Hati-hati dengan rasa nyaman, terlebih yang diciptakan orang lain. Bukan oleh pasangan….
.
.
.
Dita dan Saka berjalan keluar dari sebuah rumah makan. Setelah selesai makan malam, Saka mengajak berjalan-jalan sebentar di kota itu.
"Kalau malam memang lebih indah dan romantis," ucap Saka sambil menyetir dengan tenang. Sedangkan Dita memilih tidak menjawab karena bingung harus menjawab apa, dia hanya tersenyum.
Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai. Begitu turun dari mobil, udara benar-benar dingin, untung saja Dita memakai jaket sehingga tidak terlalu kedinginan, mata Dita pun tertuju pada patung kuda. Mungkin karena bercahaya sehingga menarik perhatian Dita.
Taman kota cukup ramai malam ini, beberapa di antaranya berfoto di bawah patung kuda. Patung itu memang cukup menarik sehingga banyak yang menjadikannya obyek untuk berfoto.
"Ramai juga, ya?" tanya Dita, Saka langsung mengambil posisi tepat berdiri di samping wanita itu hingga lengan kanan Dita sejajar dengan lengan kiri Saka.
"Iya, memang ramai," jawab Saka sambil tersenyum. Dia sedikit menunduk untuk menatap wajah Dita karena memang tubuhnya jauh lebih tinggi.
"Kamu kayaknya hafal banget, apa kamu pernah ke sini sebelumnya?" tanya Dita, tapi tatapannya masih tertuju pada lampu-lampu yang bercahaya terang menghiasi taman.
"Bukan hafal lagi, mungkin udah di luar kepala."
Dita langsung menatap Saka karena penasaran, membuat Saka menatapnya juga. "Kok bisa?"
"Aku lahir di sini. Aku asli orang sini, Dit."
"Ha? Yang bener?" Dita seakan tidak percaya.
Sampai kemudian Dita mulai menyadari satu hal, pantas saja Saka begitu hafal kota ini, bahkan dia juga tahu tempat makanan yang enak. Ditambah lagi, Saka seperti sudah akrab dengan juru masak rumah makan yang baru saja mereka kunjungi.
"Kenapa kamu nggak pernah bilang?"
"Kamunya nggak pernah nanya, sih," jawab Saka terkekeh.
Tanpa sadar, Dita mencubit pinggang Saka, membuat pria itu berusaha menghindar. Saka kemudian berlari, Dita pun mengejarnya. Saka kemudian berhenti dan duduk di kursi panjang dekat air mancur. Tentu Dita juga duduk di sampingnya, mereka tertawa bersama.
"Udah ah, capek!" keluh Dita.
"Ya kamu yang ngejar duluan."
Tanpa sadar, Dita malah menyandarkan kepalanya ke pundak Saka. Meski awalnya terkejut, Saka berusaha untuk bersikap biasa saja.
Mata Dita menatap ke langit yang dipenuhi bintang, cuaca malam ini memang sangat mendukung. Entahlah, berada di dekat Saka seakan terasa nyaman seperti berada di dekat Indra. Dita sendiri tidak mengerti kenapa bisa begini. Dita seakan sudah sangat mengenal Saka, mungkin karena pribadi Saka yang sangat bersahabat membuat Dita merasa nyaman di sampingnya.
Tidak berbeda jauh dengan Dita, Saka juga merasa demikian, mereka seakan sudah sangat akrab padahal baru beberapa hari saling mengenal. Mungkin ini juga pengaruh dari mereka yang saling mendeklarasikan sebagai sahabat.
Sahabat? Ah, sepertinya tidak bagi Saka, pria itu sejujurnya menaruh rasa lebih dari sahabat pada Dita. Kadang Saka berpikir, haruskah memanfaatkan kesempatan seminggu ini untuk beberapa langkah lebih dekat dengan Dita?
"Besok kita free, aku ajakin kamu keliling kota ini, ya," ucap Saka.
Tentu saja Dita kegirangan, ini akan menjadi kerja sekaligus liburan. Sungguh, Dita merasa sudah sangat lama tidak liburan. Dia harap akan menyenangkan kerja rasa liburan kali ini.
Beberapa menit kemudian, mereka memutuskan kembali ke hotel. Dita dengan Saka tanpa sadar malah bergandengan tangan, tentu saja keduanya saling melepaskan dan terlihat kikuk saat sama-sama menyadari.
"Maaf," ucap Saka.
"Iya, aku juga minta maaf. Tapi thanks ya, Saka."
"Buat?" Saka tidak mengerti.
"Thanks for tonight, Saka."
Mendengar ucapan Dita, membuat Saka semakin melebarkan senyumannya. "Mimpi indah. Sampai jumpa besok."
Tangan Dita bahkan sudah menyentuh kenop pintu, tapi saat Saka memanggilnya lagi refleks Dita mengurungkan niat untuk membuka pintu. Dita menoleh dengan wajah yang mengisyaratkan tanda tanya.
"Jangan kangen, kamar kita dekat kok," canda Saka.
Dita hanya tersenyum. Setelah itu langsung masuk ke kamar. Ya Tuhan, Dita sendiri tidak mengerti dengan apa yang dia rasakan. Bahkan, perasaan yang sangat aneh ini muncul bersamaan dengan kenyamanan dan kebahagiaan. Mungkinkah Dita nyaman berada di dekat Saka? Jika iya, apakah ketakutan Indra menjadi nyata?
Ah, Dita jadi teringat Indra. Kebersamaannya dengan Saka entah kenapa membuatnya lupa terhadap Indra. Dia mulai panik saat terdapat 17 panggilan dari Indra menghiasi layar ponselnya. Sungguh, Dita tidak sengaja meninggalkan ponselnya.
Dengan segera, dia menghubungi Indra, berharap pria itu tidak marah. Untuk beberapa saat hanya terdengar bunyi tut berkali-kali. Sampai pada akhirnya suara yang meneduhkan kala rasa panik itu mulai terdengar.
"Selamat malam, Andita Sulistyani," sapa Indra di ujung telepon sana.
"Halo, Ndra … selamat malam juga, maaf—"
"Sayang, kamu udah makan, kan?"
Dita berusaha lebih tenang. "Udah, kamu juga udah?"
"Udah, Sayang. Oh ya, kamu dari mana aja? Aku khawatir banget tahu. Hm, apa bangun tidur? Suara kamu kayak orang bangun tidur, Dit," ucap Indra menerka.
Hal itu membuat Dita berpikir sejenak. Haruskah Dita berbohong saja? Dita takut Indra semakin kecewa jika mengetahui apa yang baru saja dia dan Saka lakukan. Meskipun sekadar jalan-jalan, tetap saja Indra juga manusia yang punya hati sehingga bisa merasakan kecewa.
"Iya, Sayang. Maaf aku ketiduran." Dita mengatakannya dengan sedikit meringis. Sungguh, dia merasa sebaiknya Indra tidak mengetahui hal ini. Menurut Dita, itu lebih baik daripada membuat Indra kecewa. Bukankah perbuatan Dita masuk dalam kategori berbohong demi kebaikan?
"Gimana hari ini? Lancar?"
"Lancar, Ndra. Aku kangen banget sama kamu." Dita tidak bermaksud menggombal, hanya saja dia butuh pengalihan dari rasa bersalah terhadap Indra. Dia ingin Indra senang saat mendengar suaranya.
"Aku juga kangen, banget malah. Jadi ini yang namanya LDR? Makanya cepat balik, nanti aku masakin masakan kesukaan kamu."
"Makasih ya, Sayang. Hari Minggu atau Senin aku udah balik, kok."
"Oke, Sayang. Indra akan selalu menunggu kepulangan Dita, Tapi...." Indra sengaja memotong ucapannya sehingga mengundang rasa penasaran Dita.
"Ta-tapi apa?"
"Cium dulu," bisik Indra.
"Ah, kamu bikin aku kaget aja."
Indra tertawa ringan. "Ya udah, mana?"
Mereka pun langsung melakukan kecupan jarak jauh.
Setelah sambungan telepon terputus, Dita semakin merasa bersalah. Apa yang dia lakukan dengan Saka adalah sebuah kesalahan. Indra pasti akan sangat kecewa. Ya Tuhan … Dita mengutuk dirinya yang terus menginginkan Indra, juga tidak mau jauh dari Saka. Inikah yang disebut serakah?
Akhirnya Dita menarik selimut sampai d**a, matanya masih menatap langit-langit kamar yang bernuansa putih. Sungguh, selama hampir dua tahun bersama Indra, baru kali ini Dita merasa nyaman di dekat pria lain.
Dita sendiri tidak mengerti kenapa harus Saka yang menjadi rekan kerjanya. Kenapa harus berdua di kota ini? Apa Tuhan memiliki alasan lain mempertemukannya dengan Saka?