Sejak kejadian di ruang kerja itu, Luna berusaha sekuat tenaga menjaga jarak. Ia tahu, satu langkah saja bisa membuat dirinya terseret ke jurang yang tak akan bisa ia panjat lagi. Setiap kali Axel mengajaknya datang ke rumah, ia selalu mencari alasan untuk menolak.
Katanya sibuk. Katanya ada bimbingan dosen. Atau pura-pura sakit kepala. Semua cara ia coba, hanya agar tidak perlu menjejakkan kaki ke rumah megah yang kini membuatnya resah.
Tapi Axel terlalu gigih.
“Kita nggak bisa kerja jarak jauh terus, Na. Kamu tahu dosen kita killer banget, kan? Kalau deadline bab tiga skripsi telat, tamat sudah kita,” bujuk Axel sambil merengek.
Dengan wajah memelas dan nada suara yang sulit ditolak, Axel akhirnya menang. Luna kembali menjejakkan kaki ke rumah Ludwig itu—sebuah rumah megah dengan pilar-pilar tinggi, kaca jendela berkilau, dan halaman depan yang selalu rapi.
Di sepanjang lorong menuju ruang belajar, jantungnya berdebar tak terkendali. Ia menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri: Tenang. Fokus saja sama skripsi. Tidak ada yang lain.
Tapi keyakinan itu rapuh, karena satu nama terus menggema dalam benaknya. Hayes Ludwig.
Axel sibuk menyiapkan laptop dan tumpukan buku di meja besar ruang belajar. Suara ketikan keyboard berpadu dengan bunyi kertas yang disobek dari binder. Luna duduk di kursi, pura-pura fokus pada catatannya.
Namun, pikirannya melayang entah ke mana. Ia terlalu sadar bahwa di rumah itu ada sosok lain yang membuatnya gugup sekaligus … berdebar.
Tak lama, suara langkah berat bergema dari arah lorong. Langkah yang tak salah lagi.
Luna spontan menegang. Axel tak menyadari apa pun—terlalu sibuk menyalin data dari buku referensi.
Sosok itu muncul di ambang pintu. Hayes.
Penampilannya sederhana hari itu: kemeja abu-abu dengan lengan digulung sampai siku, celana bahan gelap, rambutnya disisir rapi. Tanpa jas, tanpa dasi. Justru kesederhanaan itu membuatnya terlihat semakin berbahaya di mata Luna.
“Sedang sibuk rupanya,” ucap Hayes datar, matanya menatap Axel sekilas sebelum berhenti lebih lama … pada Luna.
Luna buru-buru menunduk, pura-pura menulis. Tapi tubuhnya langsung panas. Ia bisa merasakan tatapan itu menelusuri kulitnya, membuat bulu kuduknya meremang.
Axel hanya terkekeh. “Ya, Pa. Deadline makin mepet. Dosen pembimbing udah galak banget.”
Hayes sekadar mengangguk, lalu melangkah pergi. Namun sebelum benar-benar keluar, tatapannya kembali singgah pada Luna. Tatapan yang terlalu lama, terlalu dalam, dan terlalu berbahaya.
Luna menahan napas. Jantungnya berdegup tak karuan. Kenapa dia harus melihatku seperti itu?
Sejak hari itu, kebetulan demi kebetulan terjadi.
Kadang, ketika Luna keluar untuk mengambil air, Hayes sudah ada di dapur lebih dulu, sedang menuang kopi. Ia selalu menyapanya dengan nada rendah yang membuat kulit Luna merinding.
Kadang, ketika ia ingin pulang lebih awal, Hayes kebetulan muncul di lorong, seolah sengaja menunggu.
Atau saat Axel keluar sebentar untuk menerima telepon, Hayes tiba-tiba masuk ke ruang belajar dengan alasan mencari dokumen.
Dan setiap kali itu terjadi, Hayes tidak pernah melakukan sesuatu yang terang-terangan. Tidak ada sentuhan. Tidak ada kalimat langsung.
Hanya tatapan.
Hanya senyum samar.
Hanya nada suara yang terlalu rendah hingga terasa menyusup ke pori-pori.
Justru itu yang membuat Luna gila. Karena dalam diam itu, ada bara yang menyala, makin besar setiap hari.
Hari itu, Axel buru-buru pamit. “Na, aku ke toko bentar, beli tinta printer. Kamu di sini aja ya, nggak lama kok.”
Luna ingin ikut, tapi sebelum ia sempat bicara, Axel sudah melesat pergi.
Ruang belajar jadi sepi. Terlalu sepi.
Luna menunduk pada buku catatannya, mencoba menulis sesuatu. Tapi jemarinya gemetar. Ada firasat aneh yang membuat dadanya sesak.
Dan benar saja.
Suara pintu berderit pelan.
Hayes masuk. Langkahnya tenang, terukur, seakan setiap gerakan sudah dipikirkan. Di tangannya ada segelas anggur merah, meski hari masih sore.
“Kamu sendirian?” tanyanya, nada suaranya berat tapi halus.
Luna menegakkan tubuh. “Axel … keluar sebentar.”
“Ah.” Hayes mengangguk, menyesap anggur. Tatapannya tak lepas dari Luna. “Kalau begitu, kita bisa bicara sebentar.”
Luna menggenggam pulpen erat-erat. “Tentang apa?” suaranya bergetar.
Hayes melangkah mendekat, pelan, memberi ruang bagi Luna untuk mundur—tapi gadis itu tetap terpaku.
“Sejak hari itu, di ruang kerjaku ….” Suaranya makin rendah, “… aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.”
Luna terbelalak. Kata-kata itu telak menghantam pertahanannya.
“Itu … tidak seharusnya,” bisiknya.
Hayes menyunggingkan senyum tipis. “Aku tahu. Tapi katakan padaku, Luna … kamu juga merasakannya, bukan?”
Luna ingin berbohong. Ingin menolak. Tapi tubuhnya sendiri mengkhianati: pipinya merona, jemarinya gemetar, jantungnya berdetak terlalu keras.
Hayes menunduk sedikit, jarak mereka hanya tinggal beberapa sentimeter. “Kamu tidak perlu menjawab. Wajahmu sudah cukup menjawab semuanya.”
Luna hampir kehilangan kendali. Ada dorongan aneh untuk menutup mata, membiarkan jarak itu lenyap.
Namun suara pintu depan berderit keras membuatnya tersentak. Axel kembali.
Dalam sekejap, Hayes mundur. Ekspresinya kembali dingin, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Ia menyesap anggurnya sekali lagi, lalu melangkah keluar dengan santai.
Luna menunduk, tubuhnya gemetar hebat. Ketika Axel masuk sambil bersungut soal toko printer yang kehabisan stok, Luna tak sanggup menatapnya.
Malamnya, Luna terbaring di ranjang apartemennya. Lampu sudah dimatikan, tapi matanya menolak terpejam. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan Hayes kembali: tatapan matanya, suaranya yang berat, kata-katanya yang terlalu jujur.
Ia menggeliat resah, menekan wajahnya ke bantal. “Kenapa aku begini ….”
Detak jantungnya masih kacau. Tubuhnya panas. Ia benci dirinya sendiri karena bagian terdalam dari dirinya … menginginkan hal itu terjadi tadi siang.
Ponselnya bergetar di meja samping.
Dengan malas, Luna meraihnya. Ada pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Tangannya dingin saat membuka layar.
[Nomor Baru]: Kita perlu bicara. Hanya berdua.
Luna membeku.
Jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak. Ia tidak perlu bertanya siapa pengirimnya. Ia tahu.
Hayes Ludwig.
Tangan Luna gemetar saat menatap layar itu. Satu pesan singkat, tapi cukup untuk mengubah segalanya.
Ia menatap ponsel lama sekali, tidak berani membalas, tapi juga tidak bisa menutup layar.
Ada suara dalam hatinya yang berteriak agar ia menghapus pesan itu, agar ia menjauh sebelum semuanya terlambat.
Tapi ada suara lain—lebih lembut, lebih berbahaya—yang berbisik: Balaslah. Kau juga menginginkannya.
Luna menutup wajah dengan telapak tangan, tubuhnya bergetar. Ia tahu, sejak detik itu, hidupnya tidak akan lagi sama.
Dan di suatu tempat, di rumah besar itu, Hayes mungkin sedang menatap layar ponselnya juga … menunggu balasan darinya.