Selamat membaca!
Saat waktu sudah menunjukkan pukul 16.00, jam kerja hampir usai. Seorang pria mulai beranjak pergi meninggalkan ruangannya, menuju ruangan yang berada di seberangnya.
Pria itu mulai mengetuk pintu lalu membukanya dengan perlahan. Kedua matanya langsung disuguhkan pemandangan indah sesosok ciptaan Tuhan yang begitu sempurna.
"Hei, masih sibuk?" tanya Tama seraya melangkah masuk setelah ia menutup pintu kembali. Lalu ia duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan posisi Amanda bekerja saat ini.
"Hmm, seperti yang kamu lihat. Aku sedang sibuk mengatur jadwal kamu untuk pertemuan dan meeting dengan beberapa klien besok. Jadwal kamu sangat padat sekali ya."
Bila didengar dari obrolan yang terjalin, itu menandakan bahwa Amanda sudah kembali bersikap seperti biasa saja tanpa menunjukkan amarah sedikitpun, apalagi saat ia menatap wajah Tama.
Ya, setelah melakukan kesalahan hingga membuat Amanda dilanda amarah, akhirnya Pratama pun bertindak untuk terus meminta maaf sampai wanita itu mau memaafkan kesalahannya. Dan setelah memohon hampir selama satu jam dengan mengancam akan melompat dari ketinggian 28 lantai jika Amanda tak memberinya maaf, akhirnya wanita itu pun mau memaafkannya dan berjanji untuk bersikap seperti awal, sebelum kejadian di lift terjadi. Kini hubungan keduanya sudah kembali membaik dan hal itu membuat Tama dapat bernapas dengan lega.
"Ya begitulah, terkadang aku merasa jenuh dengan jadwal yang selalu padat hampir di setiap harinya, tapi mau bagaimana lagi, semenjak Papi meninggal dunia tidak ada yang dapat meneruskan bisnisnya selain aku, karena hanya aku anak satu-satunya, jadi mau tidak mau aku harus bertahan melalui kejenuhan yang kadang datang menyapa." Tama sedikit berkeluh kesah pada Amanda yang bersedia memasang telinga lebar-lebar untuk menjadi pendengar baik saat ia bercerita tentang kehidupannya.
"Wajar saja kamu merasa begitu, kamu itu 'kan hanya manusia biasa yang punya titik jenuh. Mungkin sesekali kamu harus pergi berlibur untuk me-refresh otakmu yang mumet karena terus bekerja. Itu sih hanya saranku saja," jawab Amanda yang masih terus fokus dengan laptopnya sambil sesekali melirik ke arah Tama yang duduk di depannya.
Kedua tangan Pratama kini menjadi tumpuan untuk menangkup dagunya di atas meja kerja Amanda, manik matanya asik menatap wajah cantik wanita itu dari kejauhan. "Mungkin lain kali kamu bersedia pergi berlibur bersamaku?"
"Kemana?" tanya Amanda dengan kedua alis yang saling bertautan ketika membalas tatapan Pratama.
"Ke Dubai, bagaimana?"
"Kapan?" tanya Amanda lagi dengan begitu antusias.
"Minggu depan. Tapi kita tidak hanya liburan saja di sana, karena satu hari aku ada pertemuan dengan klien untuk membahas pembangunan hotel di Palm Beach Dubai, setelah itu satu harinya lagi aku harus survei langsung ke lokasi. Dan sisa lima harinya adalah jadwal liburan kita. Bagaimana, apa kamu bersedia menemaniku?"
"Oke, aku ikut bersamamu!" jawab Amanda dengan sangat yakin seraya mengembangkan seulas senyuman dari kedua sudut bibirnya yang menyungging.
"Oke. Udahan yuk kerjanya, aku mau ajak kamu makan nih!" titah Pratama yang mulai jenuh menunggu. Ia menarik sebelah tangan Amanda yang semula sedang mengetik.
"Makan dimana? Kenapa enggak bilang-bilang dari tadi sih, pasti Supirnya Daddy sudah jalan ke sini buat jemput aku pulang!"
"Ya sudah, telpon dia dan suruh putar balik. Katakan padanya kamu akan pulang bersamaku karena kita ada pertemuan dengan klien di restoran sekaligus dinner di sana!" titah pria itu dengan seenaknya sambil menggerakkan kedua alisnya naik dan turun.
"Kamu suruh aku berbohong lagi! Ah, ini sangat menyebalkan punya Bos tukang bohong!" umpat Amanda dengan berdesis kesal. Lalu ia meraih benda pipih yang berada di samping laptop dan langsung menghubungi Pak Mun untuk mengatakan apa yang Tama perintahkan.
Setelah selesai berbicara dengan Pak Mun melalui sambungan telepon, kini Amanda mulai menutup laptop kerjanya dan bergegas memasukkan semua barang-barang bawaannya untuk kembali dibawa pulang.
Pertama tersenyum puas karena Amanda selalu menuruti segala perintahnya, walau sedang se-kesal apapun suasana hatinya saat itu.
"Manda sangat berbeda sekali dari Nathalie, walau dia menganggapku hanya sebagai seorang sahabat tapi dia selalu saja mengikuti apa yang aku perintahkan. Beda jauh sekali dengan Nathalie yang selalu sibuk dengan dunianya sendiri, bahkan walau aku sudah memohon padanya untuk mengambil jadwal libur pemotretan selama beberapa hari untuk menemaniku di Dubai, tapi lagi dan lagi dia tidak dapat mengabulkan permintaanku karena alasan sibuk. Jadi, kalau aku berpaling pada wanita lain siapa yang pantas disalahkan, aku, Amanda atau Nathalie?" batin Pratama bertanya-tanya dengan pergolakan batinnya sendiri.
Bahkan semalam sebelum Natalie pulang ke London bersama kedua orang tuanya, sempat terjadi perdebatan antara Tama dan calon istrinya, karena Nathalie memilih menunda satu bulan tanggal pernikahan yang telah ditentukan sebelumnya demi kontrak yang baru dilayangkan padanya dari salah satu perusahaan kosmetik ternama di Paris. Hal itu sungguh membuat Pratama kesal bukan kepalang, walau para orang tua dari kedua belah pihak tidak keberatan dengan keputusan Nathalie yang ingin seperti itu.
"Seharusnya pernikahan kita berlangsung dalam dua bulan ke depan, tapi sekarang jadi mundur satu bulan dan itu artinya aku harus kembali menunggu tiga bulan lagi. Jujur Nat, aku mulai lelah dengan sikap egois dan keras kepalamu, rasanya aku ingin batalkan saja rencana pernikahan kita biar kamu tetap bebas menjalani karirmu yang sedang cemerlang di sana!" batin pria itu lagi karena masih merasa kesal dengan kejadian semalam.
Hingga seketika Pratama tersadar dari lamunannya saat Amanda menepuk bahunya dengan keras.
"Hei, ngelamunin apa sih? Jadi pergi makan enggak?" tanya Amanda menatap wajah Pratama penuh selidik, karena sudah berulang kali ia memanggil nama pria itu tapi tak jua mendapatkan jawaban.
"Eh, iya Nat. Kenapa?" Karena terlalu lama bergumul dengan pergulatan batinnya sendiri, membuat Tama jadi salah menyebut nama.
"Nat? Siapa itu Nat, aku Amanda bukan Nat, Tama!" Seketika wanita itu menjadi begitu penasaran hingga ia menuntut jawaban dari Pratama yang terlihat pening hingga ia memijat pelipisnya seorang diri.
"Bukan siapa-siapa, tidak penting. Maaf tadi aku salah menyebut namamu."
"Itu bukan jawaban yang aku inginkan, Tama. Kalau kamu sampai salah menyebut namaku dengan nama seseorang, itu artinya kamu sedang memikirkan tentang seseorang itu. Cepat katakan padaku, siapa Nat yang kamu maksud? Pastinya dia seorang wanita 'kan!" tanya Amanda seraya bertolak pinggang di hadapan Pratama.
Tama menggelengkan kepalanya dengan perlahan, tanda ia tak ingin membahas tentang tunangannya pada wanita itu.
"Hei, jawab aku Tama! Masa kamu curang sih, sejak kemarin apapun yang kamu tanyakan padaku kamu selalu mendapatkan jawabannya, tapi kenapa sekarang giliran aku yang bertanya kamu seolah bungkam seperti tidak ingin aku mengetahui tentang kehidupanmu lebih dalam lagi!" Amanda terus memaksa pria itu agar menjawab rasa penasaran saat itu.
Hingga akhirnya Tama pun memilih jujur agar tak membuat Amanda salah paham dan semakin penasaran.
"Oke aku akan jawab jujur pertanyaanmu agar tidak dianggap curang. Nat yang aku maksud adalah Nathalie, dia seorang model di London dan merupakan tunanganku, kami akan segera menikah dalam tiga bulan ke depan. Sudah puas dengan jawabanaku, Amanda Olivia?" jawab Tama dengan amat terpaksa dan diakhiri melontarkan kalimat pertanyaan penuh penekanan.
Amanda begitu tercekat tak percaya mendengar jawaban Tama saat itu, entah kenapa hatinya terasa begitu sakit ketika rasa penasarannya sudah terjawab walau dengan kenyataan yang begitu mengejutkan untuknya. Raut wajah wanita itu seketika berubah, bahkan kedua matanya tampak berkaca-kaca dengan lidah yang terasa kelu untuk menjawab perkataan Tama.
Pria itu mulai bangkit dari posisi duduknya. Kini ia sudah berdiri berhadapan dengan Amanda yang tampak mundur beberapa lama untuk menjaga jarak darinya.
"Amanda, kenapa kamu melangkah mundur? Tenang saja aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti sewaktu di lift tadi. Aku hanya ingin menggenggam tanganmu untuk segera mengajakmu pergi ke restoran."
"Tama, ma-maaf aku ti-tidak bisa i-ikut denganmu, ka-karena aku a-ada janji untuk menemani Mommy ber-bertemu de-dengan teman-temannya."
Dahi Tama mengerut dalam saat ia mendengar Amanda berubah gagap, seperti kesulitan berbicara.
"Hei, apa yang terjadi padamu, Manda? Kenapa kamu jadi kesulitan berbicara." Pria itu masih sangat bingung dengan perubahan yang terjadi pada Amanda, ia pun mulai melangkah maju untuk mendekati wanita itu.
Namun, Amanda kembali mundur hingga tubuhnya membentur dinding ruangannya.
"A-aku tidak kenapa-kenapa. Aku ha-harus pu-pulang sekarang. Pe-permisi." Wanita itu pun segera menghindar dari Pratama dan beranjak pergi meninggalkan ruang kerjanya dengan langkah yang tergesa-gesa.
Tama tak tinggal diam membiarkan Amanda pergi begitu saja, ia pun segera menyusul langkah wanita itu yang sudah hampir sampai di depan pintu lift.
Amanda yang sadar Tama kini mulai menyusulnya, ia semakin memacu langkahnya dengan setengah berlari untuk sampai di lift lebih dulu agar dapat pergi menjauh dari pria yang baru diketahuinya, bahwa ternyata pria yang sempat menciptakan getaran di hatinya sudah memiliki calon istri. Dan itu membuat Amanda begitu syok hingga mengalami gagap setiap kali dirinya merasa sedih begitu tahu tentang kenyataan buruk di saat pertama kali ia mendengarnya.
Begitu tiba di depan pintu lift, Amanda bergegas menekan tombol hingga pintu pun terbuka, lalu ia melangkah masuk dan kembali menutupnya secepat mungkin dengan menekan tombol penutup agar Tama yang hampir sampai tak dapat masuk dalam.
"Manda, tunggu!!" teriak Tama yang terlambat lima detik karena pintu lift pun tertutup dan mulai meluncur ke lantai bawah.
"Sial! Sebenarnya apa yang terjadi pada Amanda, kenapa tiba-tiba saja dia berubah seperti itu setelah aku menjawab pertanyaannya. Aku harus menyusulnya sekarang dan bertanya tentang apa yang terjadi padanya!" gumam Tama dengan raut cemas dan bergegas memacu langkahnya menuju tangga darurat, karena ia akan turun ke lantai dasar dengan menggunakan tangga darurat yang pasti akan sangat melelahkannya.
Di dalam di lift terlihat Amanda tampak begitu frustasi, sesekali ia meremas rambutnya kuat-kuat saat merasakan kepalanya yang berdenyut hingga menyakitinya. Wanita itu meluapkan kesedihannya yang menyesakkan d**a agar dapat membuatnya lebih tenang.
"Ya Tuhan, kalau dia memang benar sudah memiliki tunangan, lalu apa artinya ciuman yang dia lakukan padaku saat berada di lift ini? Kenapa dia memujiku seolah dia seperti pria single yang tidak memiliki kekasih apalagi calon istri di hidupnya, kenapa juga aku harus merasa sesakit ini begitu mengetahui ternyata dia akan segera menikah dengan wanita bernama Nathalie?" tanya Amanda sambil terus meremas rambutnya dengan kasar.
Beberapa kali ia meraung sekeras-kerasnya untuk melampiaskan rasa sakitnya saat ini, terutama sakit di bagian kepala yang amat menyiksanya.
"Aku tidak boleh punya perasaan apapun pada Tama, dia adalah pria milik wanita lain! Tidak seharusnya aku berharap banyak padanya untuk menggantikan posisi Stefan di hatiku. Ya Tuhan, bantu aku untuk menghilangkan perasaan ini, perasaan yang salah yang tidak seharusnya aku miliki jika aku tahu dia sudah memiliki calon istri. Ah, aku ini memang bodoh, sangat bodoh karena sering salah dalam mengartikan kebaikan seseorang, lagi dan lagi aku kembali terperangkap dalam perasaan yang akan semakin menyiksa batinku!"
Bersambung...