Saras berdiri di hadapan meja kerja Kavindra dengan wajah penuh tangis. Tubuhnya bergetar, tangannya mengepal erat, dan matanya basah seolah dunia akan runtuh bila ia benar-benar kehilangan pekerjaannya. “Pak… tolong jangan pecat saya,” suara Saras parau, hampir tercekik oleh tangisnya. “Saya… saya butuh pekerjaan ini. Saya tidak punya siapa-siapa lagi. Kalau Bapak pecat saya, saya harus bagaimana? Saya tidak akan mengganggu lagi, saya janji. Tolong, Pak…” Kavindra menutup matanya rapat. Ia menunduk, kedua tangannya meremas rambutnya sendiri, mencoba menenangkan gejolak di dalam dadanya. Ia tahu, di balik air mata Saras, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan. Tetapi di sisi lain, ia tak bisa lagi membiarkan Sarah, istrinya, terus merasa tersakiti karena kehadiran perempuan ini.