Ketakutan terbesar seoarang kekasih adalah saat merasa kekasihnya mulai terbiasa akrab dengan orang lain. Hanya saja, diam selalu menjadi senjata agar tak menimbulkan pertengkaran.
.
.
.
Baru saja mobil yang Indra kendarai mulai menghilang, sudah datang mobil lain di depan kontrakan Dita. Bahkan, Dita sendiri belum masuk dan masih berdiri di luar. Dita ingat kalau Sakalah adalah pemilik mobil itu.
Sampai pada akhirnya pintu mobil mulai terbuka, tapi Dita tak melihat Saka. Hanya ada payung yang terbuka, kemudian mulai terlihatlah kaki seorang pria yang memakai celana polo pendek menghampiri Dita, ternyata dugaan Dita benar. Pria itu memang Saka.
Dita menarik napas, untung saja Indra sudah pulang. Namun, ada hal yang membuat Dita penasaran, untuk apa pria itu datang? Ucapan Saka memang sangat merasa bersalah jika Indra marah, tapi sikap Saka benar-benar seakan memicu kemarahan Indra. Ya Tuhan, Dita jadi tidak tahu harus bagaimana, terlebih sekarang Saka sudah ada di hadapannya.
"Dit," ucap Saka.
"Ada apa?"
"Kamu baru datang?" tanya Saka, lalu Dita pun mengangguk.
"Bisa pas banget gini, ya? Aku datang di saat yang tepat dong."
"Ada apa, Saka?" tanya Dita lagi, entah mengapa dia merasa ada sesuatu yang penting sampai-sampai Saka harus ke sini.
"Kenapa nomornya nggak aktif, Dit?"
Dita langsung teringat ponselnya, dengan cepat tangannya memeriksa isi tas dan ditemukannya ponsel yang mati. "Lowbatt, maaf. Memangnya ada apa?"
"Pak Ardi bilang, kita nggak jadi ke luar kota Minggu depan."
"Oh, diundur lagi?"
Bahkan ini adalah berita yang bisa dibicarakan besok, dia merasa heran kenapa Saka repot-repot ke kontrakannya di saat hujan seperti sekarang.
"Bukan diundur, tapi dipercepat."
Dita terkejut. "Kapan?"
"Besok."
Jawaban Saka membuat Dita terperangah. "Ya ampun, kenapa dadakan banget, sih?"
"Justru itu, makanya aku ke sini buat ngasih tahu kamu supaya siap-siap."
Dita memperhatikan wajah Saka, tampaknya penuh rasa tulus.
"Aku boleh masuk?"
"Eh? Mau apa?"
"Senggaknya aku bisa bantu kamu beres-beres."
Namun, Dita terus meyakinkan diri untuk menolak permintaan Saka. Dia tidak mau nanti Indra salah Paham. "Maaf … aku rasa nggak usah deh, lagian hujan mulai reda. Aku bisa siapin semuanya sendiri. Selain itu, nggak enak kalau dilihat orang, takut mikirnya macam-macam. Sekali lagi terima kasih ya informasinya."
"Baiklah, aku ke mobil dulu, ya," pamit Saka kemudian bergegas ke mobil.
Dita masih menatap Saka dengan tatapan iba. Sebenarnya ada rasa bersalah sudah memperlakukan Saka seperti tadi. Namun, bukankah itu juga untuk meminimalisir kebersamaan mereka? Dita harus membuktikan kalau 'cinta karena terbiasa bersama' itu tak berlaku untuknya dengan Saka.
Dita tahu Saka memang cukup baik, bahkan bisa dibilang sangat baik. Namun, itu bukan alasan untuk terus bersama terlebih sampai menyakiti perasaan Indra. Dita harus sadar betul kalau dirinya sudah tak sendiri lagi, harus berani menjaga jarak dengan pria lain. Akhirnya Dita langsung masuk, tanpa menghiraukan Saka yang masih berjalan menuju mobil.
***
Dita menyiapkan beberapa pakaiannya untuk keperluan di luar kota selama satu Minggu. Ini adalah perjalanan paling mendadak yang akan ia lalui. Dita rasa, ada beberapa keperluan yang harus dibeli di minimarket depan. Diliriknya jam dinding yang kini menunjukkan pukul tujuh malam. Dita langsung mengambil jaket dan memakainya.
Lalu, Dita mengikat rambutnya, mengambil kunci dan bergegas keluar. Baru selesai mengunci pintu, Dita baru menyadari ternyata mobil Saka masih bertahan di sana. Dia langsung mengurungkan niat menuju motor, malah beralih menghampiri Saka.
Dita kemudian mengetuk kaca jendela mobil Saka. Beberapa saat kemudian, Saka langsung membuka mobil. Dita bisa menduga kalau Saka ternyata baru bangun tidur.
"Kamu tidur di sini?"
Saka langsung keluar dan tersenyum simpul ke arah Dita. Pria itu memperhatikan Dita yang diikat rambutnya. Sangat cantik.
"Bukan tidur, tapi ketiduran," kekeh Saka.
"Ya udah, cepetan pulang. Bukannya kamu yang nyuruh aku segera beres-beres? Kenapa kamu nggak beres-beres keperluan kamu?"
"Kalau aku udah beres-beres dong."
"Itu bukan alasan buat tidur di sini, Saka."
"Hm, kamu mau ke mana?" Alih-alih menjawab, Saka malah merespons dengan pertanyaan.
"Belanja, ke minimarket."
"Tuh kan, untung aku nungguin kamu. Aku yakin kamu bakal keluar buat beli sesuatu."
"Aku bisa sendiri dan naik motor. Lagian dekat kok, tinggal ke depan aja."
"Jalanan becek, Dit. Kalau kecipratan gimana? Naik mobil aja sama aku, ya."
Dita tampak berpikir sejenak, mungkin sebaiknya dia menerima tawaran Saka. Lagi pula pria itu sudah menunggunya cukup lama di dalam mobil. Dia akan semakin merasa bersalah jika menolaknya.
***
"Kamu udah ngabarin Indra besok bakal ke luar kota?" tanya Saka, tangannya fokus mengemudi.
"Belum, ponselku tadi mati total. Jadi, butuh waktu buat hidupin, sekarang masih di-charger."
"Kamu mau aku yakinin Indra?"
Dita tampak tak mengerti dengan arah pembicaraan Saka. "Maksudnya apa, nih?"
"Biar aku yang minta izin, aku bakal bilang kalau kamu aman sama aku."
"Jangan cari masalah, deh." Dita jelas tidak setuju.
"Aku cuma takut Indra mikir yang nggak-nggak tentang kita."
"Saka, asal kamu tahu … Indra nggak seperti yang kamu pikirkan. Dia percaya sama aku, jadi tentang aja."
Saka tidak langsung menjawab, mungkin dia mengerti kalau Dita memang tak pernah setuju dengan usulnya.
Sementara Dita masih berharap-harap cemas tentang bagaimana reaksi Indra nanti. Apa yang baru saja diucapkannya pada Saka, ternyata dia sendiri malah meragukannya. Dita bimbang, bagaimana jika Indra tak menyetujuinya?
Beberapa saat kemudian, Dita tersadar sehingga lamunannya menjadi buyar. Terlebih saat menyadari ternyata Saka membawanya jauh dari minimarket yang dia tuju.
"Kenapa sampai ke sini? Aku, kan, mau ke minimarket depan."
"Di sini lebih lengkap," jawab Saka sambil menekan tombol untuk mendapatkan karcis parkir. Saat ini mereka berada di mal.
Dita mulai mengetahui sifat Saka meski sedikit, rupanya pria itu lebih suka mengambil keputusan secara otoriter. Semaunya sendiri. Buktinya, Saka tidak meminta izin padanya terlebih dahulu.
***
Mobil berhenti tepat di depan kontrakan Dita.
"Thanks ya Saka," ucap Dita sambil membuka sabuk pengamannya. Namun, saat dia menoleh ke luar, ada pemandangan yang membuatnya terkejut sekaligus takut. Betapa tidak, Indra sedang duduk di atas motornya. Dita yakin itu memang Indra, suasana malam tidak membuat penglihatannya kabur. Itu memang Indra.
Saka yang mendapati Dita hanya bungkam, langsung ikut menatap arah yang Dita lihat.
"Itu Indra, kan?" tanya Saka, "Biar aku yang jelasin."
Dita kemudian menahan tangan Saka agar tidak turun. "Jangan, kamu pulang aja. Ini biar jadi urusan kami."
Saka akhirnya mengerti, dia juga tidak mau memaksa. Dita pun melepaskan tangannya yang tadi mencegah Saka.
"Sekali lagi terima kasih. Hati-hati di jalan," ucap Dita lagi.
Dita pun turun dari mobil Saka. Saka lalu membunyikan klakson sebagai tanda pamit. Setelah itu, Dita membalik badannya, dan berjalan menghampiri Indra.
Indra masih duduk di motor dengan tatapan yang sangat tidak terbaca. Dita benar-benar tak bisa mengartikan tatapan Indra itu. Langkah Dita semakin dekat menghampiri Indra. Walau bagaimanapun, Dita harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Semoga Indra tidak salah paham.
Tapi ... bagaimana jika ternyata Indra salah paham?