Caroline sebenarnya cemburu karena cinta Axelle bukan sepenuhnya miliknya. Ada perempuan lain yang menempati posisi yang sama seperti dirinya di dalam hati Axelle dan itu akan menjadi persaingan yang sangat ketat.
"Aku paham. Kalau saja kau memberiku kesempatan untuk berbicara dengannya, aku ingin meminta izin. Sesama wanita pasti bisa saling mengerti."
Axelle hanya tertunduk diam. Dirinya memang tidak mau melepaskan Scarletta karena bagaimana pun juga, Letta adalah perempuan yang sangat tulus sehingga ia tidak mampu untuk membuat hatinya tergores. Axelle tidak akan pernah rela jika ia harus menceraikan Scarletta untuk pria lain.
"Mungkin... Setelah dari Paris, aku akan membawamu ke rumahku untuk menjelaskan semuanya kepada istriku. Aku tidak bisa membohonginya terus-menerus."
Caroline tentu saja setuju. Ia punya celah untuk menjadi istri Axelle dan Caroline tak akan pernah menyerah sampai ia berhasil menikahi kekasihnya ini.
Mobil itu sampai ke sebuah rumah besar yang Axelle kira merupakan rumah orangtua Caroline. Ada seorang pelayan yang membawakan koper Axelle dan Caroline langsung menariknya untuk masuk ke dalam.
Sepupu Caroline merupakan seorang perempuan. Wanita itu menyambut kedatangan Axelle dengan ramah tanpa tahu kalau dibalik semua ini, Axelle adalah suami dari wanita lain.
"Dia kekasihku. Boleh kan jika kami tinggal satu kamar, Moira?"
Moira hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Ini negara bebas, terserah dengan apa yang hendak Caroline lakukan asal itu tidak menyusahkan orang lain. Caroline mengajak Axelle untuk masuk ke dalam kamar di mana dia tinggal dan mulai menjelaskan kalau sepupunya tinggal sendirian di sini.
"Axelle, semalam saat baru saja sampai, perutku terasa mual. Rasanya menyakitkan sekali apalagi ada beberapa makanan yang membuatku ingin muntah," Ucap Caroline dengan nada manja sambil mengusap perutnya yang belum membesar.
Axelle tersenyum kecil lalu ia menundukkan tubuhnya untuk mencium perut wanita itu,"Daddy tak akan meninggalkan kau dan Mommy."
Caroline mengusap rambut Axelle dengan sayang dan bahagia. Mereka akan menjadi keluarga yang sempurna.
"Berapa kali frekuensi mual yang kau alami, Carol?" Tanya Axelle ketika ia telah kembali bertatapan dengan wanita berambut coklat itu,"Beberapa hari ini hanya dua atau tiga kali, tapi rasanya benar-benar tidak tertahankan. Belum lagi kepalaku sering pusing."
Mendengar pernyataan itu, Axelle sempat teringat sesuatu. Scarletta juga mengeluh hal yang sama dua hari yang lalu.
Ah, tidak mungkin. Pasti hanya kebetulan.
Instingnya sebagai dokter memang jarang sekali salah, tapi Axelle tidak ingin beranggapan kalau Letta juga hamil. Tidak, jangan dulu.
"Kau makan sesuatu atau istirahat dulu, Axey?"
"Aku akan istirahat dulu saja."
Caroline tersenyum lalu ia mengecup pipi Axelle sebelum mengatakan kalau dirinya mau keluar untuk membeli sesuatu.
Kesempatan itu digunakan oleh Axelle untuk menghubungi istrinya. Dia jadi khawatir soal kesehatan Scarletta dan semoga saja perkiraannya salah.
"Halo, Axey?"
"Letta? Kau di mana dan sedang apa?"
"Aku baru saja sampai di rumah. Kau sudah sampai?"
"Iya. Di sini sudah gelap, apa kau baik-baik saja di sana?" Tanyanya. Suara tawa kecil Scarletta terdengar dan itu membuat Axelle sedikit merindukan istrinya.
"Aku baik-baik saja dan tadi aku juga sudah makan malam bersama Jacob. Kebetulan dia mengajakku untuk makan bersama."
Axelle menunjukkan ekspresi ketidaksukaannya ketika tahu kalau sang istri menikmati makan malam dengan Jacob, sahabatnya sendiri.
Sialan, apa Jacob berniat merebut Letta dariku?
"Kenapa kau bersamanya?" Tanya Axelle dengan agak kesal. Ia melangkah ke arah jendela sambil menatapi bintang-bintang yang bermunculan.
"Dia tahu kalau aku belum makan malam dan akhirnya aku menerima ajakannya karena ya... Aku cukup lapar."
"Hanya berdua?"
"Ada apa? Ada... Sesuatu yang salah?" Tentu saja Letta merasakan sesuatu yang tidak biasa dari cara Axelle berbicara. Apa yang terjadi antara Jacob dan Axelle? kenapa tingkah mereka berdua sangatlah aneh untuk hari ini?
"Tidak, tidak ada. Ya sudah, istirahatlah."
Axelle lantas mematikan ponselnya sebelum memandang kesal kepada pantulan dirinya sendiri dari jendela. Ternyata Jacob memang mencari kesempatan untuk merebut Scarletta darinya. Ia harus memperingati orang gila itu sebelum Letta benar-benar jatuh ke pelukan pria lain.
"Letta hanya milikku. Aku tidak akan memberinya kepada siapapun."
...
Di tengah malam itu, Scarletta terbangun karena rasa mual tidak tertahankan. Dengan cepat ia melangkah ke kamar mandi lalu memuntahkan segalanya demi menghilangkan rasa mual itu. Ia agak terengah-engah saat rasa mualnya selesai. Ini memang menyakitkan, tapi di satu sisi ia menikmati momen-momen seperti ini. Letta sangat berharap kalau Axelle berada di sini untuk membantunya meredakan rasa mual, tapi sayang karena sang suami tidak berada di rumah.
"Sabar ya, sayang. Daddy akan segera pulang dan kau akan bertemu dengannya. Ku harap kau baik-baik saja di sini."
Diusapnya pelan perutnya yang rata. Scarletta sungguh menyayangi anaknya ini dan ia sangat berharap kalau dengan kehadiran seorang anak, hubungannya dengan Axelle semakin terasa erat.
Keesokan paginya.
Axelle yang sedang berada di Paris tampak menemani Caroline ke dokter kandungan. Mereka pergi berdua setelah Moira pergi dan rencananya Caroline ingin mengajak Axelle pergi jalan-jalan berdua mengingat kalau belum ada momen yang mereka lakukan bersama.
Dokter kandungan menjelaskan kepada mereka kalau janin tersebut baik-baik saja dan sudah bisa dipastikan kalau dia memang tumbuh sehat karena Caroline sangat menjaganya kali ini.
Meski harus melewati masa di mana ia akan merasa mual dan lapar, semua itu tidak masalah asal ada Axelle yang akan menemaninya selalu. Ia ingin Axelle terus bersamanya seperti saat ini.
Keduanya mengunjungi kedai es krim kesukaan Caroline dan beristirahat sejenak di sana sebelum melanjutkan perjalanan mereka untuk pergi ke tempat wisata.
Caroline tengah berada di antrian untuk memesan es krim kesukaannya dan lagi-lagi kesempatan ini digunakan Axelle untuk menghubungi istrinya.
Beberapa kali ia mencoba, tapi tak ada jawaban sehingga akhirnya Axelle menyerah. Ia berpikiran untuk menelepon ayahnya karena bagaimanapun juga, Axelle rindu kepada kedua orangtuanya setelah Alex melarang dirinya untuk datang ke mansion.
Axelle pun akhirnya mencari nama sang ayah lalu menekan tombol hijau. Berharap saja kalau Alex mau berbicara padanya.
"Kenapa kau menelepon ku?"
Tanpa disangka-sangka ternyata Alex menjawab panggilannya. Axelle lantas duduk dengan tidak tenang dan tiba-tiba perasaan gugup menyerang hatinya.
"Uhm... Aku... Aku ingin bertanya soal kabar ayah."
"Aku masih hidup."
"Aku tahu... Maksudku-"
"Kudengar kau di Paris?"
"Ah, itu... Iya. Aku sedang ada pekerjaan di sini."
"Pekerjaan? Aku sangat menyesal karena telah salah mendidik mu, Axelle."
"Apa maksud ayah?"
Helaan napas terdengar dari seberang sana dan entah kenapa hal itu membuat Axelle tidak bisa tenang.
"Pulanglah dan bawa perempuan perusak rumah tangga itu ke rumahku. Aku benar-benar akan membunuh kalian berdua!"
TBC