Hari itu rumah keluarga Hayes kembali ramai dengan aktivitas kelompok. Axel sengaja mengundang beberapa teman untuk belajar bersama, termasuk Luna. Meja keluarga dipenuhi kertas, buku, dan laptop yang terbuka di sana-sini. Axel duduk paling serius, mengetik cepat, sementara Luna sibuk menandai poin-poin di kertas print out.
Hayes baru pulang dari kantor, masih mengenakan kemeja rapi dengan dasi yang agak longgar. Begitu ia melangkah masuk, suasana riuh menyambut telinganya. Axel melambai sekilas.
“Pa! Kami lagi bikin laporan. Maaf kalau sedikit berisik.”
Hayes hanya mengangguk, meletakkan jas di sandaran kursi, lalu berjalan menuju dapur. Tapi matanya, bahkan ketika berpura-pura tak peduli, secara otomatis menangkap sosok Luna.
Gadis itu duduk di kursi samping Axel, rambutnya digelung asal dengan beberapa helai terlepas, memberi kesan santai. Wajahnya fokus, sesekali senyum kecil muncul ketika Axel atau teman lainnya melontarkan komentar. Hayes hanya sempat sekilas, tapi detik itu cukup untuk membuat hatinya bergetar lagi.
Ketika kembali dari dapur dengan segelas air mineral, Hayes menemukan meja di ruang keluarga lebih berantakan. Axel dan dua teman sibuk berdiskusi keras, sementara Luna justru diam, menulis sesuatu dengan cepat.
Hayes berdiri sejenak, pura-pura menyesap air. Dan saat itu, seolah tanpa sengaja, Luna mengangkat wajah.
Mata mereka bertemu.
Tidak lama. Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat waktu melambat. Ada sesuatu dalam tatapan Luna yang berbeda—bukan sekadar sopan santun pada ayah temannya, melainkan sebuah pengakuan samar bahwa ia juga sadar akan tatapan yang sama dari Hayes.
Luna buru-buru menunduk kembali, pipinya bersemu. Hayes memalingkan wajah, pura-pura sibuk dengan ponsel. Tapi d**a keduanya sudah dipenuhi getar yang tidak mudah diabaikan.
Axel tidak sadar. Dia terlalu fokus menekankan argumen pada temannya.
Malam berlanjut dengan diskusi panjang. Hayes memilih duduk di ruang tamu, membuka laptop seolah bekerja. Namun telinganya terus menangkap suara dari meja makan, terutama suara Luna yang tenang dan jernih.
Beberapa kali, tanpa alasan, ia mendapati dirinya menoleh. Dan setiap kali ia melakukannya, entah bagaimana, Luna juga sedang mengangkat wajah dari catatannya.
Mata mereka kembali bertemu. Lagi dan lagi.
Sampai akhirnya menjadi semacam permainan rahasia—saling menatap lalu buru-buru menghindar.
Tatapan itu bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Ada percikan di sana. Ada sesuatu yang tumbuh.
Di sisi lain, Axel benar-benar tidak peka. Ia malah berulang kali memanggil ayahnya untuk meminjam stapler atau bertanya hal remeh, sama sekali tidak mencurigai apa pun.
Ketika Luna tersenyum setelah Axel berhasil menjelaskan sesuatu, Hayes merasakan dadanya kembali sesak dengan kenangan. Senyum itu, tawa itu, semuanya membawa Hayes pada masa ketika ia masih muda.
Hanya saja kali ini berbeda. Luna bukan Evelyn. Luna nyata, hadir di hadapannya, duduk di meja makan rumahnya. Dan tatapan Luna barusan—tatapan singkat tapi intens—membuat Hayes sadar bahwa ia bukan satu-satunya yang merasakan percikan itu.
Malam semakin larut. Satu per satu teman Axel pamit pulang, menyisakan Axel dan Luna yang masih membereskan kertas di ruang keluarga. Para pelayan mondar-mandir membereskan piring dan gelas, sementara Hayes berdiri di dekat meja bar, hanya mengamati.
Ketika Axel sedang sibuk di ruang tamu menata kembali bukunya, Luna melangkah ke dapur untuk mengambil air minum. Ia tidak menyangka Hayes sudah berada di sana, berdiri tenang dengan segelas anggur merah di tangan.
“Tidak ikut istirahat?” tanya Hayes, suaranya rendah tapi tenang.
Luna sedikit terkejut, buru-buru menunduk sopan. “Oh … saya hanya mau ambil air sebentar, Tuan Ludwig.”
Hayes meletakkan gelas anggurnya di meja marmer, lalu menggeser sebuah botol air mineral ke arahnya. “Pakai ini saja. Tidak perlu repot.”
Luna tersenyum kecil, melangkah mendekat untuk menerima botol itu. Saat jemarinya bersentuhan dengan tangan Hayes, ada percikan halus, membuat keduanya sama-sama menahan napas sejenak.
“Belajarnya lancar?” tanya Hayes, kali ini nadanya lebih hangat daripada biasanya.
Luna mengangguk, matanya hanya berani sekilas menatap sebelum cepat menghindar. “Lumayan, Tuan. Axel pintar sekali, jadi saya banyak terbantu.”
Hayes mengulum senyum samar. “Dia memang keras kepala. Kalau sudah menjelaskan sesuatu, biasanya tidak akan berhenti sampai orang lain benar-benar paham.”
Luna ikut tersenyum. Dan lagi-lagi, mata mereka bertemu. Lama kali ini. Tidak buru-buru berpaling. Seolah ada kalimat yang tertahan di udara, menggantung di antara keduanya.
Detik itu, Luna merasakan jantungnya berdetak terlalu cepat. Ia menelan ludah, buru-buru menunduk lalu melangkah kembali ke ruang tamu, meninggalkan Hayes yang masih terpaku dengan bayangan senyum itu.
Malam itu, setelah tumpukan kertas dibereskan, Luna akhirnya berdiri sambil merapikan tasnya. Axel masih sempat menggodanya untuk menginap karena sudah terlalu larut, tapi Luna tersenyum, menolak dengan halus.
“Saya pulang saja, Axel. Besok pagi kita masih bisa lanjutkan lagi,” ucapnya lembut.
Hayes, yang sejak tadi hanya memperhatikan dari kursi ruang keluarga, angkat bicara sebelum Axel sempat menyela. “Luna, biar supir saya yang mengantar. Sudah terlalu malam, tidak baik kalau kamu naik kendaraan sendiri.”
Luna sempat terdiam, ragu. “Ah, tidak usah repot, Tuan Ludwig. Saya bisa pesan sendiri—”
“Tidak perlu sungkan,” potong Hayes, nadanya datar tapi tak bisa ditolak. “Kamu sudah cukup membantu Axel malam ini. Anggap saja ini rasa terima kasih saya.”
Akhirnya Luna mengangguk, sedikit menunduk. “Kalau begitu … terima kasih, Tuan.”
Beberapa menit kemudian, mobil hitam mengilap sudah menunggu di depan. Sopir pribadi Hayes membuka pintu, mempersilakan Luna masuk. Axel melambai riang, sementara Hayes hanya berdiri di teras, kedua tangannya menyelip di saku celana.
Sebelum mobil meluncur pergi, tatapan Luna tanpa sadar mencari sosok Hayes. Dan benar, mata pria itu sudah lebih dulu menatapnya—dalam, tak terbaca.
Mobil perlahan meninggalkan halaman. Hayes masih berdiri di tempat, menatap lampu belakang mobil hingga lenyap di tikungan. Ada sesuatu yang ia coba tekan, tapi denyut di dadanya tetap mengkhianati.
Di dalam mobil, Luna bersandar pada jok kulit, menatap keluar jendela. Bayangan tatapan mata Hayes terus berputar di kepalanya. Ia menggigit bibir, berusaha menepisnya. Tapi semakin ditolak, semakin kuat hangat itu menyelinap.
***
Hari berikutnya,
Tatapan-tatapan itu terus berulang di hari-hari selanjutnya. Setiap kali Axel mengajak Luna ke rumah, Hayes dan Luna seolah terjebak dalam rahasia yang hanya mereka berdua tahu.
Axel mungkin duduk di samping, asyik dengan laptop, tapi Hayes dan Luna bisa saling bertukar pandang dari seberang meja. Sekilas. Cepat. Tapi penuh makna.
Mata yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Dan semakin sering itu terjadi, semakin sulit bagi mereka untuk mengabaikan bahwa sesuatu sedang tumbuh, diam-diam, di balik tatapan yang tidak pernah benar-benar bisa diputuskan.
Axel masih buta sama sekali, sibuk dengan dunianya sendiri. Tapi Hayes dan Luna sudah mulai memiliki “tatapan rahasia” yang menyimpan percikan terlarang. Kedekatan itu perlahan menjadi candu, meski keduanya tahu betapa berbahayanya jika perasaan itu dibiarkan berkembang.