Getaran yang Tak Bisa Disembunyikan.

1028 Kata
Luna berdiri dengan pulpen di tangannya, wajahnya merah padam. Hayes masih terlalu dekat, tatapan matanya tak beranjak. Saat itu juga, gagang pintu ruang kerja bergerak. Suara gagang pintu yang bergerak membuat Luna hampir melompat dari tempatnya. Jemarinya masih hangat oleh sentuhan Hayes, dan kini ia mendadak panik. Jika Axel masuk sekarang, ia pasti melihat sesuatu yang tak seharusnya. Namun ternyata pintu itu hanya sedikit bergetar, lalu berhenti. Seperti ada seseorang yang sempat mencoba masuk, kemudian mengurungkan niatnya. Mungkin Axel berubah pikiran, atau sibuk di ruangan lain. Luna mengembuskan napas lega, tapi jantungnya masih berdebar kencang. Pulpen di genggamannya nyaris ia jatuhkan. Hayes, sebaliknya, terlihat begitu tenang. Ia hanya menyunggingkan senyum samar, seolah menikmati ketegangan yang baru saja terjadi. “Kamu terlihat … gelisah,” ucapnya pelan, nada suaranya berat dan dalam. Luna buru-buru menggeleng, meski gerakannya kikuk. “T-tidak. Aku hanya … kaget.” Hayes berjalan ke arah meja, meraih gelas kristal berisi air bening, lalu meneguk setengahnya. Gerakannya santai, tapi setiap detail tubuhnya memancarkan wibawa. Cara tangannya menggenggam gelas, garis rahang yang menegang saat ia menelan air, bahkan kerut tipis di keningnya—semuanya menjerat pandangan Luna tanpa ia sadari. “Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Luna.” Nada suaranya berubah. Lebih dalam, lebih personal, seakan-akan ia menggeser percakapan ke ranah yang tidak seharusnya. “Apa?” suara Luna kecil, nyaris berbisik. Hayes meletakkan kembali gelas itu dengan tenang, lalu menatapnya lurus. Tatapan itu tajam sekaligus hangat, seperti sinar api yang menyala tenang tapi cukup untuk membakar. “Kamu masih muda. Pasti banyak laki-laki seusiamu yang mendekatimu. Tapi …,” ia berhenti sejenak, matanya menyipit seolah menimbang kata, “bagaimana pandanganmu tentang laki-laki … yang lebih dewasa?” Luna tercekat. Pertanyaan itu menghantamnya seperti gelombang yang tiba-tiba pecah di tepi pantai. Ia ingin menganggap Hayes hanya bercanda. Ia ingin percaya itu sekadar basa-basi. Tapi tidak—tatapan pria itu terlalu serius, terlalu intens, terlalu menelanjangi isi pikirannya. “Kenapa … tanya begitu?” suaranya bergetar, ia menunduk menatap lantai, mencoba menyembunyikan wajah memerahnya. “Jawab saja,” desak Hayes, nadanya rendah tapi tegas. “Aku ingin tahu bagaimana pikiranmu.” Luna menggigit bibir bawahnya. Pipinya panas, jari-jarinya mencengkram keras pulpen yang tadi hampir ia jatuhkan. “Aku … aku rasa laki-laki dewasa … berbeda.” Alis Hayes sedikit terangkat. “Berbeda bagaimana?” “Mereka … lebih tenang. Lebih tahu apa yang mereka mau. Tidak … tidak seperti cowok seusia kami yang masih … ragu-ragu.” Hayes mengangguk pelan. Senyum tipis muncul di bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan sesuatu yang samar tapi jelas menunjukkan kepuasan. “Dan menurutmu, itu menarik?” Luna langsung salah tingkah. Tubuhnya kaku, matanya menghindar. “Aku tidak bilang begitu.” “Tapi kamu memikirkannya.” Hayes menyambar cepat, suaranya dingin tapi dalam, seolah mampu membaca pikiran yang berusaha Luna sembunyikan. Luna membeku. Ia tidak bisa menyangkal, karena benar—sejak tadi tatapan pria itu sudah membuatnya goyah. Ada magnet yang tak bisa ia lawan, meskipun seluruh logikanya berteriak agar ia menjauh. Suasana makin tegang. Detik berjalan pelan, hanya suara detak jam dinding yang terdengar, dan bahkan itu pun terasa seperti ikut menekan d**a Luna. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar lagi dari lorong. Kali ini lebih dekat, mantap, seperti seseorang yang akan masuk. Luna menegang, yakin Axel akan segera membuka pintu. Refleks, ia mundur selangkah, menjauh dari Hayes. Tapi pria itu tidak bergerak sama sekali. Tatapannya tetap santai, seolah sama sekali tak peduli jika anaknya sendiri masuk dan mendapati mereka berdua dalam posisi ini. Langkah itu lewat begitu saja. Pintu ruang kerja tetap tertutup rapat. Luna menghembuskan napas panjang, hampir gemetar. “Aku … harus kembali ke Axel. Dia pasti—” “Tidak perlu buru-buru.” Hayes memotong kalimatnya. Ia berbalik, berjalan pelan menuju meja bar kecil di sudut ruangan. Dari sana, ia menuangkan segelas air lain ke dalam gelas kristal bening, gerakannya tenang tapi penuh perhitungan. Ia kembali, menyodorkan gelas itu pada Luna. “Minumlah.” Luna menatap gelas itu sejenak, ragu. Tapi pada akhirnya ia mengulurkan tangan, menerima. Dan di saat itulah, Hayes sengaja membiarkan jemarinya menyapu jemari Luna. Sentuhan ringan, nyaris tak berarti, tapi cukup untuk membuat jantung Luna berhenti sepersekian detik. Matanya membesar, napasnya tercekat. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya, hanya bisa merasakan bagaimana tubuhnya merespons: degup jantung kacau, tenggorokan kering, perutnya serasa dipenuhi kupu-kupu liar yang berterbangan. Hayes menatapnya lurus, tidak mengalihkan pandangan bahkan sedetik pun. Ada sesuatu di sana—ketertarikan yang jelas, meski terselubung di balik senyum dinginnya. Luna tidak bisa bicara. Suasana terlalu intens. Gelas itu hampir ia jatuhkan karena tangannya gemetar. “Pegang baik-baik,” bisik Hayes, suaranya nyaris seperti perintah. Luna menelan ludah, mencoba menguasai diri. Ia mengangguk pelan, meski matanya masih terkunci pada pria itu. Hayes sedikit mencondongkan tubuhnya, jarak mereka begitu dekat hingga Luna bisa mencium aroma parfumnya—maskulin, tajam, namun ada kelembutan samar yang menempel lama. Aroma itu seolah menandai udara, menempel di kulitnya, menusuk masuk ke kepalanya. Luna tahu, ia seharusnya melangkah mundur. Tapi kakinya seperti terpaku. Di balik pintu, suara Axel terdengar samar, memanggil namanya. “Luna? Kamu di mana?” Tubuh Luna menegang seketika. Jemari Hayes masih hangat di tangannya. Ia tahu dalam hitungan detik, rahasia ini bisa pecah kapan saja. Hayes tidak bergeming. Tatapannya tetap meneliti wajah Luna, bahkan ketika suara langkah Axel makin mendekat ke pintu ruang kerja. Dan baru ketika ketukan pelan terdengar, Hayes akhirnya melepaskan jemari Luna. Perlahan, seperti dengan sengaja menunda, membuat sentuhan itu terasa lebih panjang dari seharusnya. Luna nyaris kehabisan napas. Tubuhnya kaku, wajahnya memerah, jantungnya berdegup kacau balau. “Ya Tuhan …,” bisiknya nyaris tanpa suara, hanya bisa didengar dirinya sendiri. Pintu berderit, terbuka sedikit. Wajah Axel muncul, tersenyum cerah tanpa menyadari betapa tegangnya ruangan barusan. “Eh, kamu di sini, Na! Aku kira udah balik ke kamar.” Ia masuk sambil membawa setumpuk buku. “Ayo, lanjut skripsi. Aku udah siap lagi.” Luna berusaha tersenyum, meski tubuhnya masih gemetar. Ia buru-buru melangkah menjauh dari Hayes, mencoba menyembunyikan wajah yang masih memanas. Hayes? Ia hanya berdiri di tempat, menyunggingkan senyum samar, seolah semua yang terjadi barusan hanyalah hal biasa. Tapi Luna tahu. Tidak ada yang biasa dari getaran itu. Getaran yang tak bisa disembunyikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN