Bab 15. Nekat

1310 Kata
Arista sedang tiduran di kamarnya usai makan malam dan menyiapkan pekerjaan untuk besok. Selepas beres-beres kemarin ia kembali menemukan album foto lama yang sengaja disimpan di gudang. Album foto itu berisi foto-foto saat dirinya masih berusia sekitar enam tahun. Arista memperhatikan satu persatu foto-foto itu. Hingga akhirnya ada foto dirinya dan papanya yang sedang merayakan ulang tahunnya yang keenam. Foto terakhir mereka sebelum papanya meninggal dalam kecelakaan tragis. Arista membelai foto itu, seolah bisa merasakan kulit wajah papanya. “Ternyata nggak sulit masuk ke dalam keluarga papa, ya? Rista pikir bakal sesusah kayak di sinetron-sinetron. Ternyata enggak, Eyang Ni mudah sekali membuka hati.” Arista tertawa di ujung kalimatnya. Empat tahun lalu ia masih sangat membenci keluarga papanya, tapi justru kebencian itu yang membawanya masuk ke dalam keluarga konglomerat Maheswara. Bukan sebagai anak sambung yang disembunyikan, tapi sebagai calon tunangan sang putra mahkota Mahesa Grup. Tiba-tiba, bel apartemen Arista berbunyi. Ditekan tak sabaran entah oleh siapa di luar sana. Arista berdecak, segera bangkit dari atas kasur. “Siapa, sih?!” gerutunya. “Ristaaaaa!!” sembur Nola segera setelah pintu terbuka. “Buset! Salam dulu kenapa, sih? Mulut lo kayak nggak pernah disekolahin,” balas Arista kesal. “Elo yang akhlakless!” tunjuk Nola gemas sambil masuk ke dalam sebelum dipersilakan. “Ngapain ke sini? Pulang kerja bukannya pulang ke apart lo sendiri malah ke sini. Mabok lo?” “Gue udah nggak bisa menahan diri.” Nola melepas sepatu, stoking dan kancing blus bagian atasnya cepat, lalu duduk bersila di atas sofa ruang tengah. “Lo hutang banyak penjelasan ke gue!” pekiknya kesal, matanya melotot tajam. Arista tak menanggapi ekspresi marah sahabatnya. “Apaan?” sahutnya sambil lalu. “Heh! Lo jangan menghindar, ya! Coba jelasin apa hubungan lo sama Pak Arka!” Arista masuk ke dapur, mengambil dua botol soda dari dalam kulkas dan segera menghidangkannya di atas meja. “Setelah kedatangan Pak Arka yang tiba-tiba ngajak lo kencan, lo tahu tadi gue denger apa?!” Nola masih melotot. Arista menggeleng, menyambar satu botol soda dan membukanya. “Gue denger dari Bu Elva kalau lo mau tunangan sama Pak Arka?!” semburnya penuh emosi. “Lo anggap gue ini apa, Rista?! Kenapa gue nggak tahu apa-apa, hah?!” Selain Hotel Sunflower yang dipimpin Arka, Lotus Film yang dipimpin Dewi, Mahesa Grup juga memiliki cabang bisnis lain yang dipimpin oleh Elva yaitu sebuah departemen store. Hibiscus Departemen Store berfokus menjual barang-barang produk fashion seperti pakaian, sepatu, jam tangan, dan aksesoris fashion lainnya. Elva dipilih menjadi presiden direktur selain karena kemampuannya juga karena kiprahnya di dunia model. Penampilannya yang elegan dan modis secara tak langsung menjadikan Elva sebagai ikon departemen store mereka. Hari ini Elva sengaja mendatangi cabang Hibiscus di daerah Jakarta Selatan untuk melakukan evaluasi secara langsung. Dan Nola adalah manajer toko di cabang Hibiscus yang didatangi Elva. Arista melipat bibir, tak menyangka bahwa berita itu sudah sampai ke telinga sahabatnya. Kalau dikurangi yang ini, sebenarnya ada banyak sekali hal yang sudah ia rahasiakan dari Nola. Sungguh itu semata karena ia terpaksa melakukannya. “La, duduk dulu, yuk,” ajaknya lembut, sedikit takut. “Jelasin sekarang, Rista!” bentak Nola geram. Arista menelan ludah. Sepanjang ia bersahabat dengan Nola, mereka memang hampir tak pernah menutupi apapun. Hingga ketika Satya mendatanginya, menawarkan sebuah rencana menarik hingga membuat harus mengambil langkah besar, Arista terpaksa banyak berbohong pada Nola. Itu semata karena ia mengkhawatirkan satu-satunya sahabat yang ia milik. “Iya,” Arista memulai penjelasannya. “Memang ada wacana soal pertunangan gue sama Pak Arka.” “Hahaha!” Nola tertawa sinis. “Dan gue, yang lo bilang satu-satunya sahabat lo malah nggak tahu sama sekali?!” “Gue nggak berniat ngerahasiain dari lo, La--” “Terus apa namanya, Rista?! Lo nggak cerita ke gue tuh apa namanya, hah?!” Arista maju, mendekati sahabatnya yang marah. Menatap matanya lembut, menyentuh lengannya perlahan. Seolah Nola adalah binatang buas yang bisa kapan saja menerkamnya. “Gue ceritain semuanya. Bener-bener semuanya,” ucapnya pelan. Mencoba meminta pengertian. “Tapi lo mandi dulu, ganti baju dulu, lo--” “Gue kenapa?!” sergah Nola galak. “Lo bau, La!” Nola menggeram. “Si*lan lo!” Ia menimpuk Arista dengan bantal sofa yang ada di dekatnya. Seketika, suasana tegang di antara mereka sedikit melunak. *** Arista duduk di balik meja kerjanya sembari memijit pelipis, kepalanya sedikit pening. Pasalnya, semalam ia baru tidur selepas subuh karena ditodong banyak sekali penjelasan oleh Nola. Dan berakhir terbangun kesiangan lalu tergesa-gesa berangkat ke kantor. “Minum kopi, Ta?” Radi mengacungkan segelas kopi yang baru ia buat di pantri. “Oh, belum. Habis ini gue bikin, deh.” Radi tersenyum, membuat matanya menyipit membentuk bulan sabit. “Ini buat lo.” “Wah, buat gue?” Arista membulatkan matanya. Radi memang baik dan perhatian. Tipikal karyawan yang disukai siapapun. “Iya. Minum aja. Satu sendok teh bubuk kopi, dua sendok teh gula, dan dua sendok teh krimer, betul?” Radi menyebutkan resep kopi favorit Arista. Membuat wanita itu tertawa. “Bener banget! Thanks, ya.” Arista menerima cangkir kopi berwarna putih itu. Asap tipis mengepul, menandakan kopi masih panas. Tapi tak menyurutkan keinginannya untuk segera menyeruput minuman berkafein itu. Aroma khas biji kopi benar-benar terlalu menggoda untuknya. “Gimana?” tanya Radi yang belum juga beranjak dari meja Arista. “Hm, enak! Pinter juga lo,” puji Arista tulus, menepuk lengan Radi pelan. “Ehem!” suara seseorang berdehem menginterupsi obrolan Arista dan Radi. “Eh, Kak Lia?” Arista terkejut demi melihat wanita tinggi semampai yang kini berdiri di ambang pintu ruangannya. Wanita yang tak pernah terlihat batang hidungnya sejak kehebohan pembatalan perjodohannya dan Arka tempo hari. Arista segera keluar dari mejanya, menyambut tamu dengan sopan. “Ada yang bisa dibantu, Kak?” Bukan tanpa alasan Arista memanggil Lia dengan sebutan ‘kak’. Memang begitu yang diminta. Lia tak langsung menjawab, ia melirik pintu ruang kerja Arka sekilas. “Kak Arka ada?” “Hm, ada. Kenapa, ya?” “Bilangin dong, aku mau ketemu.” Arista mengerjapkan mata tak percaya. Biasanya Lia akan menerobos masuk tak peduli sekitar, tapi hari ini tumben sekali ia memperhatikan sopan santun. “Kak Lia belum buat janji?” tanya Arista lagi. Entah kenapa ia tak suka melihat Lia berdandan sedemikian rupa untuk bertemu Arka. Lihatlah, wanita itu mengenakan gaun mini dress off shoulder yang menampilkan tulang selangkanya yang indah. Gaun itu berwarna jingga cerah membuat kulit putih Lia terlihat berkilau. Lia menggeleng. “Belum sih.” “Saya tanyakan Pak Arka dulu, ya?” tawarnya. Tentu itu hanya sopan santun. Karena jika menuruti kehendak hati Arista, ia ingin mengusir Lia sekarang juga. Lia mengangguk, membiarkan Arista berlalu masuk ke ruangan Arka. Tak butuh waktu lama, Arista sudah keluar dari ruangan sang direktur. “Apa katanya?” sambut Lia tak sabar. “Silakan masuk, Kak. Saya buatkan minuman dulu. Kak Lia mau minum sesuatu?” “Hm, jus jeruk aja deh!” jawabnya riang. “Baik, Kak.” Dua wanita itu berpisah jalan. Lia berjalan dengan langkah ringan dan riang menuju ruangan Arka, sementara Arista berjalan menuju pantri dengan melipat wajah. Kesal. Selang lima menit, Arista sudah keluar dari pantri dengan nampan berisi segelas es jeruk dan beberapa kudapan. Ia berhenti sejenak di depan pintu besar ruangan Arka. Menarik nafas dalam, menghembuskannya perlahan, lantas seulas senyum bisnis tersemat di bibirnya yang sejak tadi cemberut. Ia harus profesional dalam menjalankan tugas. Sayangnya, begitu ia membuka pintu bercat abu tua itu sebuah pemandangan mengejutkan segera menyambutnya. Membuat ekspresi manisnya sirna seketika. Bahkan nampan yang ia bawa terjatuh berkelontangan di lantai. Jus jeruknya tumpah, gelas dan piring cemilan pecah berhamburan. Di depan sana, di balik meja kerja Arka, sepasang pria dan wanita yang ketika Arista masuk tampak saling menempelkan bibir itu sontak menoleh. Dari tempatnya berdiri, Arista bisa melihat lipstik jingga Lia menempel berantakan di bibir Arka. Membuatnya jijik dan segera berlari meninggalkan ruangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN