Fiona duduk di tepi ranjang sempit di ruang bawah tanah itu. Ranjang besi dingin itu berderit pelan setiap kali ia menggerakkan kakinya. Lampu pijar di langit-langit menggantung rendah, cahayanya kuning pucat, menyorot wajahnya yang pucat dengan rambut berantakan menutupi sebagian mata. Jari-jarinya yang kurus mengetuk pelan lututnya, berirama tak beraturan. Ada sesuatu di tatapannya—campuran kegilaan, dendam, dan… keyakinan aneh bahwa ia masih memegang kendali. Ia menghembuskan napas berat, kemudian menyeringai pada dirinya sendiri. “Kau pikir aku kalah, Sarah?” gumamnya lirih, seolah berbicara pada seseorang yang tak ada di ruangan itu. “Dia… dia akan kembali padaku. Dia milikku. Selalu milikku…” Suara gesekan kunci memecah keheningan. Fiona menegakkan tubuhnya. Pintu besi terbuka sed