermental baja tapi berhati lembut, berwawasan luas tapi tahu cara menempatkan diri, berpikiran terbuka tapi tetap menghormati pasangan, dan Eyang suka caramu bekerja di samping Arka. Eyang suka cara kalian saling mendukung pekerjaan masing-masing.”
Arista tercekat, semua orang kini sedang menatapnya. “Terima kasih, Eyang.” Hanya itu kalimat yang bisa keluar dari bibirnya.
“Karena itu, cepat gelar pesta pertunangan kalian lalu segera persiapkan pernikahan!”
“Apa, Eyang?!” sembur Arka tak percaya.
Arka dan Arista saling tatap dengan ekspresi ternganga. Sementara Elva dan Tio bersorak girang, karena sebentar lagi adalah giliran mereka meresmikan hubungan.