Siang itu, Scarletta baru saja menyelesaikan segala urusan rumah. Ia berencana untuk pergi ke toko hiasan sore ini karena ada beberapa benda menarik yang ingin ia beli. Rumah mereka harus terlihat indah agar orang-orang yang bertamu tidak merasa bosan dengan keadaan rumah yang monoton.
Axelle masih berada di dalam kamar. Pria itu tertidur setelah membaca sebuah buku tentang penyakit dalam dan Scarletta tidak berniat untuk membangunkan suaminya. Sebenarnya dia masih agak kecewa karena kejadian semalam di mana Axelle mengacaukan makan malam mereka, tapi setelah mendengar dari Jacob kalau Axelle sedang melakukan operasi terhadap pasien, perlahan rasa kecewa itu memudar walau tidak sepenuhnya.
Wanita itu masuk ke dalam kamar dan melihat suaminya tidur dalam posisi tengkurap dan kacamata yang tidak terpasang dengan benar. Mungkin Axelle benar-benar kelelahan sampai terus tertidur sedari tadi.
Scarletta duduk di pinggir ranjang lalu ia melepas kacamata bening itu dan menyimpannya ke dalam laci.
Letta mengusap rambut Axelle dan tersenyum miris karena dirinya merasa masih tidak layak untuk bersama suaminya. Axelle pernah berkata kalau dia ingin Letta memakai sesuatu yang menarik jika berdua dengannya, tapi wanita itu selalu menolak karena alasan malu. Scarletta tidak suka mengumbar tubuh dan ia masih merasa aneh saat melakukannya di hadapan suaminya sendiri. Scarletta takut Axelle kecewa, tapi ia harap pria itu bisa memaklumi keadaannya yang sangat pemalu ini.
"Letta?"
Wanita itu tersentak saat suara parau Axelle terdengar di telinganya. Belum sempat ia berbicara, Axelle langsung menarik tubuhnya dan memaksa Letta untuk berbaring di sampingnya. Pria itu memeluk tubuh Scarletta dengan erat seakan-akan mengatakan kalau hanya dirinya yang boleh menyentuh Scarletta.
Jujur saja, Axelle cemburu karena semalam Jacob telah berhasil mencari kesempatan untuk bersama Scarletta walau hanya sebentar.
"Axey, ada apa?"
"Aku merasa sangat bersalah. Aku minta maaf."
Letta mengusap punggung tangan suaminya yang melingkar di sekitar pinggang sebelum tersenyum tipis,"Aku baik-baik saja."
Tidak, sayang. Maafkan aku karena telah mengkhianati dirimu.
"Aku mencintaimu," Bisik Axelle lalu ia mencium pipi Letta dengan penuh kasih sayang. Dia tidak sedang bercanda, dirinya memang mencintai Letta dan di sisi lain juga ada perasaan untuk Caroline di dalam hatinya. Rasa cinta itu telah terbagi dan Axelle sadar kalau ia bisa saja menyebabkan petaka untuk pernikahannya dengan Scarletta.
"Masih ada malam-malam lain, Axey. Kita bisa menikmati makan malam lain kali," Letta hendak melepas pelukan suaminya, tapi Axelle menahan pinggang wanita itu.
Pria itu dengan cepat merubah posisi menjadi di atas Scarletta lalu ia mencium bibirnya cepat. Letta awalnya terkejut karena tiba-tiba saja Axelle berniat untuk bercinta dengannya. Pria itu jarang memaksa, bahkan nyaris tidak pernah. Namun, entah kenapa seperti ada emosi lain yang bisa Letta rasakan dari cara Axelle mencumbunya.
"Ja-jangan sekarang, Axey. Hari masih cerah dan bagaimana jika ada orang yang datang?"
"Aku tidak bisa menunggu."
Scarletta tidak lagi melawan saat Axelle menarik pakaian atas yang ia kenakan sehingga perlahan ia menjadi telanjang bulat di bawah tubuh kekar sang suami.
Apa kau akan menolak ku jika tahu kalau semalam aku telah bercinta dengan wanita lain?
Pertanyaan itu hanya akan terucap di dalam hatinya. Axelle tahu tindakannya kali ini sangat tidak pantas untuk dibenarkan. Jika saja Scarletta atau keluarga besar Grissham tahu, mungkin saat ini ayahnya telah menguburnya hidup-hidup karena telah berani menyakiti wanita setulus dan sebaik Scarletta.
Letta mengalungkan tangannya di leher Axelle. Bibirnya menahan desahan ketika suaminya mulai bergerak pelan di bawah sana. Scarletta memang terlihat cukup amatir karena dia memang tidak pernah melakukan hubungan seks dengan siapapun kecuali Axelle yang telah resmi menjadi suaminya sejak enam bulan lalu.
Berbeda dengan semua gadis yang pernah dekat dengan suaminya ini. Scarletta selalu tahu kalau semua mantan kekasih Axelle itu seperti jalang yang tidur dengan banyak pria, tak terkecuali... mantan kekasih hati Axelle yang terakhir. Caroline juga pernah tidur dengan pria asing yang pada saat itu ia masih berstatus sebagai pacar Axelle.
Maka dari itu dulu Scarletta meminta Axelle untuk menjauh dari Caroline karena dia tahu kalau wanita itu bukan perempuan baik-baik.
Perempuan mana yang tega membunuh anak yang bahkan belum sempat merasakan udara di dunia ini? Scarletta tidak mengerti kenapa dulu Axelle terlihat seperti b***k cinta dari Caroline yang jelas-jelas bukan seorang gadis baik.
"Kau masih polos seperti biasanya, Letta. Aku suka dengan sikapmu," Pujinya sambil tetap menghujam di bawah sana.
Brengsek memang, karena Axelle membandingkan gaya bercinta antara Scarletta dan Caroline. Jika Carol adalah tipe wanita agresif yang siap mengendalikan permainan ranjang, maka Letta adalah kebalikannya. Scarletta terkesan lebih pemalu bahkan tidak berani membuka matanya sendiri.
Scarletta juga punya ukuran d**a yang jauh lebih besar daripada Caroline, bahkan kulitnya tampak lebih putih. Hanya saja, Scarletta lebih sering menolak ajakannya bercinta karena alasan malu dan tidak bisa mengimbangi. Namun, itu tidak menjadikan Axelle lantas bosan, ia malah semakin penasaran dengan tubuh sang istri.
Terkutuklah ia karena telah mempermainkan hati wanita.
...
Satu bulan telah berlalu sejak malam di mana Axelle berselingkuh dengan mantan kekasihnya. Semuanya tampak baik-baik saja dan beruntung karena Caroline tidak mengganggunya lewat panggilan telepon ataupun pesan singkat. Axelle awalnya kecewa karena tidak menerima kabar apapun dari Caroline, tapi dia juga lega karena hubungannya dengan Scarletta tetap baik-baik saja.
Saat ini dirinya tengah berada di rumah sakit karena masih ada urusan yang belum ia kerjakan. Hari sudah begitu larut, tapi itu tidak menjadikan Axelle lelah. Scarletta sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu karena ia mengeluh sakit dan pusing. Scarletta pulang dengan taksi karena sebelumnya ia menolak ketika Axelle yang hendak mengantarnya pulang.
Di tengah keseriusannya membaca dokumen salah satu pasien pengidap kanker otak, pintu ruangannya terbuka.
Ia menoleh ke arah pintu dan terkejut saat melihat Caroline muncul di depan sana.
"Carol? Sedang apa kau di sini?"
Caroline tersenyum manis dan ia cepat-cepat menutup pintu ruangan Axelle agar tidak ketahuan oleh orang luar. Axelle melepas kacamatanya dan hendak mengatakan sesuatu, tapi Caroline lebih dulu memeluknya erat.
"Sebulan tidak bertemu ternyata benar-benar membuatku rindu. Kenapa kau tidak pernah mengirimiku pesan atau menelepon? Aku selalu menunggu satu bulan ini."
Axelle menggeleng dan ia menatap cemas ke arah kaca ruangan yang belum ia tutup dengan tirai,"Bagaimana kau tahu aku di sini, Carol?"
"Aku mencari tahu soal dirimu lewat pamanku, Axey. Beruntung karena pamanku menyimpan semua data relasi kerjanya dan akhirnya aku menemukan profil mu."
"Carol, sebaiknya kita tidak bertemu di sini. Bagaimana jika ada orang lain yang melihat?"
"Kau takut istrimu memergoki kita disini?" Balasnya dengan nada yang sedikit menyiratkan nada ketidaksukaan. Sebenarnya Carol tidak berniat untuk merusak hubungan siapapun, tapi dia juga membutuhkan masa depan dan dia ingin Axelle sebagai masa depannya. Tidak peduli bagaimana ucapan orang lain nanti.
"Aku akan menemui mu besok. Nanti kita-"
"Aku hamil."
"Apa... Kau... Kau apa?"
Cup!
Caroline mencium bibir Axelle secara tiba-tiba. Axelle tidak dapat menolak dan seketika akalnya mulai kembali mati. Ia mendekap tubuh Caroline dan mendorong tengkuk wanita itu untuk memperdalam ciuman mereka.
"b******n sialan!"
Di luar ruangan, seseorang tampak mengintip dari jendela. Tangannya terkepal erat saat melihat Axelle tengah berciuman dengan wanita yang bukan istrinya.
Mata hitam pria itu berkilat marah sampai-sampai ia ingin sekali memukul wajah b******k pria itu yang tidak pernah sekalipun membuat Scarletta merasa bahagia.
"Kau pecundang paling payah yang pernah aku lihat, Axelle. Akan ku rebut Scarletta darimu agar ia tak selalu kau sakiti."
...
Hoekk! Hoekk!
Scarletta memuntahkan segala isi perutnya ke dalam toilet saat ia tengah memakan roti isi yang baru saja ia buat di tengah malam yang sunyi ini.
Ia telah merasakan perasaan mual ini sejak tiga hari yang lalu dan Letta menduga kalau dirinya sedang hamil— mengingat kalau tubuhnya mengalami gejala-gejala seperti wanita hamil pada umumnya.
Ia menekan tombol flush lalu dirinya berkumur-kumur lewat air di keran wastafel. Sedari siang tadi dirinya tidak merasa sehat dan Letta benar-benar berharap kalau perasaan ini memang mengatakan kalau dirinya tengah hamil.
Buru-buru ia membuka plastik alat tes kehamilan yang memang sengaja ia simpan di dalam laci meja. Jika benar dirinya hamil, maka Scarletta akan memberi kejutan kepada Axelle ketika suaminya pulang nanti.
"Semoga hasilnya positif..."
Letta memejamkan matanya sembari menunggu hasil dari alat tes kehamilan itu. Sudah tujuh bulan dia menantikan sebuah kehamilan dan semoga saja hasilnya sesuai dengan apa yang ia harapkan.
Wanita itu membuka matanya saat dirasa sudah waktunya untuk melihat hasilnya. Letta berdoa sekali lagi sebelum bola matanya menatap tepat ke alat tes kehamilan itu yang menunjukkan dua garis merah di atasnya.
"Aku hamil!"
TBC