Mulai Goyah

1142 Kata
Senyuman kamu itu hal paling sederhana tapi kebahagiaan yang nyata untukku. . . . Sore ini Rani sedang bingung, dia berkeliling untuk mencari hadiah apa yang tepat untuk ulang tahun Dita. Langkahnya memilih memasuki toko buku, Rani sendiri semakin bingung karena begitu banyaknya buku di sana, sampai akhirnya dia menjatuhkan pilihan pada salah satu novel bergenre roman. Setelah semuanya beres, Rani meninggalkan tempat itu. Dalam perjalanan, dia memutuskan untuk mampir di toko donat kesukaannya. Tidak terlalu ramai, tapi tidak bisa juga dikatakan sepi. Rani pun mengantre dengan sabar, mungkin posisinya berada di urutan keenam. Tiba-tiba Rani merasakan ada yang menepuk pundaknya, refleks dia menoleh, dan seulas senyuman tampak terukir di bibir pria yang baru saja menepuk pundaknya. Rani pun membalas senyuman itu meski ada sedikit kegugupan di dalamnya. Betapa tidak, jarak mereka yang kini saling berhadapan sangat dekat. Rani pun bisa mencium aroma parfum Indra. Ya, pria itu adalah Indra. Selama beberapa detik belum ada yang memulai pembicaraan, Rani memikirkan mengapa dunia bisa sesempit ini? Bertemu dengan Indra adalah sesuatu yang terasa nano-nano baginya. "Sendirian aja?" tanya Indra, memulai pembicaraan. Rani kemudian mengangguk. "Kamu juga sendiri?" "Iya, Ran." Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi, Rani bahkan sudah kembali berbalik badan untuk mengantre lagi. Namun, sumpah demi apa pun jantung Rani kini berdetak lebih cepat. Ini adalah hal yang tidak biasa, dia belum pernah berjarak sedekat ini dengan Indra. Beberapa saat kemudian, mereka berdua sudah membawa pesanan masing-masing. Antrean mereka memang berurutan sehingga bisa selesai bersamaan. "Mau langsung pulang?" tanya Indra. Entah mengapa Rani malah diam saja. Ya, Rani terlalu gugup sehingga cukup lama memikirkan jawaban atas pertanyaan Indra. Padahal sebenarnya dia berencana akan pulang setelah membeli donat. "Rani?" "Eh, maaf," jawab Rani gugup. "I-iya, aku langsung pulang." Rani mengutuk dirinya yang malah melamun sekaligus berharap agar Indra mengajaknya sekadar duduk di kafe atau berjalan-jalan sebentar. Itu adalah hal terbodoh, Rani tidak bisa memaafkan dirinya sendiri jika itu terjadi. Dia tidak boleh bermain di belakang Dita, terlebih mengambil kesempatan saat Dita pergi. Ya Tuhan, jika saja boleh direncanakan, Rani tidak ingin mengharapkan apa pun tentang Indra. "Kalau begitu hati-hati di jalan, ya." "Kamu juga mau langsung pulang?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Rani. "Enggak. Gue mau manggung,” jawab Indra. “oh ya, jangan lupa hari Sabtu kita nyusul Dita. Sekarang gue pamit duluan." Rani mengangguk, menatap kepergian Indra. Dia bahkan masih menatap punggung Indra yang mulai menjauh. Tak bisa dimungkiri, betapa pesona Indra yang sanggup membuat wanita tidak mengalihkan pandangan. Bagi Rani, Indra benar-benar pria idaman. Sudah pekerja keras, pintar masak, suaranya bagus, cara bicaranya lembut, baik, tidak merokok, ah mungkin bisa sampai pagi jika terus menyebutkan semua hal baik yang melekat pada diri Indra. Namun, ada satu hal yang harus Rani ingat dan tanam patenkan di dalam benaknya, bahwa Indra adalah pria terlarang yang tidak boleh dia cintai. Indra adalah milik Dita. Ya, hanya milik sahabatnya. Beberapa saat kemudian saat Indra sudah menghilang dari hadapannya, Rani pun mulai melangkah menuju motornya. Bersamaan dengan itu, ada seseorang yang menutup matanya dari belakang. Tentu saja Rani semakin tidak karuan. Mungkinkah Indra kembali? Atau sebenarnya pria itu juga menyimpan rasa terhadapnya? Ya Tuhan, Rani malah kembali memanjat rasa setinggi mungkin. Jika kenyataannya tidak, dirinya seakan menjatuhkan diri dan itu menyakitkan. Rani berusaha menyentuh tangan orang itu dengan tangan kanannya karena tangan kirinya dia gunakan untuk membawa plastik berisi sekotak donat. "Lepasin, jangan becanda, deh!" Rani sedikit meronta. "Taraaa!" teriak seorang wanita. Detik itu juga, Rani langsung menyadari bukan Indra yang menutup matanya. Lagi pula pemikiran gila macam apa yang membuatnya berpikir kalau itu Indra? Jelas-jelas sangat tidak mungkin! "Belanja, Bu?" tanya Indah, teman kerja satu divisi dengan Rani. "Mau pulang, ya?" tanyanya lagi. Indah memang terkenal cerewet. "Iya, baru aja mau pulang. Kamu, sih?" Rani balik bertanya. "Aku mau nebeng sama kamu soalnya tadi aku ke sini naik taksi. Boleh, ya?" "Indah, kamu lupa kalau kita beda arah?" "Aku mau ke Kafe Jatuh Cinta, tadi udah janjian sama Kakakku. Jadi, nanti aku pulang sama dia, gitu, Ran," jelas Indah. "Oh. Kalau begitu ayo, tapi bawain belanjaanku, ya," kekeh Rani sambil memberikan belanjaannya tadi. *** Dita memeluk Saka dari belakang, jika tadi pagi mereka menyusuri jalanan aspal dengan sepeda, kali ini Saka mengajak Dita naik motor. Itu adalah motor milik salah satu keluarganya, kebetulan hotel tempat mereka menginap cukup dekat dengan rumah orangtua Saka. Sejujurnya Saka ingin sekali mengajak Dita bertemu dengan seluruh anggota keluarganya lalu mengenalkannya. Namun, Saka masih belum berani. Dia takut keluarganya akan terkejut atau berharap lebih karena faktanya Dita adalah wanita yang sudah memiliki kekasih. Banyak hal yang mereka bicarakan sepanjang jalan, bahkan Dita maupun Saka seakan melupakan batas masing-masing. Hari ini mereka benar-benar menghabiskan waktu berdua dengan mengunjungi berbagai tempat menarik. Jujur saja, kini rasa bersalah kembali mengusik pikiran Dita. Haruskah dia mulai membatasi kebersamaannya dengan Saka? Sadar, Dita … Sadar! “Saka….” “Ya?” “Aku boleh minta sesuatu?” Saka diam selama beberapa detik. "Tergantung." "Kenapa tergantung?" "Barangkali kamu minta yang nggak-nggak, aku mana bisa nurutin?" "Contohnya?" “Hmm … apa, ya?" Saka tampak berpikir lagi, "contohnya kamu nyuruh aku buat membenci kamu. Tentu itu nggak bisa dong. Mana mungkin aku membenci wanita seperti kamu?" Saka terkekeh. "Sekarang bilang, tadi mau minta apa?" Sebenarnya Dita ingin mengatakan kalau sebaiknya mereka menjaga jarak, terlebih Dita harus menjaga hati Indra, Dita tidak ingin kebersamaannya dengan Saka menumbuhkan perasaan cinta. Dita takut kenyamanannya bersama Saka akan naik level menjadi cinta. Sayangnya lidah Dita bagai kelu, faktanya dia tidak sanggup mengatakan itu. "Aku…." Dita menggantung ucapannya. "Aku minta kamu lepasin tanganku," lanjutnya. Ada sedikit kegugupan dalam mengucapkannya. Dita mengatakan itu untuk menutupi sesuatu yang sebenarnya ingin dia katakan. Sungguh, Dita sendiri heran mengapa begitu sulit mengatakan agar mereka menjaga jarak saja. Mendengar ucapan Dita membuat Saka refleks melepaskan tangan wanita itu. "Maaf," ucap Saka. "Saka pulang, yuk. Udah sore.” "Yuk," jawab Saka kemudian. Dita sengaja berjalan beberapa langkah di depan Saka. Namun, saat melewati kolam, dia hendak terjatuh dan untungnya sepasang tangan menyangga tubuhnya sekaligus menyelamatkan dirinya agar tidak terjatuh. Ya Tuhan, ini seperti adegan dalam film. Apalagi jarak antara wajah mereka sangat dekat. Selama beberapa detik, mereka berpandangan sampai pada akhirnya saling menyadari dan saling melepaskan. "Hati-hati, Dit," ucap Saka, secepat itu dia menstabilkan ekspresinya. "Gimana kalau aku gendong aja? Supaya nggak jatuh, sepertinya kamu kelelahan." Dita menggeleng. "Enggak kok, aku cuma hampir terpeleset. Bukan kelelahan, Saka." Mereka pun akhirnya berjalan menuju motor, setelah sama-sama memakai helm, Saka menahan Dita untuk jangan naik terlebih dahulu. Mata pria itu fokus ke arah jalanan, tentu saja Dita ikut mengamati obyek yang sedari tadi menjadi pusat perhatian Saka. "Tunggu, sebentar aja," ucap Saka. Dita mengangguk seolah mengerti, kalau sudah begini Dita semakin merasa kagum pada Saka. Dita menatap Saka yang mulai menjauh ke arah jalanan, Dita terus memperhatikan Saka yang dengan manisnya membantu seorang nenek yang hendak menyeberang. Dita tersenyum, rupanya Saka sangat baik hati. Setelah itu, Saka kembali menghampiri Dita. Dari kejauhan senyuman manis itu membuat Dita tak hentinya merasa kagum. Saka memang pernah mengatakan tidak akan merebut Dita dari Indra, tapi bagaimana dengan sikapnya? Sepertinya sikap manis seorang Saka adalah cobaan kesetiaan bagi Dita. Awalnya, Dita berpikir hanya Indra yang bisa membuatnya nyaman. Namun, pemikiran itu dia ubah semenjak mengenal Saka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN