Jika dihitung sejak pesan itu masuk ke ponselnya, dan kini pukul empat pagi, artinya sudah lima jam berlalu. Jujur saja, Ara panik luar biasa. Ia menekan tombol panggil ke nomor Anantari. Bayangan jika anak buah Leandro menerobos masuk kediaman orang tuanya dan menyakiti mereka sungguh menghantui. “Mama? Ma? Mama!” panggil Ara begitu telponnya diterima. “Iya, Nak.” “Mama ngga apa-apa? Papa mana? Zia dan Yuna?” “Kami ada semua di rumah. Papa WFH dulu.” “Terus?” “Tunggu, Ra. Ini ada yang mau bicara.” ‘Ya Allah,’ batin Ara. Kedua lututnya lemas, jantungnya mencelos, keringat dingin menerobos pori-pori tubuhnya. Bahkan perutnya kini terasa mual. “Bisma?” sapa seseorang di ujung panggilan. “b*****t! Siapa lo? Pergi lo dari rumah gue! Urusan lo sama gue, bukan sama keluarga gue!” cecar