Harus Bagaimana?

956 Kata
Indra menatap layar ponselnya yang sudah tak tersambung dengan Dita, ada rasa yang tak bisa dijelaskan setelah berbicara dengan kekasihnya itu. Antara rasa bersalah, takut salah paham, ah … Indra sendiri tidak bisa mendeskripsikannya secara jelas. Namun, yang pasti dia merasa tak enak hati, seperti sebuah firasat buruk. “Dita nggak apa-apa, kan?” Pertanyaan Rani membuat Indra tersadar dari lamunannya, dia baru ingat kalau masih ada Rani di sampingnya. “Ya?” Indra seolah meminta pengulangan pada ucapan Rani. “Dita kenapa?” Rani sengaja mengubah pertanyaannya. “Dita baik-baik aja. Dia cuma ngantuk, wajar juga ini udah malam,” jawab Indra, kemudian bersiap mengemudikan mobilnya sebelum malam benar-benar larut dalam kegelisahan. Tidak banyak percakapan selama perjalanan, Indra juga mengerti posisi. Hal itu membuat Rani tidak terlalu gugup karena saat berbicara langsung dengan Indra, membuat getaran-getaran aneh berkumpul saling membentuk kegugupan. Jadi, menurut Rani diamnya Indra itu justru hal bagus untuknya. “Rumah lo masih jauh?” tanya Indra kemudian. Meski sudah lama berpacaran dengan Dita, tapi Indra belum satu kali pun menyambangi rumah sahabat kekasihnya itu. “Hm, bentar lagi sampai, kok.” “Oh, jadi daerah sini. Padahal gue sering lewat,” ucap Indra, tapi entah mengapa Rani sendiri bingung harus menjawab apa sehingga hanya bisa tersenyum. “Itu, yang cat biru!” Rani menunjukkan rumahnya. Lampu-lampu perumahan tempat Rani tinggal cukup terang sehingga memudahkan siapa pun untuk melihat warna cat rumah. Indra pun berhenti tepat di depan rumah yang Rani tunjuk. Ada pemandangan berbeda bagi Rani. Wanita itu melihat pintu pagar yang biasanya tertutup malah terbuka lebar. Rani menyelidik ke arah dalam, ternyata pintu rumahnya pun terbuka. Diliriknya jam tangan  yang menunjukkan pukul sebelas malam. Tumben sekali pintu masih terbuka dan masih ada yang belum tidur. Sampai kemudian, tiba-tiba dia teringat kalau lupa memberi kabar pada orangtuanya. Ya Tuhan, pantas saja, pasti orangtuanya sangat khawatir Rani sampai jam segini belum pulang. “Lo kenapa?” tanya Indra bagai membaca kegelisahan Rani. “Aku lupa ngabarin orang rumah, aku nggak pernah pulang sampai jam segini. Bunda pasti marah,” jawab Rani sambil menoleh ke arah Diah, sang bunda yang berdiri dekat pintu. “Bunda lo pasti khawatir, bukan marah. Jangan berpikir negatif, deh.” Indra menenangkan. “Kalau begitu thanks ya, udah mau antar sampai sini. Aku masuk dulu.” Rani bersiap turun, tapi ternyata Indra juga malah ikut membuka sabuk pengamannya. “Kamu mau ke mana?” tanya Rani kemudian. “Ketemu bunda lo,” jawab Indra yang membuat jantung Rani berdetak lebih cepat lagi. Untuk apa Indra menemui orangtuanya? Ya ampun…. “Enggak usah, Indra!” cegah Rani. “Gue takut Bunda lo mikir yang nggak-nggak. Lagian gue cuma mau bilang putrinya udah sampai dengan selamat. Udah, itu doang.” “Tapi kan—” “Gue bukan tipe orang yang nurunin anak orang di pinggir jalan atau di luaran gini. Telebih lo sahabat dari kekasih gue.” Belum sempat Rani menjawab, Indra sudah lebih dulu turun dari mobil. Rani pun langsung melakukan hal serupa. Mereka berdua disambut oleh Bundanya Rani. Indra menghampiri wanita yang berdiri dekat pintu itu dengan tatapan hangat, tangannya langsung meraih tangan wanita itu lalu menciumnya. “Malam, Tante. Raninya udah nyampe, nih. Terjadi sesuatu sama motornya sehingga harus masuk bengkel dan baru selesai besok,” jelas Indra, tentu saja sikap hangat Indra membuat bunda Rani tidak bisa marah. “Maaf juga kalau ini kemalaman.” “Terima kasih ya, sudah antar Rani dengan selamat,” jawab Diah sambil tersenyum hangat. Indra tersenyum. “Berhubung ini udah malam. Saya pamit ya, Tante.” Indra kemudian menyalami lagi. Setelah itu matanya beralih ke arah Rani, “Gue pamit ya, Ran.” Rani pun menjawabnya dengan senyuman. Setelah Indra pergi, Rani sudah yakin pasti akan dibombardir dengan berbagai macam pertanyaan dari Diah. Lebih baik segera masuk untuk menghindari harapan bundanya yang pasti akan terlampau tinggi. Rani yakin, Diah akan berpikir kalau antara dirinya dengan Indra terikat suatu hubungan. Melihat Rani yang cepat-cepat masuk dan terlihat menghindar, membuat Diah dengan sigap mengikuti. Rupanya dugaan Rani benar, sebentar lagi pasti akan dihujani dengan berbagai pertanyaan. “Itu pacar kamu, Ran? Kenapa Bunda nggak pernah dikasih tahu?” Rani langsung berhenti, dia menatap lekat mata bundanya. “Jangan ngarang, deh. Pria tadi cuma temanku, Bun,” ucap Rani langsung masuk ke kamarnya. “Tapi dia kelihatannya baik, ganteng, sopan, mapan juga, ya? Menantu idaman banget.” Diah malah mengikuti Rani ke kamar. “Bunda … please deh, dia itu pacarnya—” Ucapan Rani terpotong saat Herdi, sang ayah muncul seakan menengahi mereka. Hal itu membuat Rani tidak sempat mengatakan status hubungan Indra dan Dita. “Kalau mau berisik besok aja ya Bunda, Rani. Ini sudah malam,” ucap Herdi penuh wibawa. “Kalau begitu, sekarang Ayah sama Bunda tolong keluar dari kamar ini. Aku lelah, ngantuk sampai mandi pun rasanya malas,” pinta Rani. Akhirnya, Herdi dan Diah pun bergegas pergi dari kamar Rani. “Kapan-kapan kenalin ke Bunda, ya,” ucap Diah sambil berkedip manja pada Rani, kelihatannya sangat senang. Bagaimana tidak, selama ini Rani tidak pernah menunjukkan siapa kekasihnya. Padahal Diah ingin sekali dikenalkan. Sayangnya Rani selalu bilang belum berminat pacaran. Tentu saja Rani berkata jujur karena faktanya dia belum memiliki kekasih. Indra adalah kekasih sahabatnya sendiri dan itu perlu digarisbawahi. Sayangnya, lidahnya terasa kelu. Rasanya sulit sekali mengatakan kenyataannya pada sang Bunda. Setelah kedua orangtuanya keluar, Rani tidak lupa menutup dan mengunci pintunya. Meskipun tadi dia berkata mengantuk, fakta menyatakan sepertinya dia akan kesulitan tidur nyenyak malam ini. Pikirannya bersarang tentang Dita. Apakah sahabatnya itu marah padanya? Terlebih saat Indra menawarkan untuk bicara dengannya, Dita tidak merespons sama sekali. Ya Tuhan, Rani tak tahu harus bagaimana. Rani tidak tahu bahwa awal kekacauan besar baru saja dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN