Sedikit Meragu

1190 Kata
Cinta itu tak bisa ditebak, kita tak bisa milih untuk mencintai siapa. Hanya saja, jatuh cinta pada seseorang yang sudah punya kekasih seharusnya tidak boleh. . . . Rani akhirnya mengantarkan Indah sampai kafe. Namun, di perjalanan tiba-tiba dia merasa ada yang tak beres pada motornya. Rani pun berinisiatif untuk memberhentikan motornya sebentar. "Kenapa, Ran?" tanya Indah. "Aku juga nggak tahu, kayaknya nih motor ada masalah," jawab Rani sambil turun. Benar saja, ban-nya kempes. "Sial banget, mana udah hampir malam," lanjutnya menggerutu. "Baru juga setengah tujuh, Ran. Belum malam kali." "Masalahnya aku belum pulang sama sekali. Duh, gimana ya." Indah lalu memperhatikan sekeliling, matanya menyelidik berharap menemukan solusi. Sampai pada akhirnya, senyuman tampak mengembang di bibir Indah. "Itu ada bengkel!" Dengen malas, Rani mendorong motornya, sementara Indah berjalan di samping sambil membawa belanjaan Rani. "Untung ada aku. Kalau nggak ada, kasihan banget kamu harus dorong motor sendiri." "Sekarang juga sendiri kali, emangnya kamu bantuin dorong?" Indah terkekeh. "Maksudnya, daripada nggak ada aku … apa bedanya kamu sama orang hilang, Ran?" Untung saja ada bengkel yang jaraknya dekat, Rani langsung menarik napas lega saat motornya sudah diperiksa oleh mekanik yang ada di situ. "Lama nggak kira-kira, Pak?" tanya Rani. Montir itu memeriksa ban depan dan belakang motor Rani. "Ini nggak bisa ditambal, Mbak. Mesti ganti ban, kebetulan stoknya kosong. Kalau Mbak mau nunggu, saya beli dulu." "Kira-kira lama atau sebentar?" "Ya … lumayan, sih, tapi setahu saya di daerah dekat sini nggak ada bengkel lagi." "Enggak apa-apa aja, Ran. Kita juga udah mau nyampe kafe, saranku kamu ikut mampir dulu aja di sana. Kebetulan lagi ada band yang keren," bisik Indah, membuat Rani tampak berpikir sejenak. "Kalau begitu, nanti aku ke sini lagi ya, Pak," putus Rani. Akhirnya mereka berdua berjalan kaki ke Kafe Jatuh Cinta, namanya saja sudah membuat orang berpikir, mungkinkah bagi yang masih sendiri akan menemukan pacar di sana? Ada-ada saja. Sejak masih di luar, suara band sudah terdengar, Indah pun sangat kegirangan. "Jadi tujuanmu mau lihat band apa nemuin kakakmu, sih?" "Dua-duanya, aku nge-fans banget sama gitarisnya, keren gilaaa! Vokalisnya juga ganteng, ah semuanya ganteng. Tapi aku lebih suka gitarisnya," jelas Indah dengan mata berbinar. Begitu masuk, mata Rani langsung terfokus pada seseorang di atas panggung, pria itu sedang menyanyi dengan suara yang sangat enak didengar, terlebih ketampanannya lebih dari maksimal. Pria itu adalah Indra. Rani ingat, tadi Indra memang bilang hendak manggung, tapi Rani benar-benar tidak tahu kalau di sinilah tempatnya. "Ran, ngapain di situ? Sini!" panggil Indah yang sudah duduk di kursi bersama seorang wanita, pasti itu kakaknya. Tentu saja Rani jadi terlihat kikuk, dia mengutuk dirinya sendiri yang malah melamun di situ. Akhirnya Rani mengambil posisi di salah satu kursi samping Indah. "Apa aku bilang? keren, kan?" Rani hanya merespons dengan senyuman. Sampai pada akhirnya, pria yang menyanyi di atas panggung itu menatap ke arahnya. Ya, tatapan mereka saling bertemu. Indra tersenyum, membuat Rani semakin salah tingkah. Seharusnya Rani secepatnya bergegas pergi dari situ, sebelum terbunuh oleh senyuman Indra. *** Sudah beberapa kali Dita berusaha menghubungi Indra, tapi panggilannya tak kunjung mendapatkan jawaban. Ini bahkan masih jam delapan malam, Dita yakin Indra pasti belum tidur. Kalaupun bermain futsal, pasti biasanya di atas jam sembilan malam. Jadi, Indra ke mana? Kenapa seharian tidak ada kabar? "Makan dulu gih," ucap Saka yang kini duduk di hadapan Dita, pria itu mampu melihat dengan jelas kecemasan pada ekspresi Dita. "Jangan cemberut aja, cantiknya nanti hilang, gimana?" "Indra nggak angkat teleponku, dan seharian ini kami nggak komunikasi sama sekali. Pacar mana yang nggak khawatir?" "Khawatir boleh, tapi jangan lupain makan dong." Saka benar-benar berbicara dengan sangat ramah, membuat Dita sedikit memudarkan cemberutnya, akhirnya mereka pun makan bersama. Kali ini mereka memilih makan di restoran yang berada di belakang hotel sehingga tak butuh kendaraan untuk sampai ke sana. Saka sengaja mengajak Dita berjalan kaki, karena setelah makan ia berencana mengajak Dita berkeliling sebentar menikmati indahnya kota ini saat malam hari. Selesai makan, mereka kemudian bersiap meninggalkan restoran. Mereka berjalan melewati taman kecil yang tanahnya tertutup oleh rerumputan hijau terawat dan sangat rapi. Ditambah langit berbintang membuat malam ini terasa lebih indah. "Duduk dulu, yuk," ajak Saka. Dita pun setuju, terlebih ia memang menyukai suasana seperti ini. Sedangkan Saka sudah lebih dulu duduk di rumput, kakinya berselonjor. Dita tentu langsung mengambil posisi duduk di samping pria itu. "Saka…." Saka hanya berdeham sebagai isyarat agar Dita melanjutkan perkataannya. "Pacar kamu marah nggak, sih, kita bareng gini?" Pertanyaan Dita membuat Saka yang awalnya menatap langit, beralih menjadi menatap Dita. Alih-alih menjawab, pria itu malah merebahkan tubuhnya di antara rerumputan itu, mungkin sedang berpikir jawaban yang tepat atas pertanyaan Dita. Meski awalnya ragu, Dita akhirnya mengikuti apa yang Saka lakukan. Saat ini mereka sama-sama berbaring di rumput dengan mata menghadap ke atas langit. "Kalau pacar kamu … memangnya marah, Dit?" Saka malah balik bertanya. "Aku cuma takut pacarmu marah kalau kita dekat begini." "Tunggu, kamu bilang takut pacarku marah?" tanya Saka memastikan, kali ini dia menoleh ke samping kanannya sehingga bisa menatap wajah Dita dari jarak sedekat ini. "Kamu takut pacarku marah, tapi lupa kalau pacarmu juga bisa marah," sambungnya. "Ya kalau Indra beda." Dita pun menoleh pada Saka sehingga kini mereka benar-benar berhadapan. "Beda gimana? Dia diam aja, kan, saat melihat kamu sama pria lain?" "Dia bukan diam aja, dia cuma percaya sama aku." "Dan kamu percaya sama dia?" Pertanyaan Saka membuat Dita seperti ditampar, percayakah dirinya pada Indra? Bahkan, sejauh ini tidak pernah ada tanda-tanda pengkhianatan dari Indra. "Kalau wanita bisa cemburu … pria juga sama, bisa cemburu juga. Seorang pria nggak akan pernah rela melihat wanitanya bersama pria lain sekalipun hanya jalan. Kalau diam aja bahkan nggak marah, lalu disebut apakah itu? Aku bahkan nggak yakin bisa disebut cinta. Apalagi Indra itu vokalis, kan? Pasti ada aja wanita yang tertarik. Sederhananya, apa mungkin dia nggak pernah khilaf sesekali?" "Indra nggak mungkin begitu. Asal kamu tahu, Indra membiarkan aku jalan sama kamu karena dia tahu kalau hubungan kita hanya sebatas kerja.” "Apa selama ini hubungan kita sebatas kerja?" balas Saka. "Apa maksud kamu ngomong begitu?" Dita kini duduk, Saka juga. "Awalnya aku ngerasa hubungan kita sebatas kerja, Dit. Tapi entah kenapa semua mulai berubah. Aku…." Ucapan Saka terpotong, pria itu menarik napas sejenak lalu melanjutkan ucapannya, "Cinta itu nggak bisa ditebak, aku nggak bisa memilih buat cinta sama siapa, yang pasti jatuh cinta sama wanita yang udah punya pacar nggak pernah ada dalam kamusku. Tapi, saat bersama kamu, perasaanku nggak bisa bohong lagi. Aku cinta kamu, Dit." Tentu saja Dita terperangah mendengar pengakuan Saka. Secepat inikah? Mereka bahkan belum lama kenal. Bisa-bisanya Saka mengatakan hal konyol seperti itu. Hal yang tidak mungkin Dita percayai. "Tapi kamu tenang aja, aku nggak akan jahat dengan merusak hubungan kalian. Aku cuma mau kamu senang dan tertawa bahagia. Itu semua udah cukup buatku. Itu sebabnya tadi saat kamu cemberut karena Indra nggak jawab telepon … hatiku jadi sakit. Aku nggak akan membiarkan senyum kamu berubah jadi cemberut apalagi cuma gara-gara Indra,” tambah Saka. Dita tetap memilih diam. Lagi pula, dia tidak tahu harus menjawab apa. Ucapan Saka benar-benar sulit dipercaya. “Sejujurnya aku mulai curiga, sebenarnya ke mana Indra? Aku takut dia sedang bersama wanita lain sehingga membuatmu sedih. Aku nggak mau kamu kecewa dan sakit hati, Dit." Dita awalnya tidak pernah curiga sama sekali pada Indra. Namun, ucapan Saka sedikitnya berhasil mempengaruhi perasaannya. Ya Tuhan, Dita tidak ingin meragukan Indra. Sama sekali tidak ingin. Sialnya, kenapa dia terus kepikiran apa yang Saka ucapkan barusan. Bagaimana kalau itu semua terjadi? Indra … kamu sedang apa, sih?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN