Karena Percaya

1002 Kata
Ada yang bilang, kepercayaan bagaikan pondasi sebuah hubungan.... . . . Meskipun ragu, Dita pun mengangkat panggilan Saka. "Halo. Ada apa?" jawabnya pelan. “Dita, lagi apa?" "Aku lagi sama Indra, kenapa?" "Aku cuma mau mastiin, bunga sama cokelat tadi malam sampai, kan?" "Iya." "Itu bunga buat permintaan maaf aku." "Maaf buat?" "Aku ngerasa bersalah aja kalau Indra marah, terlebih gara-gara kemarin aku ngajak kamu jalan." "Udah, ya. Aku lagi sibuk sama Indra, nih. Bye," ucap Dita kemudian menutup sambungan teleponnya. "Ada apa, Sayang?" tanya Indra membuyarkan lamunan Dita. Dengan cepat Dita segera menstabilkan ekspresinya seolah tidak ada apa-apa, bahkan memang kenyataannya tidak ada apa-apa. Dita hanya menciptakan ketidaknyamananannya sendiri. "Saka cuma ngerasa bersalah kalau kamu marah," jawab Dita kemudian. "Kenapa aku marah?" "Maksudnya gara-gara dia ajak aku jalan kemarin, Ndra." "Oh," jawab Indra mengerti. Dia tak mau cepat menyimpulkan sebelum ada bukti, meski hatinya menduga Saka menyukai kekasihnya. "Kemarin kalian ke mana aja? Kalau boleh tahu." Indra kemudian berjalan ke arah sofa, Dita pun seolah mengerti dan mengikutinya. "Ke pantai, terus ke kafe." "Ngapain aja?" tanya Indra sedikit ragu, tidak mau kekasihnya tersinggung dengan pertanyaannya. "Cuma ngobrol aja. Kamu percaya sama aku, kan?" "Aku percaya sama kamu, Sayang. Tapi aku nggak percaya sama pria itu. Kamu bisa aja nggak cinta dia, tapi ada kemungkinan dia yang cinta duluan sama kamu, gimana?" jawab Indra dengan nada bercanda. Dita tahu, Indra mulai menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Saka. Dita juga tahu kekasihnya itu mulai cemburu. "Kamu tahu, meski misalnya iya dia suka sama aku … cintaku tetap buat kamu." "Aku harap kamu ingat janji kita." "Aku selalu ingat, kenapa kamu bicara seperti itu? Apa kamu mulai ragu, Ndra?" "Aku hanya takut, Sayang." Dita menyentuh tangan Indra, menautkan kelima jarinya pada hari Indra. "Aku milik kamu, kamu milik aku. Titik," ucap Dita penuh keyakinan. "Aku hanya takut teori 'cinta datang karena terbiasa' itu menjadi kenyataan padamu dan pria itu." "Bagaimana cara membuatmu yakin, Ndra? Bahkan, Saka udah tahu kalau aku punya pacar. Jadi, nggak ada yang perlu kita khawatirkan, bukan?" "Baik, lagian aku memang selalu percaya kamu." Indra tersenyum ke arah Dita. Detik berikutnya, Dita berdiri dan berjalan ke arah kaca jendela. Apartemen Indra berada di lantai enam, Dita melihat ke bawah ternyata air sudah menggenang. Dia bahkan tidak menyadari kalau sedari tadi hujan turun dengan derasnya. Dita melirik jam dinding, rupanya sudah setengah lima sore. "Aku harus pulang," ucap Dita. Indra mendekat ke arah jendela, berdiri di samping Dita. Dia juga menatap hujan yang terlihat sangat deras. "Tunggu hujan reda ya, Sayang." "Oke, tapi kalau hujannya sampai malam … aku nggak apa-apa hujan-hujanan." Sebenarnya Indra tidak setuju, mana mungkin dia membiarkan Dita hujan-hujanan? Lagi pula, pikirannya juga malah terus membayangkan Saka yang seakan mendekat. Indra sebenarnya bukan tipe orang yang mudah curiga. Namun, entah mengapa mendengar nama Saka membuatnya sangat takut, dia takut Saka mengambil Dita darinya. *** Sudah hampir satu jam, tapi hujan belum juga reda. Dita kemudian menghampiri Indra yang berada di kamar. "Ndra," panggil Dita. Sontak Indra menoleh, dia yang entah sedang mencari apa di dalam lemari kini menghentikan aktivitasnya. Indra kemudian bangkit dan menghampiri Dita. "Kayaknya aku pulang aja deh, aku bakal langsung mandi kalau udah sampai rumah, hujan begini aku rasa bakalan awet," kata Dita. "Sebentar, ya. Sebentar aja," pinta Indra. Pria itu kemudian kembali menuju lemari, mencari-cari sesuatu sehingga Dita hanya bisa menatap Indra dengan kebingungan. "Kamu lagi nyari apa, sih?" Akhirnya Dita bertanya. "Akhirnya ketemu juga." Alih-alih menjawab, Indra kemudian langsung menunjukkan benda yang sedari tadi dia cari. Melihat Indra membawa jas hujan, membuat Dita mengerti. "Tapi aku nggak mau pakai jas hujan, Indra." "Heran, yang namanya Andita Sulistyani emang PeDe banget, ya? Ini jas hujan buat aku." "Lah, terus kamu mau ikut antar aku, gitu?" "Kapan aku bisa bolos antar kamu, sih? Aku nggak bisa, Sayang." "Indra dengar, aku nggak apa-apa sendiri." "Sebagai pria, aku nggak mau. Aku juga melarang kamu kehujanan. Ayo, aku antar kamu pulang." Tanpa menunggu respons Dita, Indra langsung bergegas menuju laci samping tempat tidurnya. Diambilnya sebuah kunci. "Ini buat kamu." Indra memberikan kunci mobilnya pada Dita. Dita masih terdiam. "Mana kunci motor kamu? Biar aku yang bawa motor, kamu pakai mobil. Dengan begitu kamu nggak kehujanan. Beres, kan?" "Tapi kan—" ucapan Dita terpotong. "Enggak ada tapi-tapian, nanti keburu malam." Tentu saja Dita tidak kuasa menolak lagi, jika menyangkut hal seperti ini Indra pasti akan sangat bersikeras. Pria itu lebih memilih dirinya sendiri yang kehujanan daripada Dita. Sebenarnya bisa saja motor Dita ditinggal, tapi Indra yakin Dita pasti akan menolak. Saat ini, Dita sudah ada di dalam mobil milik Indra, pria yang rela ke kantor naik motor demi mengantar dirinya agar bisa sama-sama naik motor. Dilihatnya Indra melalui spion, pria itu sudah siap di belakang mobil yang Dita kendarai. Dita tersenyum melihat Indra yang sudah memakai jas hujan. Dita semakin yakin betapa cintanya Indra pada dirinya. Dita akan sangat bersalah jika menyianyiakan pria sebaik Indra. Sesampai di depan kontrakan Dita, Indra bergegas membuka payung yang sengaja dia bawa. Dengan cepat pria itu langsung menghampiri Dita. Saat Dita membuka pintu mobil, Indra dengan siaga sudah bersiap melindungi pujaan hatinya itu dari air hujan yang masih sangat deras. "Kamu bawa payung juga?" tanya Dita sedikit lebih keras agar suaranya tidak kalah dengan derasnya air hujan yang cukup berisik. "Kalau aku nggak bawa payung percuma dong, kamu nanti bakalan basah juga," jawab Indra. "Terima kasih ya, Sayang." Mereka berjalan pelan menuju depan pintu kontrakan Dita. Sungguh, Dita sangat berterima kasih pada Indra. Setelah bertukar kunci mobil dan motor, Indra bersiap untuk pulang. Bahkan, hari sudah hampir gelap. "Sekali lagi terima kasih, ya," ucap Dita dan lagi-lagi Indra tersenyum, senyuman itu memang menjadi favorit Dita. Indra kemudian melepas jas hujannya tanpa mengalihkan pandangan dari Dita. "Apa sih kamu, lihatnya gitu banget," ucap Dita dengan tersipu malu. Bagaimana tidak, Indra menatapnya lekat. "Aku sadar, pasti di luar sana banyak banget yang jatuh cinta sama kamu. Bahkan, aku yang udah hampir dua tahun jadi pacar kamu, sampai sekarang masih selalu terpesona sama kecantikan kamu. Kamu bikin aku jatuh cinta setiap waktu, Dit." Dita tersenyum. "Gombalnya besok lagi deh, nanti keburu malam." "Oke, aku pamit ya." Alih-alih pulang, Indra malah semakin menatap Dita lekat. Dengan cepat bibir pria itu menyerbu bibir Dita tanpa izin, melumatnya pelan dan penuh perasaan. Mungkin hanya sekitar lima belas detik. "I love you, Dita." Indra langsung bergegas menuju mobil. Tentu saja Dita hanya bisa tersenyum dengan apa yang telah dilakukan kekasihnya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN