Dita berjalan dengan langkah terburu-buru, air matanya seakan tak mau berhenti menetes. Di sepanjang jalan wanita itu menunggu taksi yang lewat. Mungkin sudah setengah jam lebih dia menunggunya. Dita merasa dirinya tidak boleh terlambat. Beberapa saat kemudian, taksi yang dia tunggu berhenti tepat di sampingnya. Tanpa ragu, Dita pun masuk dan memberi tahu alamat yang dituju, yakni alamat rumah Rani. Dita menghapus air matanya, bukankah dia harus tegar? "Bisa lebih cepat, Pak?" tanya Dita pada sang sopir. "Baik, Mbak." Taksi kini berjalan lebih cepat, beruntung perjalanan tanpa hambatan maupun macet sehingga kurang dari dua puluh menit, Dita sudah sampai tepat di depan rumah Rani. Setelah membayar, Dita bergegas turun. Sejak awal kakinya memang sudah lemas, ditambah melihat bagian depan