Selamat membaca!
Begitu tiba di lobi perusahaan, Amanda semakin mempercepat langkah kakinya karena ia masih takut Tama akan terus mengejarnya. Wanita itu melangkah panjang hingga dirinya sangat cepat tiba di pelataran lobi dan ia semakin memacu kaki jenjangnya untuk terus melangkah mencari taksi yang tidak berpenumpang, mengingat saat ini adalah waktu pulang jam kerja ada banyak karyawan yang menggunakan taksi untuk pulang ke rumah masing-masing.
Saat ada taksi yang membunyikan klakson, Amanda segera menoleh ke arah sumber suara dan melihat taksi itu kosong, wanita itu pun segera memberhentikannya dan bergegas masuk ke dalam.
"Pak, antar saya ke hotel Amaroossa ya!" titah Amanda pada supir taksi sambil memperhatikan keadaan sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada Tama yang melihatnya menaiki taksi tersebut.
"Baik, Nona. Kita jalan sekarang?" tanya supir itu tanpa menoleh ke belakang untuk menatap ke arah Amanda.
"Iya, Pak. Jalan sekarang saja!" jawab Amanda dan mulai menyandarkan punggungnya di sandaran kursi jok dengan napas yang terengah-engah.
Setelah beberapa saat kesulitan mengatur napasnya, kini Amanda dapat bernapas dengan lega walau kepalanya masih terasa begitu sakit. Wanita itu sengaja tidak langsung pulang ke rumah karena ia butuh waktu sendiri untuk memenangkan pikiran sekaligus meredakan rasa sakit di kepalanya.
Sesekali Amanda meremas rambutnya saat tak dapat membendung rasa sakit yang semakin menyiksa dirinya.
Melihat kondisi penumpangnya dari kaca spion tengah, membuat sang supir yang sedang mengendarai taksi menjadi merasa cemas.
"Nona, apa Anda baik-baik saja? Apa tidak sebaiknya saya antarkan Anda ke rumah sakit untuk memeriksakan diri?" tanya supir itu yang tidak tega mendengar Amanda merintih kesakitan.
"Tidak perlu, Pak. Langsung ke hotel saja, saya hanya butuh istirahat sejenak maka saya akan kembali membaik." Amanda menolak bantuan dari supir taksi tersebut, dan mencoba untuk terlihat baik-baik saja agar ia tak sampai merepotkan orang lain karena rasa sakit yang dideritanya.
"Baiklah kalau begitu Nona, sebentar lagi kita akan segera sampai di hotel yang menjadi tujuan Anda," ucap supir itu sambil terus memberatkan suaranya agar Amanda tak sampai mengenalinya.
Setelah melewati perjalanan yang cukup singkat, taksi yang Amanda tumpangi kini mulai memasuki pelataran hotel dan berhenti tepat di depan pintu keluar-masuk hotel.
"Pak, ini ongkosnya. Terima kasih ya!" ucap Amanda seraya menyerahkan lima lembar uang berwarna merah, padahal ongkosnya tidak sampai 100.000.
"Nona, tapi ini terlalu banyak. Argonya hanya 75.000." Supir itu menjawab sambil menutupi wajahnya dengan topi yang ia kenakan.
"Tidak apa-apa, Pak. Lebihnya untuk keluarga Bapak saja yang sedang menunggu di rumah. Tolong diterima ya, Pak. Saya permisi." Wanita itu pun bergegas untuk keluar dari taksi.
"Terima kasih banyak, Nona. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu dengan berlipat-lipat ganda." Pria itu mengatupkan kedua tangan di hadapan wajahnya, hingga menutupi pandangan Amanda saat hendak melihat wajah supir tersebut.
"Aamiin. Doa yang sama baiknya semoga berbalik untuk bapak ya." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Amanda pun kembali melanjutkan langkahnya untuk keluar dari taksi tersebut, lalu wanita itu langsung melangkah memasuki lobi hotel.
Setelah Amanda keluar dari taksi, supir tersebut segera membuka penyamarannya, begitu ia melepas topi dan kacamata yang sempat menutupi wajahnya kini pria itu menyusul Amanda untuk membuntuti wanita yang membuatnya harus melakukan penyamaran ini. Kedua mata pria itu dapat melihat sosok yang menjadi targetnya saat ini tengah berada di depan resepsionis untuk memesan kamar hotel.
Saat Amanda telah mendapat kunci kamar, ia pun bergegas melangkah menuju lokasi lift yang akan mengantarkannya sampai ke kamar hotel tempatnya menginap yang berada di lantai 7. Sambil menunggu pintu lift terbuka, wanita itu mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan menghubungi seseorang.
"Halo, Alex. Bisa kamu datang ke hotel Amaroossa?" tanya Amanda begitu panggilannya sudah tersambung dengan seorang pria yang bernama Alex.
Sedangkan supir taksi yang semula menyamar kini sudah berdiri tepat di belakang tubuh Amanda dan mereka hanya berjarak 1 meter, pria itu dapat mendengar suara Amanda dengan jelas yang sedang menghubungi seseorang melalui sambungan telepon.
"Aku tunggu di kamar 201 lantai 7 hotel Amaroossa ya. Aku sangat membutuhkanmu, Lex!" jawab Amanda menimpali perkataan seseorang dari seberang telepon, lalu ia segera memutuskan panggilan tersebut dan kembali meletakkan benda pipihnya di dalam tas.
Setelah mendengar percakapan Amanda dengan seseorang yang menandakan akan adanya pertemuan, membuat pria yang tengah membuntuti wanita itu mundur beberapa langkah saat pintu lift mulai terbuka. Ia memberikan sedikit ruang untuk Amanda lebih dulu menaiki lift dan ia akan menyusul karena telah mengetahui nomor kamar yang wanita itu sewa.
Begitu tiba di lantai 7, Amanda bergegas memasuki kamarnya dan memilih menunggu sampai pria yang bernama Alex itu datang dengan membaringkan tubuhnya sejenak di atas ranjang.
Beberapa saat kemudian, setelah menunggu selama 30 menit akhirnya yang Amanda nantikan pun sudah datang.
Sosok pria yang baru saja sampai di kamar Amanda adalah seorang Dokter muda yang memiliki wajah tampan bernama Alexander Walton. Seorang Dokter langganan Amanda yang sudah berjanji akan selalu ada di saat wanita itu membutuhkannya, sampai Amanda benar-benar sembuh dari penyakit mematikannya.
"Manda, sejak kapan obat-obatanmu habis?" tanya Alex seraya mengeluarkan alat medisnya dari dalam tas kerja untuk memeriksa keadaan wanita itu.
"Mungkin sejak satu Minggu yang lalu."
"Mungkin kamu bilang? Ya Tuhan, Amanda... Kenapa kamu begitu menyepelekan penyakitmu ini sih? Memangnya kamu benar-benar ingin meninggal dunia saat kamu belum berhasil membuat bahagia hati kedua orang tuamu? Apa yang sih yang membuat kamu berpikir sebodoh ini? Kalau kamu terus membiarkan rasa sakit menyerang kepalamu tanpa memberikan obat maka stadiunnya bisa bertambah, Manda." Alex terdengar marah saat mendengar jawaban pasiennya itu yang sangat keras kepala.
"Aku capek hidup, Lex! Rasanya aku ingin mati saja!" jawab Amanda yang sedang merasa frustasi dan dilanda keputusasaan.
"Dasar wanita bodoh! Memangnya kamu pikir dengan kematianmu, maka hati orang tuamu akan bahagia? Sadar Manda, apapun masalahmu saat ini harusnya tidak sampai melemahkan keadaanmu, apalagi jika ini menyangkut soal kisah percintaanmu dengan Stefan. Come on Amanda, kamu harus bisa bangkit dan terus melangkah ke depan, selagi Tuhan memberimu kesempatan untuk hidup seharusnya kamu pergunakan itu dengan sebaik mungkin. Kamu masih punya harapan untuk sembuh dan kamu harus percaya itu!" ucap Alex yang coba menyadarkan Amanda dari keterpurukannya.
"Kamu bisa berkata seperti itu karena kamu enggak pernah berada di posisi aku, jadinya kamu enggak bisa ngerasain apa yang aku rasakan, Lex! Kalau kamu jadi aku pun pasti kamu akan memilih menyerah dengan penyakit yang mematikan ini. Aku lelah, Lex, terus menerus minum obat tapi kenyataannya aku tidak sembuh sampai saat ini. Jadi lebih baik sekarang kamu tidak perlu memberikan aku obat-obatan lagi, aku siap mati kapanpun Tuhan ingin menjemputku." Amanda yang mulai menyerah dengan segala rasa sakit yang selama ini ia pendam, membuat pikirannya menjadi kalut hingga ia berpikir bahwa kematian akan mengakhiri segala rasa sakit yang telah menggerogoti otaknya.
Alex begitu kesal menghadapi sikap Amanda yang begitu mudah menyerah dan putus asa. Alex yang sudah cukup lama mengenal Amanda sejak wanita itu menjadi pasiennya di rumah sakit London, mencoba menyadarkan Amanda dari keputusasaannya.
"Manda, sadarlah. Kamu begini hanya sedang frustasi karena putus cinta. Kamu bersikap seperti ini karena putus dengan Stefan 'kan? Soalnya hanya dia yang membuat kamu bisa segila ini."
"Lebih dari itu yang aku alami, Lex. Stefan memutuskan hubungannya dengan aku karena dia dijodohkan oleh orang tuanya untuk menikah dengan anak dari temannya. Setelah itu aku terjebak dalam zona nyaman dengan orang yang salah, karena aku terlanjur jatuh hati pada seorang pria yang baru kukenal dan ternyata pria itu sudah memiliki calon istri. Kenapa sih Lex, kenapa hidupku harus selalu seperti itu?"
"Astaga, Amanda. Harusnya aku yang bertanya padamu, kenapa kamu bisa sebodoh itu menggadaikan hatimu pada sembarangan orang yang baru kamu kenal? Dan asal kamu tahu ya, Stefan bukan menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya tapi dia menikahi wanita yang menjadi selingkuhannya saat dia menjalin hubungan denganmu, bahkan wanita itu tengah mengandung 4 bulan hasil dari hubungannya dengan Stefan. Andaikan dari dulu kamu mau mendengar perkataanku, mungkin kamu tidak akan berakhir mengenaskan seperti ini, Man. Sekarang percuma saja kamu menangisi Stefan karena ujung-ujungnya dia akan tetap menikahi selingkuhannya yang sedang mengandung."
Sebuah kenyataan baru yang disampaikan oleh Alex begitu mengejutkan untuk Amanda yang semakin dilanda frustasi.
"Ti-tidak mu-mungkin Stefan mengkhianati a-aku. Kamu pa-pasti ber--bohong 'kan?" tanya Amanda dengan wajah memucat dan sudah basah oleh air mata yang mengalir deras dari kedua pelupuk matanya.
Seketika wanita itu pun berteriak histeris seraya meremas rambutnya kuat-kuat. Alex tak memiliki pilihan lain, selain ia harus menyuntikkan cairan penenang ke dalam tubuh Amanda agar kondisi wanita itu tak semakin memburuk. Ditambah Amanda menolak saat Alex hendak memberikannya obat-obatannya yang telah habis sejak satu Minggu yang lalu.
Beberapa menit kemudian, suara tangisan Amanda mulai melemah, bahkan hampir tak terdengar dengan seiring berjalannya waktu setelah disuntikkan obat penenang.
Bersambung...