Siapa Saka?

1395 Kata
Awalnya sekadar merusak suasana, lambat laun akan berpotensi merusak suatu hubungan. Siapa tahu.... . . . Malam ini Dita masih merasa gelisah, waktu bahkan sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Sampai saat ini Indra belum juga menghubunginya. Dita menduga sepertinya tadi Indra melihatnya di kafe. Dita mengutuk dirinya yang malah menerima ajakan Saka. Memang benar, penyesalan datangnya belakangan. Jika saja waktu bisa diulang, Dita tak akan membeli es krim sehingga tidak akan berjumpa dengan Saka. Tiba-tiba, terdengar suara seseorang mengetuk pintu. Dita berharap itu adalah Indra. Bukankah ini malam Minggu, bisa jadi Indra sengaja tidak menghubunginya lalu malah datang ke sini. Dengan penuh semangat Dita langsung beranjak untuk membuka pintu, sebelumnya dia memastikan penampilannya cukup rapi dengan menatap cermin. Beberapa saat kemudian Dita membuka pintu. Harapan Dita pupus saat melihat yang datang bukanlah Indra. "Ada paket!" ucap seorang pria membawakan bunga mawar merah yang diikat dengan cokelat. Dita pun langsung menerimannya dan menandatangani tanda terima. "Terima kasih," ucap Dita, kemudian pria pengantar paket itu bergegas pergi. Dita lalu masuk dan menutup pintunya. Dia duduk di sofa, lalu memeriksa tulisan pada bunga dan cokelat itu.   Happy Saturday Night, Andita…. Sahabatmu, Saka.   Dita langsung lemas saat melihat tulisan itu, dia pikir Indra yang mengirimnya, ternyata malah Saka. Oh Tuhan, Dita semakin berharap-harap cemas. Lagi pula Dita semakin tidak mengerti, untuk apa Saka repot-repot mengirimnya bunga dan cokelat untuknya? Alih-alih merasa senang, Dita malah merasa bimbang. Jangan sampai ada perasaan baru yang timbul antara Saka dengan dirinya. Dita harus ingat, Indra itu sangat baik. Bahkan lebih dari kata baik, jadi jangan pernah menyianyiakannya. Indra … kamu kenapa sampai sekarang belum hubungin aku? Nomormu juga nggak aktif. Kamu lagi di mana, sih?  ***  Dita masih berharap-harap cemas seperti tadi malam, bahkan siang ini dia masih menunggu Indra datang. Sesekali Dita melihat riwayat chat terakhir kekasihnya tadi pagi, saat mengajak janjian makan siang di tempat biasa. Dita bahkan sengaja datang lebih awal untuk meminimalisir kegugupan. Namun, kali ini ada yang berbeda. Seingat Dita, Indra tak pernah terlambat lebih dari sepuluh menit. Tapi, nyatanya Indra sudah lebih dari setengah jam belum datang juga sehingga membuatnya semakin khawatir sekaligus yakin bahwa Indra memang sedang marah. Tidak salah lagi, pasti Indra melihatnya dengan Saka kemarin! Dita langsung menelepon Indra, tidak diangkat. Bahkan sampai panggilan kelima, Indra belum juga mengangkat panggilan Dita. Tentu saja Dita semakin panik. Tanpa pikir panjang lagi, akhirnya Dita meninggalkan tempat itu dan bergegas ke apartemen Indra. Sesampai di sana, Dita langsung mengetuk pintu juga menekan bell berkali-kali, tapi Indra tak kunjung keluar. Dita terus menelepon pria itu dan masih tidak diangkat. Dita sudah tidak memiliki alasan lagi untuk sekadar mengetuk pintu atau menekan bell, ia yang tahu password  apartemen Indra langsung menekan beberapa digit angka sehingga pintu bisa terbuka. Dita kemudian masuk dan mendapati ponsel Indra tergeletak di sofa. Tanpa pikir panjang, Dita menuju kamar Indra. Jantung yang awalnya berdegup cepat dicampur kepanikan mulai mereda. Dita mendapati Indra yang tidur damai di kamarnya. Meski sebenarnya ini kali pertama Dita melihat Indra lupa akan janji menemuinya siang ini. Dita tidak ingin membangunkan Indra, akhirnya ia lebih memilih menarik kursi lalu meletakkannya di samping tempat tidur Indra. Sungguh, Dita tidak ingin mempermasalahkan alasan kekasihnya itu masih tidur. Jika dibandingkan dengan kesalahannya kemarin, betapa lebih banyak rasa bersalah yang harus Dita rasa. Dita pun duduk, menatap tidurnya Indra dengan damai. Betapa Dita mengakui ketampanan wajah kekasihnya itu. Mungkin sekitar dua puluh menit Dita duduk di sana. Sampai pada akhirnya tanda-tanda bangunnya Indra mulai terlihat. Indra kemudian membuka matanya perlahan, dia yang tidur menyamping langsung terkejut melihat ada wanita di hadapannya. Wanita yang tidak lain adalah  kekasihnya. Tentu saja Indra langsung menajamkan penglihatannya. Nyawa yang belum kumpul langsung dipaksa kumpul oleh dirinya sendiri. "Dita?" Indra kemudian bangun dan duduk. Dita hanya membalasnya dengan senyuman. "Jam berapa ini? Ya ampun, Dita maafin aku," ucap Indra. "Aku pagi udah bangun, aku nggak tahu bisa ketiduran lagi." "Iya nggak apa-apa, Ndra. Asal kamu tahu, kamu itu bikin aku khawatir. Aku kira kamu ke mana, kamu kenapa." "Aku minta maaf banget, Dit." "Iya, Ndra. Enggak apa-apa. Sekarang kamu mandi dulu gih, aku siapin makanan buat kita. Kita makan di sini aja." "Ya udah, aku mandi dulu ya, Dit." Indra kemudian bangkit dari tempat tidurnya, lalu menghampiri Dita. "Kamu cantik," ucap Indra. Kemudian dia mencium kening Dita, dan bergegas mengambil handuk. Dita langsung terpaku melihat perlakuan Indra. Awalnya ia berpikir Indra marah, tapi setelah apa yang Indra lakukan barusan, dia jadi ragu. Sebenarnya kemarin Indra melihat dirinya dengan Saka atau tidak, sih? Sambil menunggu Indra mandi, Dita menyiapkan makanan sederhana untuk kekasihnya itu. Kebetulan dalam kulkas tak ada makanan lain kecuali nugget dan telur. Akhirnya ia memeriksa rice cooker, rupanya ada nasi. Baiklah, Dita memutuskan untuk membuat nasi goreng saja. Beberapa menit kemudian Dita membawa makanan yang sudah dimasak ke meja makan, ternyata Indra sudah duduk manis di sana. Dita langsung meletakkan sepiring nasi di hadapan Indra, dan satunya lagi untuknya. "Ini mungkin akan menjadi sarapan sekaligus makan siangmu. Selamat makan, Ndra," ucap Dita sambil tersenyum. Akhirnya mereka makan bersama. Sesekali Dita bertanya bagaimana rasa nasi goreng alakadarnya itu, mungkinkan rasanya akan sangat menyedihkan? "Nggak kok, Sayang. Ini enak loh." "Serius?" "Iyalah, nih buktinya sebentar lagi habis." Dita melihat piring Indra mulai kosong. Selama ini Indra yang lebih sering memasak karena faktanya Indra lebih jago. "Makasih ya Dita, udah masakin." Mereka sudah selesai makan, Dita menumpuk piring-piring agar bisa dengan mudah membawanya ke wastafel. Kemudian Indra menyentuh tangan Dita untuk mengisyaratkan duduk. "Beresinnya nanti aja, Dit. Aku mau kamu duduk di sini." Tentu saja Dita mengurungkan niatnya, dia akhirnya kembali duduk. Jantungnya berdugup kencang lagi, mungkinkah Indra akan membahas pertemuan mereka kemarin di kafe? Ya ampun, Dita harus mempersiapkan diri sejujur-jujurnya. Ia harus menjelaskan siapa Saka. Dita tersenyum manis, menunggu Indra mengatakan sesuatu. "Kamu cantik banget, Dit.” "Thanks, Ndra," jawab Dita ragu. "Kemarin kamu ke mana aja?" tanya Indra. "A-aku, aku bisa jelasin yang kemarin. Aku sama Saka cuma...." "Saka? Siapa Saka?” Tentu saja Indra merasa heran, benaknya penuh tanya tentang siapa Saka sebenarnya terlebih Dita mengatakannya dengan penuh rasa gugup. "Jadi, siapa Saka?" "Dia teman baru, maksudnya teman kantor. Dia karyawan baru," jawab Dita sedikit gugup. "Tunggu, apa hubungannya sama kamu?" "Kami hanya teman, nggak lebih. Saka bahkan udah tahu kalau aku punya pacar. Kami cuma nggak sengaja ketemu kemarin." "Maksudnya apa, sih? Aku bingung, Dit. Serius aku bingung." "Jadi, aku sama Rani nggak jadi keluar karena Rani mesti ke rumah sakit. Neneknya dirawat." "Ah iya, itu yang mau aku tanyakan. Aku kemarin lihat dia di rumah sakit. Jadi kalian batal pergi?" "Iya, aku udah hubungin kamu, cuma nggak aktif." "Nah, hubungannya sama Saka?" "Jadi, kamu nggak lihat aku kemarin?" tanya Dita memastikan. Indra kemudian menggeleng, membuat Dita menarik napas. Ya Tuhan, rupanya Indra tak melihatnya kemarin. "Saka itu siapa?" "Gini, aku kasih tahu, ya. Dia itu karyawan baru. Kemarin saat beli es krim kami nggak sengaja ketemu. Akhirnya dia ngajakin aku jalan. Serius, sumpah demi apa pun kami nggak ada hubungan spesial. Aku sama Saka cuma rekan kerja, dia malah mau jadi sahabat aku. Asal kamu tahu, dia juga nggak akan ganggu hubungan kita. Saka juga tahu kalau aku udah punya pacar, Ndra." "Oh jadi begitu ceritanya, jadi kamu seharian sama dia?" "Ya nggak seharian juga, malah aku nggak sengaja ketemu kamu saat manggung di kafe, aku mau nyapa cuma khawatir kamu salah paham. Makanya aku nggak nyapa. Maafin aku, ya." "Iya, Andita Sayang. Udah ah, jangan tegang gitu. Aku, kan, percaya sama kamu," ucap Indra sambil berdiri menghampiri Dita. Dita juga ikut berdiri. "Kamu nggak marah?" Indra menggeleng. "Kenapa aku harus marah, sih? Lagian kamu udah jujur." Indra kemudian menarik Dita ke dalam pelukannya.  "Aku sayang banget sama Andita Sulistyani," ucap Indra lagi. Tentu saja Dita sangat senang, dia menjadi semakin sayang pada Indra. Beberapa saat kemudian mereka saling melepaskan pelukan. Indra masih menatap Dita lekat-lekat. Mereka bahkan saling menatap hingga jarak mereka sangat dekat. Dita memejamkan matanya saat Indra mulai menghapus jarak antara mereka berdua dengan menekan lembut bibir Dita, mengecup bibir Dita dengan sangat lembut seakan berirama pelan. Indra menghapus jarak itu dengan rasa yang penuh kasih juga cinta yang benar-benar kentara. Baik Dita maupun Indra sangat menikmati ciuman itu. Tiba-tiba ponsel Dita berdering, membuat mereka saling melepaskan satu sama lain. Dita langsung terkejut saat nama Saka yang terpampang di layar ponselnya. Ya Tuhan, bahkan ketenangan yang baru menghampiri Dita mulai berganti menjadi rasa panik, lagi. Dita cemas, untuk apa Saka meneleponnya di saat yang tidak tepat seperti ini? Indra menatap Dita dengan penuh rasa heran. "Kenapa nggak diangkat, Sayang?" Dita merespons dengan senyuman, tentu itu senyuman yang dipaksakan untuk menutupi rasa khawatirnya. Saka benar-benar merusak suasana. Meski tidak sampai merusak hubungan, tetap saja merusak suasana itu cukup berpengaruh bagi kenyamanan suatu kebersamaan. "Kamu angkat aja dulu, barangkali penting," ucap Indra yang sejujurnya mulai curiga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN