Kadang, senyum palsu bisa menyembunyikan luka.
.
.
.
Dita sudah ada di hadapan Indra, pria itu pun akhirnya berdiri hingga mereka benar-benar saling berhadapan.
"Kamu udah lama, Ndra?" tanya Dita takut-takut.
Indra tersenyum, bahkan Dita sendiri tak menyangka kekasihnya itu masih bisa tersenyum manis padahal jika mereka bertukar posisi, Dita yakin dirinya akan sangat marah apabila melihat Indra dengan wanita lain.
"Belum lama, Dit. Mungkin hampir dua jam." Nada bicara Indra benar-benar sangat lembut, seperti biasa dan seakan tak pernah terjadi apa-apa. Dita masih bungkam dengan tumpukan rasa bersalahnya.
"Dari mana?" tanya Indra, lagi.
"Aku dari mall, dinas luarku dipercepat, bukan Minggu depan. Tapi besok, Ndra."
"Ke mall sama siapa, Dit?" Sungguh, nada bicara Indra sangat indah didengar.
"Aku bisa jelasin semua, aku sama Saka nggak lebih dari belanja. Dia cuma nganter aku dan kami makan malam...." Ucapan Dita terpotong karena Indra memotongnya.
"Andita sayang, nggak ada yang bilang kalau kalian lebih dari belanja."
Dita terdiam, dia terlihat sangat gugup. Padahal memang kenyataannya tak ada hubungan yang lebih antara dirinya dengan Saka.
"Itu Saka yang jalan sama kamu kemarin?" tanya Indra lagi, kemudian dijawab anggukan oleh Dita.
"Sumpah demi apa pun Indra … aku mohon kamu nggak marah dengan ini semua. Aku sama Saka nggak ada hubungan apa-apa."
Indra tersenyum, lagi-lagi senyuman yang selalu menjadi favorit Dita, tapi Dita menikmati senyuman itu bercampur dengan rasa takut. Dita takut Indra salah paham.
"Kamu bikin aku khawatir tahu nggak, aku takut kamu sakit atau apa, nomor kamu nggak bisa dihubungin."
"Maaf, ponselku mati. Aku udah berniat buat hubungin kamu nanti."
"Aku khawatir banget tahu nggak, aku pikir kamu kenapa. Tapi setelah datang ke sini, jadi itu alasan kamu nggak bisa dihubungi?" Indra mengatakannya dengan santai, tapi tetap saja ada nada kepedihan di dalamnya.
"Indra, jangan salah paham. Dengerin aku dulu!"
"Bahkan dari tadi aku dengerin kamu, Dit."
Dita diam lagi, matanya terasa panas seperti hendak menangis. Ini memang kesalahannya. Sampai-sampai Indra salah paham.
"Kamu mau jelasin kemarin nggak sengaja ketemu Saka saat beli es krim. Sekarang apa, kamu nggak sengaja ketemu juga? Atau dia nggak sengaja datang ke sini?"
Dita menangis, dia tak bisa menjelaskan karena tangisannya sulit untuk ditahan. Melihat pujaan hatinya menangis tentu saja Indra tak bisa jika tidak memeluk Dita. Akhirnya pria itu meraih tubuh Dita ke dalam pelukannya.
Indra bahkan merasakan tubuh Dita yang masih bergetar. Indra pun membimbing tubuh Dita untuk segera masuk, ini bahkan hampir jam sembilan malam. Dita kemudian mengambil kunci dan membuka pintunya. Mereka kemudian masuk.
"Aku pamit, Dit. Ini udah malam, kamu nggak perlu jelasin apa-apa lagi."
"Indra ... aku tahu kamu marah, kamu pasti marah."
"Jangan sok tahu Andita sayang, aku nggak marah."
“Aku cuma kecewa, Dit. Ralat, maksudnya sangat-sangat kecewa,” batin indra. Pria itu tak mungkin secara terang-terangan mengatakan kecewa lantaran takut Dita sedih. Indra takut meninggalkan luka di hati wanita pujaannya. Indra kemudian mencium kening Dita, lalu bergegas pergi meninggalkan tempat itu.
Sedangkan Dita masih berdiri menatap kepergian Indra, ia tak bisa mencegah. Apalagi sekarang diperparah dengan rasa bersalah. Dita masih diam saja sampai suara motor Indra mulai terdengar pergi meninggalkan area kontrakannya.
"Maafin aku, Indra," ucap Dita yang pasti tak akan terdengar oleh Indra.
***
Pagi hari, Dita sangat sibuk mempersiapkan segalanya untuk keberangkatan ke luar kotanya hari ini. Kota tujuannya tidak terlalu jauh, tapi tidak bisa juga dibilang dekat. Mungkin kalau jalanan lancar tidak akan lebih dari empat jam. Saking sibuknya, Dita sampai tak menghiraukan ponselnya.
Sekarang, saat semua kesibukannya sudah selesai dilihatnya layar ponsel itu. Ada enam panggilan tak terjawab dari Indra. Dita tahu, kekasihnya pasti tidak akan absen membangunkannya seperti biasa meski sedang marah. Marah, mungkinkah Indra marah soal tadi malam?
Daripada tenggelam dalam rasa bersalah, lebih baik Dita menelponnya balik. Belum sempat menelepon, suara khas motor Indra mulai terdengar. Dita langsung mengurungkan niatnya, lalu bergegas keluar menemui Indra.
"Pagi, Sayang," sapa Indra pada Dita seolah tidak ada masalah apa-apa.
"Maaf, Indra … aku tadi nggak sempat pegang ponsel."
"Iya nggak apa-apa, aku ngerti kamu pasti sibuk. Hm, jadi ke luar kotanya?"
"Jadi, sebentar lagi berangkat."
Dita langsung memeriksa ponselnya yang bergetar tanda ada pesan masuk.
SAKA
Kita langsung berangkat, nggak perlu ke kantor dulu. Sekarang aku udah otewe jemput kamu. Bentar lagi nyampe.
Ekspresi Dita langsung berubah saat membaca pesan itu. Bahkan urusan tadi malam saja belum sepenuhnya selesai, sekarang malah menambah urusan baru. Dita takut Indra semakin salah paham.
Indra mulai menyadari ketidakberesan pada diri Dita setelah wanita itu membuka ponselnya. "Pasti belum sarapan, ya?" tanya Indra kemudian.
Dita kemudian menggeleng. "Nanti aku pasti sarapan."
"Nantinya kamu itu nggak tentu, bisa-bisa lupa."
Dita hanya tersenyum kaku karena pikirannya sudah terbagi antara senang atas perhatian Indra dan takut akan kedatangan Saka yang bisa menjadi sumber kesalahpahaman lagi.
"Tapi kamu tenang aja, sayang. Aku udah masakin buat kamu." Indra kemudian memberikan sekotak nasi seperti biasa. Dita pun menerimanya.
"Di sananya berapa hari, Sayang?"
"Semingguan, pasti kangen banget kamu, Ndra."
"Ya iyalah, aku emang ngangenin. Oh ya, kamu sama perempuan, kan? Apa sendiri?"
Deg. Pertanyaan Indra membuat jantung Dita berdetak lebih cepat. Bahkan ia sebenarnya ke luar kota dengan seorang pria, yang terparah adalah bersama pria yang menjadi sumber salah paham antara mereka. Dita tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini.
"Dit?" Indra membuyarkan lamunan Dita.
Tentu saja wanita itu langsung terperanjat dan gugup. Belum sempat Dita menjawab, tubuhnya semakin lemas karena suara klakson mobil Saka mulai terdengar. Dita merasa akan terjadi sesuatu yang tak menyenangkan. Sungguh, Dita ingin menutup mata dan telinganya agar tak menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Indra refleks menoleh ke arah mobil Saka, ia menatap pria itu yang turun dari mobil. Tatapan Indra benar-benar tak bisa diartikan. "Aku baru tahu, aku kira sama perempuan."
Dita tahu kalau Indra pura-pura senyum. Dita juga tahu pasti Indra benar-benar terluka mendengarnya.
"Indra, ini bukan kehendak aku. Pak Ardi yang ngatur. Aku cuma karyawati yang nurut sama atasannya. Lagian kamu tahu, kan, aku bisa profesional?"
Indra masih terdiam, tatapannya yang tadinya menatap Saka kini beralih menatap Dita. Sementara Saka masih berdiri terpaku samping mobil seolah mengerti untuk tidak ikut campur urusan sepasang kekasih itu.
"Aku sama Saka nggak ada apa-apa, kamu lihat sendiri … dia udah tahu kalau aku milik kamu, Ndra. Jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan?"
"Justru karena dia udah tahu kamu milik aku, Dit. Jadi dia bisa melakukan dengan lebih sempurna gimana cara rebut kamu dari aku," jawab Indra, ada nada kepedihan dalam ucapannya.
"Ndra, kamu pasti percaya kalau aku nggak akan berpaling darimu. Ingat, hubungan kita itu bukan baru sehari atau dua hari, tapi hampir dua tahun. Kamu percaya sama aku, kan?" tanya Dita sambil menahan tangis. Dia merasa sedang dalam posisi serba salah sekarang. Di sisi lain, dia yakin kalau Saka tak mungkin memiliki ambisi merebutnya dari Indra.
"Kamu percaya sama aku, kan, Ndra?" tanya Dita lagi.
Indra menyentuh jemari wanita di hadapannya itu, menggenggamnya erat namun tidak menyakitkan. "Aku selalu percaya kamu, aku cuma nggak percaya sama dia yang deketin kamu. Aku takut dia melebihi kemampuanku dalam membuatmu nyaman."
Mendengar ucapan Indra, membuat Dita langsung memeluk pria itu. Indra pun membalas pelukan itu, mereka berpelukan sangat erat.
Saka yang sejak tadi di situ seakan sedang menyaksikan drama Korea. Namun sungguh, ia sendiri tidak mengerti ada rasa seperti tertusuk duri melihat kebersamaan Dita dengan Indra. Saka langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Aku janji, akan menjaga cinta kita, Ndra," ucap Dita. "Cuma kamu yang mampu bikin aku nyaman," lanjutnya.
Mereka akhirnya saling melepaskan pelukan.
"Aku harap kamu sungguh-sungguh sama apa yang kamu ucapkan," jawab Indra.
"Ya, mana mungkin aku menyia-nyiakan kamu, Ndra."
"Kamu hati-hati, di mana pun kamu berada mesti tetap waspada. Enggak peduli dengan siapa pun kamu."
Dita mengangguk, dia memeluk Indra sekali lagi.
"Aku antar kamu sampai kantor, ya," tawar Indra.
"Maaf, Ndra. Kami mau langsung, nggak ke kantor dulu," ucap Dita sambil melepaskan pelukan mereka.
"Kami?"
"Aku sama Saka, maaf…." Dita semakin merasa bersalah, tapi dia memang harus tetap mengatakannya.
Tentu saja Indra merasa semakin hancur, tapi tak ada yang bisa dia lakukan kecuali senyum. Langsung saja Indra melangkah ke arah Saka, meninggalkan Dita yang masih berdiri terpaku. Sungguh, Dita tak tahu apa yang akan Indra katakan pada Saka.
Beberapa saat kemudian Indra sudah saling berhadapan dengan Saka. Mata mereka saling bersitatap. Jantung Dita berdetak sangat cepat melihat dua pria itu. Dita tak bisa memprediksi apa yang akan mereka lakukan. Dita hanya bisa berharap-harap cemas.
Tatapan Indra pada Saka benar-benar sulit diartikan. Saka juga tak berniat untuk memulai percakapan terlebih dahulu.
"Lo tahu, wanita yang berdiri di sana?" tanya Indra membuka pembicaraan, pria itu juga mempertahankan kelembuhannya dalam bicara, tak peduli siapa pun lawan bicaranya.
"Ya," jawab Saka yang masih belum menangkap maksud pria di hadapannya itu.
"Dia milik gue," sambung Indra dengan tegas.
"Gue tahu, lo nggak usah khawatir."
"Gue cinta banget sama Dita, begitu pun Dita juga cinta ke gue. Sekarang kalian bakal pergi bersama, gue harap lo nggak ganggu dia. Udah gitu aja," tambah Indra.
"Lo tenang aja, Dita aman sama gue."
"Gue harap lo pria sejati. Paham maksud gue, kan?"
Tanpa menunggu Saka menjawab, Indra kemudian kembali melangkah ke arah Dita yang mulai bernapas lega saat tak terjadi apa-apa antara dua pria itu.
"Jangan lupa kabarin aku, Sayang," ucap Indra sambil bergegas naik motor, dia juga memakai helmnya lagi.
"Jangan lupa sarapannya dimakan, oke?" ucap Indra lagi, kali ini dia sudah menyalakan mesin motornya.
"Kamu juga hati-hati ya, Ndra. Sampai jumpa lagi," jawab Dita, kekasihnya kini sudah pergi meninggalkan pekarangan. Dita jadi merasa tak enak. Sungguh, dia menjadi serba salah. Sangat serba salah.
Saka kemudian menghampiri Dita, dia sudah bisa menebak Dita tidak sedang baik-baik saja.
"Jangan dipikirkan, mending sekarang kita berangkat. Sini aku bantu bawa barang-barang kamu ke mobil," ucap Saka menawarkan diri.
Perjalanan pun mereka lalui dalam keheningan. Saka fokus menyetir, dan Dita sibuk dengan pikirannya sendiri. Lebih tepatnya memikirkan perasaan Indra.