Di sinilah Indra berada, duduk seolah menyimak apa yang di presentasikan rekan kerjanya. Namun, nyatanya meski dia hadir, pikirannya malah tertuju pada Dita. Ya Tuhan, pria mana yang tidak gundah saat wanitanya ke luar kota bersama pria lain?
Terlebih Saka, mungkin baru hari ini Indra berbincang langsung dengannya. Semenjak tadi pagi, Indra semakin sadar kalau Saka menyukai Dita. Itu sangat kentara, Saka tak bisa menyembunyikan sinyal ketertarikannya terhadap Dita. Kalau sudah begini, Indra tak tahu harus bagaimana, dia tak bisa melarang Dita untuk tetap di sini. Akhirnya Indra hanya bisa berharap Dita bisa memegang teguh ucapannya untuk tidak pernah berpaling darinya.
Indra merasa ini adalah meeting paling tidak serius yang pernah dilakukannya. Meskipun dia mendengar apa yang rekan kerjanya jelaskan, tetap saja semua langsung buyar lantaran tidak bisa berkonsentrasi. Matanya malah tertuju pada kalender meja, memperhatikan deretan tanggal di bulan ini dengan saksama. Terutama pada satu tanggal, tanggal itu sangat penting baginya. Itu adalah tanggal ulang tahun Dita. Indra menyesali mengapa tahun ini mereka berpisah jarak pada hari spesial itu.
Beberapa saat kemudian meeting sudah selesai, Indra bersiap meninggalkan ruangan, beberapa peserta meeting bahkan sudah terlebih dulu meninggalkan tempat itu. Indra pun memeriksa ponselnya, rupanya ada panggilan tak terjawab dari Dita, saat Indra mengeklik layar bertuliskan back, Indra membaca pesan dari Dita yang mengabarkan sudah sampai di kota tujuan. Ini kabar baik sekaligus kabar mencemaskan. Sungguh, Indra takut kekasihnya semakin dekat dengan Saka.
Indra kemudian melirik jam tangan, ini sudah waktunya pulang. Entah, ia sendiri tidak mengerti bisa membuang waktunya dengan melamun di ruang meeting. Akhirnya Indra bersiap untuk ke kantor Dita. Bukan, maksudnya bukan menjemput Dita seperti biasa, melainkan untuk menemui Rani, sahabat Dita.
Jam menunjukkan pukul tiga sore, Indra masih duduk di motornya depan kantor Dita, menunggu Rani. Tak butuh waktu lama menunggu karena saat ini Rani terlihat keluar dari sana, Rani yang melihat Indra melambaikan tangan langsung menghampiri pria itu.
"Indra?" tanya Rani keheranan, bukankah Dita ke luar kota hari ini, Rani mengetahui hal itu karena mendapat pesan singkat dari sahabatnya langsung.
Indra pun turun dari motor dan membuka helm-nya.
"Apa Dita nggak cerita dia ke luar kota? Mungkin semingguan," ucap Rani lagi.
Indra tersenyum, sungguh tak bisa dimungkiri betapa memesonanya senyuman Indra. "Gue nggak nyari Dita."
"Terus?" Rani sebenarnya terkejut, tapi dia tidak mau terlalu menunjukkan keterkejutan itu.
"Gue nyari lo, Ran," jawab Indra.
Tentu saja Rani semakin terkejut. Jadi, apa maksud Indra mencarinya? Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Sejujurnya dia yang selama ini mengagumi Indra dalam diam, mencintai tanpa mengharap balasan. Rani yang selama ini memendam rasa demi sebuah persahabatan dengan Dita.
Rani tahu diri, Indra hanya mencintai Dita, ini bahkan salahnya sendiri yang dengan lancang mengagumi kekasih dari sahabatnya sendiri. Kali ini dia benar-benar merasa bermimpi jika Indra mencarinya. Ya, untuk apa mencarinya? Ah, sebaiknya Rani jangan terlalu percaya diri dulu, apalagi merasa terbang tinggi, dia harus waspada jika Indra sewaktu-waktu menjatuhkannya. Bukankah sangat menyakitkan jika jatuh dari ketinggian maksimal?
"Rani?" panggil Indra.
"Eh?" Rani tercekat dalam lamunannya.
"Malah ngelamun, lo sibuk nggak? Apa gue boleh ngomong sebentar?"
Pertanyaan Indra berhasil mempercepat degup jantung Rani tiga kali lipat, Wanita itu harus bisa menahan diri untuk tidak gugup. Kira-kira untuk membicarakan apa?
"Enggak terlalu sibuk, sih. Paling nanti jam empatan ke rumah sakit, jenguk Nenek. Emangnya mau ngomong apa?"
Indra baru ingat, kemarin dia memang sempat melihat Rani di rumah sakit. "Tapi nggak di sini, gimana kalo di kafe itu aja? Maksud gue biar enak ngobrolnya," jawab Indra sambil menunjuk ke suatu tempat tidak jauh dari situ.
Rani pun menyetujuinya, tidak ada pilihan selain menerima ajakan Indra. Ikut adalah satu-satunya cara untuk mengetahui apa maksud Indra. Lagi pula, sedikit pun tak ada keinginan Rani merebut Indra. Meskipun Rani mencintainya, tetap saja persahabatan lebih utama dari segalanya. Dita sudah dia anggap seperti saudara sendiri, mana mungkin Rani menodai persahabatan itu dengan sebuah pengkhianatan?
***
"Mau ngomong apa?" tanya Rani to the point, saat ini mereka sudah duduk di salah satu kafe. Di meja mereka juga sudah tersedia kopi dingin yang sebelumnya sudah dipesan.
"Sebenernya gue mau bahas ulang tahun Dita hari Sabtu nanti. Dita, kan, ada di luar kota. Gimana menurut lo?"
Mendengar ucapan Indra, seharusnya Rani tidak merasa sakit, kesalahan terbesarnya adalah terlalu berharap pada orang yang tak mungkin mewujudkan harapan itu. Sekuat apa pun dia menghindari kenyataan, orang yang dicintainya tetaplah berstatus sama. Kekasih sahabatnya.
"Hm, kita rayain pas dia pulang aja, atau gimana?" tanya Rani.
"Nah itu dia, jadi maksud gue nemuin lo gini … lo mau nggak, bareng gue datangin Dita hari Sabtu nanti?"
Pertanyaan Indra membuat Rani berpikir sejenak, sanggupkah dia berdua bersama Indra nanti, meski sekadar dalam perjalanan?
"Apa lo ada acara?" tanya Indra lagi.
"Hm, bisa kok, siapa sih yang nggak mau ngasih kejutan buat sahabat sendiri?" jawab Rani, bahkan sebenarnya dia tampak ragu dalam ucapannya. Mungkinkah dia bisa dibilang sahabat?
"Ya udah, sebutin nomor ponsel lo. Nanti gue kabar-kabar lagi."
Rani kemudian menyebutkan nomornya, Indra pun tersenyum dan berkata, “Thanks ya…."
Semakin Indra tersenyum, semakin Rani terpesona, tapi akhirnya dia segera menstabilkan diri sendiri.
Sebenarnya Indra bisa saja membicarakan ini di depan gerbang kantor tadi, tapi itu bukanlah sifatnya. Indra adalah tipikal orang yang lebih menginginkan kenyaman untuk siapa pun lawan bicaranya. Indra tidak mungkin membiarkan lawan bicaranya kepanasan di jalan, bukan?
Setelah pembicaraan selesai, Indra mengantar Rani ke rumah sakit, tentu saja Rani semakin mengagumi Indra meski kenyataannya pria itu hendak menjenguk temannya yang cedera, bukan sekadar cuma-cuma mengantar Rani.