Rani sama sekali tidak pernah membayangkan bisa berada dalam satu mobil dengan Indra. Terlebih hanya berdua. Karena Indah dan kakaknya berlawanan arah dengan rumahnya, akhirnya Rani menerima tawaran Indra untuk diantar pulang. Tentu saja keputusan itu penuh pertimbangan, ini bukan yang dia rencanakan meski sepertinya sedikit dia inginkan.
Awalnya Rani meminta Indra mengantarnya ke bengkel karena lebih baik pulang naik motor daripada terus gugup duduk di samping Indra, tapi ternyata sang mekanik mengatakan motor akan selesai besok pagi. Jadi, mau tidak mau Rani diantar oleh Indra. Sungguh, ini pertama kalinya Rani duduk berdampingan di mobil Indra.
Rani sejujurnya merasa bersalah, hatinya terus bergumam kalau Indra milik Dita. Dia juga berpikir, untuk menuju ke rumahnya mungkin hanya membutuhkan waktu kurang dari setengah jam, lalu bagaimana nanti saat perjalanan ke luar kota untuk menyusul Dita yang normalnya memakan waktu hampir empat jam? Rani tidak bisa membayangkan bagaimana hari Sabtu nanti.
Indra baru saja memakai sabuk pengamannya, pria itu melihat ponselnya yang sengaja ditinggalkan di mobil tampak berkedip. Rupanya ada banyak panggilan tak terjawab dari Dita.
"Bentar ya, Ran. Aku telepon Dita dulu. Dia pasti khawatir, aku tadi lupa bilang mau manggung, sih," ucap Indra.
Rani hanya mengangguk, meski sebenarnya jantungnya kini semakin berdetak lebih cepat. Dia takut jika Dita tahu dirinya sedang bersama Indra kemudian salah paham.
***
Dita yang sudah hampir memejamkan mata langsung duduk saat Indra meneleponnya. Awalnya dia ragu antara mengangkatnya atau tidak. Namun, rasanya dia harus tahu ke mana saja Indra hari ini sehingga tidak ada kabar sama sekali bahkan tidak mengangkat panggilannya.
"Akhirnya diangkat juga, selamat malam Andita Sulistyani tersayang," ucap Indra di ujung telepon sana.
"Selamat malam juga, Ndra."
"Aku kangen banget tahu, Dit. Gini banget ya LDR."
"Kamu dari mana aja?"
"Maaf, Sayang. Tadi aku manggung, aku tahu aku salah, bisa-bisanya lupa bilang sama kamu. Tadi ponselnya emang ditinggal di mobil."
"Astaga. Aku pikir kamu ke mana."
"Hm, sekarang kamu lagi di mana, Sayang?"
"Di kamar dong, ini udah malam. Hampir aja aku mau tidur,” jawab Dita. “Kalau kamu, lagi di mana?"
Indra tampak berpikir sejenak, dia sedikit ragu untuk mengatakannya. Dia khawatir Dita salah paham. Namun, Indra juga tidak mungkin berbohongi Dita.
"Ndra?" Dita membuyarkan lamunan Indra.
Sedangkan Rani yang sedari tadi di samping Indra, ikut berharap-harap cemas.
"Jadi gini, aku jelasin ya biar kamu nggak salah paham."
Tentu saja itu membuat Dita penasaran sekaligus curiga, pikirannya jadi tidak enak. Seperti ada yang tidak beres. Dita takut apa yang akan Indra jelaskan sulit diterima hatinya.
"Dit, kamu dengar, kan?"
"Iya, mau jelasin apa?"
"Jadi, setelah manggung tadi … aku nggak sengaja ketemu Rani."
"Tunggu, maksud kamu Rani sahabat aku?"
"Iya, kebetulan motor Rani harus masuk bengkel. Nih, sekarang ada Rani di samping aku. Kamu mau ngomong, Sayang?"
Entahlah, hati Dita serasa terbakar mendengarnya. "Jadi kamu lagi sama Rani?"
"Iya, Sayang."
"Terus kamu mau ke mana?" tanya Dita lagi, padahal sebagian dari dirinya tak ingin mendengar lagi hal yang membuat hatinya panas. Seketika Dita teringat apa yang tadi diucapkan Saka. Mungkinkah Indra … ya ampun, kenapa Dita malah semakin berburuk sangka?
"Aku baru mau antar Rani pulang. Motornya, kan, masuk bengkel, Sayang. Jadi mau ngomong sama Rani nggak, nih?"
Benar saja, jawaban Indra semakin membuat Dita hancur. Wanita mana yang rela kekasihnya pergi dengan sahabatnya sendiri? Ya, Dita tahu dirinya egois. Dirinya juga belakangan ini sering bersama Saka. Namun, kenapa harus Rani yang bersama Indra sekarang? Entah kenapa rasanya sangat tidak rela.
"Sebenarnya aku udah ngantuk. Titip salam aja ya. Aku harus tutup teleponnya sekarang karena besok ada meeting pagi. Kamu hati-hati di jalan, ah … maksudnya kalian hati-hati di jalan," jawab Dita kemudian menutup sambungan teleponnya, tanpa mau mendengar jawaban Indra. Sungguh, ini kali pertama Indra seperti itu.
Dita melempar ponselnya secara asal, tangannya langsung meraih guling di hadapannya lalu memeluk guling itu sambil menangis. Dita bahkan lupa kapan terakhir kalinya dia menangis. Sungguh, kali ini tangisnya benar-benar pecah, hatinya memanas dan seakan hancur.
Di telinganya terngiang ucapan Saka tadi. Ditambah penjelasan Indra yang sebagian sulit diterima logika.
“Kebetulan manggung, kebetulan lupa bilang, kebetulan ketemu Rani, kebetulan motor Rani masuk bengkel, kebetulan macam apa ini?!”
Memikirkan itu membuat Dita semakin menangis. Mata yang awalnya sangat mengantuk, kini hilang sepenuhnya kantuk itu. Hanya tersisa tangisnya yang semakin menjadi-jadi. Inikah yang namanya cemburu? Atau … inikah arti kecewa yang sebenarnya?