Selamat membaca!
Keesokan harinya
Terlihat seorang wanita berparas cantik tengah memutar-mutar tubuhnya berulang kali di depan sebuah cermin, hanya untuk memastikan bahwa penampilannya saat ini sudah terlihat rapi di hari pertamanya masuk kerja di sebuah perusahaan besar, terlebih ia menjabat sebagai sekretaris seorang CEO yang bertemu dengan kolega-kolega penting membuat Amanda harus tampil cantik dan sempurna.
Setelah merasa percaya diri dengan penampilannya, kini Amanda mulai melenggang keluar dari kamar sambil menenteng tas kerja berwarna biru tua. Walau gugup di hari pertamanya masuk kerja, tapi wanita itu mencoba tenang saat kedua kakinya mulai melangkah menuruni anak tangga satu persatu menuju ruang makan tempat kedua orang tuanya berada saat ini.
Wajar saja Amanda merasa gugup, karena di perusahaan tempat sebelumnya ia bekerja wanita itu hanya menjadi seorang karyawan biasa dan hanya fokus berkutat dengan sebuah laptop yang berada di atas meja kerjanya, tanpa harus bertemu orang-orang penting di luar kantor.
"Tenang, Amanda. Kamu pasti bisa! Masih untung Bos kamu itu Pratama, jadi sudah pasti dia tidak akan memarahimu ketika melakukan kesalahan kecil tanpa disengaja, dia juga pasti akan mengajarkan kamu perlahan demi perlahan sampai kamu terbiasa dengan posisimu sebagai sekretarisnya! Pokoknya kamu harus semangat!" batin Amanda menyemangati dirinya sendiri untuk mengurai rasa gugup yang bertengger di dalam pikirannya.
Begitu sampai di ruang makan, Amanda bergegas duduk kursinya setelah menyapa Tamara dan William lalu memberikan sebuah kecupan di pipi mereka masing-masing.
Tamara yang sengaja memasak banyak untuk sarapan putrinya di hari pertama masuk kerja, segera meraih sebuah piring kosong lalu meletakkan seporsi nasi putih dan beberapa lauk di sampingnya, kemudian ia menyodorkan piring tersebut di hadapan Amanda.
"Ayo, dimakan sampai habis ya, sayang. Mom sengaja masak menu kesukaanmu, biar kamu sarapannya banyak buat isi tenaga supaya kerjanya semangat sampai sore. Mommy juga sudah siapkan bekal untuk kamu bawa ke kantor, di luar juga supir yang namanya Pak Mun sudah siap untuk mengantar kamu ke kantor." Tamara yang begitu baiknya ternyata sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk Amanda pergi bekerja, bahkan ia sengaja bangun sepagi mungkin untuk menyiapkan pakaian kerja Amanda lalu mengantarkannya ke kamar wanita itu.
"Ya ampun, Mom. Kenapa harus repot-repot begini sih, Mommy 'kan sudah bangun dari pagi banget lho buat siapin keperluan aku kerja, ternyata Mom juga masak sebanyak ini cuma buat aku?" tanya Amanda dengan kedua alis yang saling bertaut seraya mengerucutkan bibirnya.
"Enggak apa-apa kok, sayang. Mommy senang melakukannya untuk kamu. Pokoknya kalau kamu perlu apapun itu jangan sungkan ya untuk langsung bilang sama Mommy. Nah, sekarang lebih baik kamu cepat habiskan makananmu biar bisa jalan dalam tiga puluh menit ke depan, karena jalanan jam segini lagi macet-macetnya banget lho."
"Mommy, tapi aku enggak mau kalau Mom setiap hari jadi sibuk karena mengurus aku. Mulai besok biar aku yang siapin pakaian kerjaku sendiri ya, Mommy juga enggak perlu masak sebanyak ini, aku takut nantinya Mom akan jatuh sakit karena kecapekan." Amanda masih merengek sampai Tamara mau menuruti keinginannya.
"Mom, kamu turuti saja kemauannya Amanda ya karena kalau kamu bilang enggak maka dia akan terus merengek sampai kamu bilang iya. Nanti yang ada dia malah enggak jadi masuk kerja sampai kamu ikutin apa yang dia minta, lagipula ini semua 'kan demi kebaikan kamu makanya Amanda enggak mau kalau kamu sampai kecapekan karena mengurusnya. Putri kita 'kan sudah besar, dia pasti pandai dan pintar mengurus dirinya sendiri, jadi lebih baik kamu fokus saja urus suamimu yang katanya paling tampan ini," ucap William yang coba menengahi, dan diakhiri dengan sebuah kalimat rayuan yang sengaja ia lontarkan untuk menggoda istrinya.
Benar saja, wajah Tamara kini bersemu merah karena William mengatakan hal itu di depan Amanda yang mulai tersenyum meledek menatap wajah sang ayah.
"Uh, bisa banget deh Daddy aku satu ini. Pintar banget rayu istrinya, sudah besar masih minta diurusin segala!" ledek Amanda sambil menjulurkan lidahnya setalah ia mencibir.
Tamara terkekeh lucu mendengar perkataan Amanda pada suaminya. Lalu ia pun menyudahi segala kelucuan yang terjadi di ruang makan agar Amanda lekas menyantap sarapan perginya mengingat saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 07.30, sedangkan Amanda harus masuk berkerja pukul 09.00.
"Sudah ya, sayang. Cepat habiskan makananmu, nanti kamu bisa terlambat kalau terlalu lama bercanda dengan Daddy-mu yang lucu itu!" titah Tamara seraya menyerahkan sendok dan garpu yang langsung diterima oleh Amanda.
"Iya Mom, tapi jawab dulu dong permintaan aku yang tadi," pinta Amanda yang masih menuntut jawaban pada sang ibu.
"Jawabannya iya. Mom akan membiarkanmu menyiapkan segalanya yang kamu bisa, kalau kamu butuh bantuan Mommy tetap harus bilang padaku ya!" titah Tamara yang akhirnya menyetujui permintaan putrinya.
"Nah, gitu dong dari tadi jadi 'kan tidak ada perdebatan di antara kita. Makasih ya Mom, i love you!" Amanda begitu bahagia karena segala keinginannya di rumah ini ia dapatkan dengan mudah, seperti hal yang barusan terjadi.
Kemudian Amanda, Tamara dan William pun memulai sarapan paginya bersama-sama. Diwarnai dengan obrolan ringan yang menemani aktivitas sarapan mereka.
Saat waktu sudah menunjukkan pukul 08.00, bertepatan dengan aktivitas sarapan Amanda yang telah usai, wanita itu pun bergegas pergi setelah berpamitan pada kedua orang tuanya.
Amanda menaiki sebuah mobil milik ayahnya yang dikendarai oleh supir pribadi yang bekerja di rumah kediaman William. Supir yang akan mengantar-jemut Amanda selama bekerja agar hati Tamara yang menunggu kepulangannya di rumah merasa tenang dan tidak gelisah.
Setelah melewati perjalanan selama hampir satu jam, kini mobil yang Amanda naiki berhenti tepat di depan lobi perusahaan properti milik keluarga Wirayuda.
Amanda bergegas keluar dari mobil setelah berpamitan pada Pak Mun yang akan kembali menjemputnya saat jam pulang kerja, wanita itu pun mulai melangkah dengan begitu anggunnya untuk memasuki lobi perusahaan yang begitu luas, terlihat banyak karyawan yang masih berlalu-lalang di sekitaran lobi. Namun, kedua mata Amanda langsung dapat menangkap keberadaan seseorang yang ternyata sudah menunggu kedatangannya di depan pintu masuk, walau sosok itu sempat tertutupi karyawan yang keluar masuk melintas di hadapannya.
Wanita itu semakin memacu langkahnya untuk menghampiri seseorang yang telah menunggu.
"Hei, selamat pagi!" Amanda menyapa seseorang itu yang tak lain dan tak bukan adalah sosok Pratama Wirayuda yang kini mulai menyunggingkan seulas senyuman manis saat menatap wajah cantik Amanda pagi ini.
"Pagi, Nona manis. Kamu siap bekerja?" balas Tama dan diakhiri dengan sebuah pertanyaan.
"Tentu, tapi tolong jangan galak-galak sama sekretarismu ini ya, Tuan. Maklum masih baru dan masih hari pertama jadi butuh asupan ilmu." Amanda menjawab dengan setengah berbisik, sambil menaikkan kedua alisnya secara bersamaan.
Tama mengedipkan sebelah matanya. "Oke. Ayo masuk, aku akan antar kamu sampai ke ruang kerja biar aku bisa menjelaskan tentang tugas-tugasmu, setelah itu aku akan memperkenalkan kamu sebagai sekretaris baruku pada karyawan saat meeting jam 11.00 nanti."
"Baiklah, Tuan. Silahkan jalan duluan, aku akan mengekor di belakangmu."
"Memangnya kenapa? Kita berjalan sejajar saja, aku lebih nyaman seperti itu. Jangan sungkan Amanda, anggap saja perusahaan ini seperti perusahaan tempat kamu bekerja sewaktu di London, buat senyaman mungkin maka akan lebih cepat menyatu dengan suasana di sini."
Mendengar perkataan Pratama, membuat Amanda tak memiliki alasan untuk menolak, ia pun segera mensejajarkan posisinya dengan Tama dan lalu mereka melangkah bersama-sama menuju lorong yang di ujungnya terdapat lift pribadi khusus untuk para petinggi perusahaan.
Beberapa kali Tama menjawab sapaan dari karyawan yang berpapasan dengannya selama menyusuri lobi, sebanyak itu pula Amanda menjadi pusat perhatian beberapa karyawan yang mentapnya penuh selidik karena wajah bule-nya.
"Tama, kenapa sih mereka menatapku aneh seperti itu? Apa jangan-jangan aku terlihat salah karena jalan bersama Bos mereka kali ya?" tanya Amanda seraya menyikut lengan Pratama yang berjalan di sebelahnya dengan jarak yang begitu dekat.
"Mungkin mereka terpesona dengan kecantikanmu, Amanda. Makanya mereka menatapmu seperti itu, lambat laun kamu juga pasti akan menyatu dengan mereka." Tama menjawabnya dengan sesantai mungkin, sambil sesekali mengulas senyum saat kembali berpapasan dengan karyawan yang menyapanya.
"Oh seperti itu, berarti secara tidak langsung kamu mengakui bahwa aku ini cantik?" tanya Amanda secara telak hingga membuat Tama sekilas menoleh ke arahnya dan segera menarik tangan wanita itu untuk bergegas masuk ke dalam lift pribadinya.
Begitu tiba di dalam lift dan setelah pintu tertutup rapat, Pratama langsung mengunci pergerakan Amanda dengan menempelkan tubuh wanita itu ke dinding lift hingga jarak keduanya begitu dekat. Kedua tangan Tama bertumpu pada dinding lift yang terbuat dari kaca.
"Ka--kamu mau apa, Tama?" tanya Amanda yang mulai gugup saat jarak mereka sangat dekat, bahkan bisa dikatakan tubuh keduanya begitu menempel seolah ruangan lift terkesan sempit dan hanya mampu menampung satu orang saja. Namun, pada kenyataannya lift itu dapat menampung sampai 25 orang.
"Aku hanya ingin bilang sesuatu, bahwa kamu sangat cantik dan aku menyukaimu," ucap Tama yang berbisik di samping telinga Amanda hingga membuat wanita itu menjauhkan daun telinganya dari mulutnya.
"Terima kasih untuk pujiannya, tapi kamu bisa enggak jangan sedekat ini denganku."
"Kamu gugup ya?" tanya Tama yang kini mulai berani menempelkan ujung hidungnya pada wajah Amanda.
Amanda mengangguk dengan perlahan sambil berusaha menjauhkan wajahnya dari jangkauan Tama. Namun, usahanya gagal saat pria itu berhasil meruntuhkan pertahanannya. Kini Tama mulai menangkup kedua sisi wajah Amanda lalu tanpa sebuah aba-aba pria itu melumat bibir seksi milik Amanda yang sejak awal pertemuan mereka sangat menggodanya.
Walau pada awalnya Amanda sempat memberontak karena sikap kurang ajar Pratama yang tiba-tiba saja menyerang bibirnya. Namun, pada akhirnya wanita itu pun luluh saat Tama melumat bibirnya dengan penuh kelembutan seraya mengusap tengkuk Amanda untuk membuatnya merasa nyaman.
Amanda tak membalas ciuman yang saat ini sedang berlangsung, walau sebenarnya ia ingin mencoba untuk membalas setiap gerakan yang Tama lakukan. Hal itu semata-mata untuk meminta Tama agar segera menghentikan kegiatannya saat ini mengingat mereka sedang berada di dalam lift.
Saat Tama masih belum menghentikan semuanya, Amanda pun mendorong tubuh Tama agar menjauh darinya hingga punggung kekar pria itu terbentur dinding lift dengan napas yang tercekat.
"Kamu gila ya, kamu melakukannya saat kita sedang berada di dalam lift? Bagaimana kalau tiba-tiba ada yang masuk dan memergoki kita melakukan hal yang tidak senonoh seperti tadi?!" tanya Amanda dengan mengumpat kesal.
Tama mengusap wajahnya dengan kasar karena merutuki kebodohannya sendiri yang tak dapat menahan diri saat berada di dekat Amanda.
"Manda, aku... aku benar-benar minta maaf karena tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Aku mohon tolong maafkan kecerobohanku atas sikap yang seharusnya tidak aku lakukan padamu. Aku mohon," ucap Pratama yang terlihat begitu menyesali segala perbuatannya yang telah lepas kontrol dan tak terkendali. Ia mengatupkan kedua tangannya tanpa beranjak dari posisinya saat terakhir membentur dinding lift.
"Aku maafkan kamu kali ini, tapi tolong jangan lakukan itu lagi jika kamu bisa menghargai seorang wanita, terlebih aku adalah bawahanmu di kantor!" jawab wanita itu penuh dengan penekanan dengan raut wajah yang terlihat masam setelah kejadian tadi.
Suara denting lift menandakan bahwa mereka telah tiba di lantai 28, lantai yang terdapat ruang kerja Pratama Wirayuda, ruang kerja asistennya yang bernama Michael Statham, ruangan kerja Amanda dan beberapa ruangan tamu VIP untuk menyambut kedatangan tamu dari salah satu di antara ketiga orang tersebut.
Pratama mempersilahkan Amanda untuk melangkah keluar lebih dulu dari lift, lalu ia menyusul di belakang. Sikap Amanda yang terlihat telah berubah, membuat pria itu menjadi frustasi hingga ia menjambak rambutnya sendiri dengan rasa kesal yang membuncah.
"Bodoh! Tidak seharusnya aku mencium Amanda dengan terburu-buru seperti tadi! Kalau sudah seperti ini aku jadi bingung sendiri untuk membujuk Manda agar mau memaafkanku dengan cara seperti apa?!" umpat Tama di dalam hatinya yang merasa gelisah dengan perubahan sikap wanita itu.
Bersambung....