Apakah Indra Melihatnya?

1109 Kata
Sejatinya tidak ada persahabatan antara dua lawan jenis yang benar-benar murni. Bohong kalau tak ada yang menyimpan perasaan lebih.  . . . "Setelah ini apa kamu ada acara?" tanya Saka, mereka saat ini sedang ada di dalam mobil. "Aku rasa mendingan pulang aja, deh." "Kenapa? Apa takut pacar kamu tahu hal ini?" "Saka, kenapa aku harus takut? Memangnya kita ngapain?" "Hmm, oke deh. Kita mampir sebentar di kafe itu, ya?" "Mau apa? Kita udah terlalu banyak makan, Saka." "Siapa bilang aku mau nawarin kamu makan, aku cuma ngajak kamu minum." Dita menghela napas. "Baiklah, tapi jangan lama-lama, ya." "Iya tenang aja," jawab Saka kemudian langsung memarkirkan mobilnya. Beberapa saat kemudian mereka sudah duduk, Saka memilih tempat duduk dekat jendela. Dita hanya menurut saja, terlebih sejujurnya dia merasa Saka cukup menyenangkan dan pribadi yang mudah akrab. Buktinya baru kenal sudah bisa seakrab ini, seakan mereka sudah kenal sangat lama. "Coba kalau malam, lebih romantis." "Eh?" Dita terkejut, sebenarnya apa maksud Saka mengatakan hal itu? "Jangan berburuk sangka dulu, memangnya pacaran aja yang boleh romantis. Sahabat juga boleh, dong." "Sahabat?" "Iya, sahabat. Kamu mau, kan, jadi sahabatku? Serius, aku nyaman di samping kamu." Tentu saja Dita tidak langsung menjawab. Apa-apaan ini? Dita tahu mereka mulai dekat sejak hari ini, tapi sahabat? Kenapa Saka ingin menjadi sahabatnya? Secepat ini? “Jadi kamu nggak mau bersahabat denganku?” tanya Saka lagi. “Eh, mau kok,” jawab Dita spontan lantaran tidak enak hati. Dita berusaha tersenyum, berharap Saka bukanlah orang jahat dan tidak ada maksud buruk padanya. Baiklah, mulai hari ini Saka adalah sahabatnya. Hanya sahabat dan tidak lebih. Mereka akhirnya meminum kopi dingin yang sudah dipesan. Tak lama kemudian, alunan musik mulai terdengar. Mata Dita tertuju ke arah jendela, menatap jauh ke luar sana. Lagi-lagi ada sedikit rasa bersalah pada Indra, meski tidak melakukan apa pun tetap saja Indra belum mengetahui hal ini. Dita berjanji akan menceritakan pada Indra nanti, juga mengatakan tentang persahabatannya dengan Saka. Tiba-tiba konsentrasi Dita menjadi buyar, fokusnya kini tertuju pada sebuah lagu yang dinyanyikan. Lagu yang sangat dia kenal. Bahkan, suara sang penyanyi itu adalah suara Indra. Dita langsung menatap ke arah panggung di kafe itu untuk memastikan siapa yang bernyanyi. Oh Tuhan, dugaannya tidak pernah salah. Indra ada di sana sedang bernyanyi. Tentu saja Dita tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dita berada dalam keadaan yang akan membuat Indra salah paham. Dita jadi gelisah sehingga di tempat yang ber-AC seperti ini malah membuatnya berkeringat. Dita tak bisa membayangkan jika Indra menatap ke arahnya yang sedang bersama Saka. Merasakan ada yang tidak beres pada diri wanita di hadapannya, Saka pun mulai menyadari kegelisahan Dita dari raut wajahnya. "Dit, kamu kenapa?" Dita langsung merespons pertanyaan Saka dengan menggeleng. "Kamu sakit?" tanya Saka lagi, kali ini dia menyentuh pipi Dita. Dita berusaha menghindar. "Aku mau pulang sekarang," ucap Dita ketakutan. "Iya, tapi kenapa? Kamu nggak suka sama tempatnya?" Dita langsung berdiri. "Nanti aku jelasin, sekarang ayo pergi dari sini!" "Oke," jawab Saka kemudian mengangkat tangannya ke arah pelayan. Pelayan itu langsung menghampiri, sedangkan Dita masih berdiri dengan rasa gelisahannya. "Saya mau bill," ucap Saka pada pelayan itu. "Baik, mohon tunggu sebentar, ya." Pelayan itu langsung bergegas mengambil tagihan. "Saka, lebih baik aku duluan ke mobil aja deh." Saka kemudian mengangguk. "Boleh, nanti aku nyusul." Dugaan Saka semakin kuat bahwa memang ada yang tidak beres pada diri Dita. Dita langsung pergi dari tempat itu sambil berharap Indra tidak melihatnya karena ini bisa sangat kacau. Meski dia akan menceritakannya nanti, tapi tetap saja jika Indra melihatnya dengan keadaan bersama Saka, jelas akan membuat pacarnya itu curiga. Beberapa saat kemudian, mereka sudah masuk ke mobil. Saka pun langsung mengemudikan mobilnya. "Sebenarnya ada apa, Dit?" tanya Saka, sambil fokus menyetir. "Tadi itu ada Indra, pacarku." "Ngapain dia di sana?" "Yang tadi nyanyi, Saka. Semoga dia nggak melihat kita." "Maaf, ya. Gara-gara aku kamu jadi seperti buronan gini. Aku nggak ada maksud merusak hubungan kalian, aku sama sekali nggak mau kalian bertengkar." "Udahlah, itu bukan salah siapa-siapa. Biarkan aku yang jelasin nanti dan aku harap dia mengerti." Dita langsung melihat ponselnya yang sengaja ditinggalkan di dalam mobil Saka. Rupanya ada dua panggilan tak terjawab dari Indra. Indra meneleponnya pukul 12.30, Dita berharap Indra hanya iseng meneleponnya. Lagi pula saat pagi Dita menelepon ulang Indra, nomornya malah tidak aktif. Jadi, tidak ada yang salah saat ini. Ya, memang tidak ada yang salah. Dita juga tak mungkin menelepon balik Indra sekarang karena faktanya pria itu sedang di atas panggung. Lebih baik besok Dita menceritakannya. "Jangan ngelamun aja dong, Dit. Aku jadi ngerasa bersalah." Dita kemudian tersenyum ke arah Saka. "Aku baik-baik aja kok, kamu nggak usah khawatir apalagi ngerasa bersalah." "Kalau Indra marah, aku janji bakal jelasin semuanya, Dit." "Kamu tenang aja, Saka. Aku bisa urus ini semua." "Sekali lagi maafin aku ya, Dit. Mungkin aku juga salah, udah ngajak jalan perempuan yang punya pacar." "Saka, aku mohon berhenti membahas ini." "Baik, Dit. Maaf." "Kontrakanku dekat sini kok, jangan ngebut," ucap Dita kemudian, sambil menunjuk ke arah jalanan saat dirinya membeli es krim tadi. "Aku turun dulu. Thanks ya buat hari ini." Dita kemudian turun setelah Saka memberhentikan mobilnya. Pikirkannya agak kacau memikirkan Indra. Dita sampai tak sempat berbasa-basi mengajak Saka mampir. Dita langsung masuk saat mobil Saka sudah menghilang dari pandangannya. Melemparkan diri ke kasur, rasanya Dita belum tenang kalau belum menceritakan yang sebenarnya pada Indra. Beberapa saat kemudian ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk. Dita sangat berharap Indra yang meneleponnya, tapi ternyata Rani. "Halo, Ran." "Hei, Dita. Gimana hari ini? Bete ya, di kontrakan? Apa jadinya jalan sama Indra? Sekali lagi maaf, ya." Rani langsung nyerocos dengan berbagai pertanyaan. "Aku lagi pusing." "Yaaah, pusing kenapa, Dit?" "Aku ketemu Indra, di kafe." "Loh? Maksudnya gimana, nih?" Tentu saja Rani kebingungan. "Jadi, aku tadinya mau istirahat aja. Tiba-tiba nggak sengaja ketemu Saka di jalan waktu beli es krim. Dia ngajak jalan, ya ampun … pas di kafe aku nggak tahu kalo Indra lagi manggung juga di sana." "Saka? Siapa Saka?" "Teman, partner kerja. Sebenarnya baru kemarin kenal, sih. Tapi dia baik." "Dan kalian ketemu Indra?" "Aku lihat Indra, tapi aku nggak tahu Indra melihat aku atau nggak. Sekarang aku ragu mau telepon dia. Aku takut dia melihat dan salah paham." "Ya ampun, Dit. Kalian baru kenal kenapa bisa jalan bareng begitu? Kamu nggak takut, ya?" "Dia baik, Ran. Serius." "Terserah ya mau baik atau nggak, tapi gimana dengan Indra? Dia pasti kecewa, kalau dia mikirnya kamu bohong, gimana? Indra, kan, tahunya kamu sama aku." "Nah itu dia, aku janji besok jelasin ini semua sama Indra." "Kalau begitu aku minta kamu hati-hati ya, Dit." "Hati-hati?" “Jangan main api kalo nggak mau kebakar." "Ran, maksud kamu apa, sih? Aku sama Saka nggak ada apa-apa." "Sebagai sahabat, aku cuma ingetin aja." "Saka juga tahu aku udah punya Indra, Ran." "Baiklah, urusan itu aku nggak mau ikut campur deh, yang penting aku udah mengingatkan. " "Oh ya, gimana keadaan Nenek kamu, Ran?" "Syukurlah sekarang udah agak membaik, tapi mesti dirawat dulu sampai benar-benar pulih." "Syukurlah. Ran … nanti lagi ya, aku mau mandi. Udah sore." Sambungan telepon kemudian terputus. Dita melemparkan lagi ponselnya ke tempat tidur. Dalam benaknya masih memikirkan, apakah Indra melihatnya bersama Saka? 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN