14

1554 Kata
Setelah salat isya dan makan malam bersama dengan keluarganya Zahira berpamitan pada ibu dan abangnya untuk ke kamar karena dia ingin melanjutkan tulisannya tadi. Yap, hari ini Zahira mulai menulis kisah sederhana di ponselnya karena dia belum memiliki laptop. Dia tidak mengangkat kisah yang berat. Hanya kisah remaja santri putri yang bermimpi bisa bersanding dengan putra kyai yang memiliki derajat jauh lebih tinggi. Ini bukan kisah nyata, dia hanya terinspirasi dari teman-teman pondoknya yang tergila-gila pada Gus Faris yang sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir. Gus Faris memang memiliki segalanya yang diinginkan oleh para santri. Dia memiliki ilmu agama yang tinggi, calon imam yang baik untuk keluarga dan bonusnya dia memiliki wajah yang sangat rupawan. Dulu sebelum Gus Faris berangkat ke Mesir dia sering berbagi ilmu dan pengalaman kepadanya karena dirinya salah satu santri ndalem yang sering berinteraksi dengan keluarga kyai termasuk Faris. Zahira tak munafik, saat itu dia sangat bahagia bisa berinteraksi langsung dengan Faris yang sangat sulit ditemui oleh santri wati lain. Dia salah satu santri yang beruntung saat itu bahkan banyak sekali teman-teman pondoknya yang blak-blakan menunjukkan tampang iri. Tapi itu semua sudah menjadi masa lalu, Faris sudah berada di Mesir selama kurang lebih empat tahun dan beberapa kali pulang ke tanah air setelah itu kembali lagi kesana. Sedangkan dirinya sekarang sudah menjadi istri Arkan dan tak sepantasnya dia memikirkan pria lain. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsallam.” Zahira langsung meletakkan ponselnya dan menyambut Arkan yang baru saja datang. “Sudah siapin air hangat buat saya?” “Maaf Mas aku kira kamu tadi pulang ke rumah Mama. Sebentar ya aku siapin dulu kamu istirahat aja.” Zahira buru-buru ke dapur untuk menyiapkan air hangat untuk Arkan mandi karena sebelumnya dia tak mengira Arkan akan ke rumahnya lagi. “Ra, sayurnya hangatin sekalian buat suami kamu makan,” pesan sang ibu saat dia melewatinya di ruang tengah. “Iya Bu.” Zahira bisa melihat sorot kebahagiaan ibunya saat Arkan mau mengunjungi rumahnya bahkan ikut menginap. “Harusnya kamu siapin airnya dari tadi biar Arkan nggak nunggu lama.” Tenyata ibunya menyusul ke dapur dan membantu menghangatkan sayur dan menggoreng ayam yang sudah mereka bumbui sebelumnya. “Aku pikir tadi Mas Arkan pulang ke rumah Mama jadi aku santai-santai aja, Bu.” “Emangnya kamu nggak telfonan atau kirim pesan gitu?” “Mas Arkan itu sibuk mana sempat kita berkirim pesan.” Sumiati tertawa gemas. “Ibu bahagia banget lihat kamu akur sama suami kamu.” Zahira balas tersenyum. “Doakan rumah tanggaku dan Mas Arkan ya, Bu.” “Pasti nak, doa ibu selalu menyertai kalian.” “Oh iya Bu, Abang kapan pulangnya rencananya besok aku mau pulang ke rumah Mama tadi udah di telfon terus.” “Lusa mungkin, soalnya keluarga kita yang ada di kampung itu banyak Ra, nggak mungkin kan Abang kamu lewatin sebagian keluarga kita buat minta restu.” Kemarin malam Danan berangkat ke kapung halaman dimana semua keluarga mereka berkumpul untuk meminta restu karena bulan depan dia akan melamar pujaan hatinya dan segera melangsungkan pernikahaan saat sudah menemukan tanggal yang tepat. Sebenarnya Zahira ingin ikut tapi dia tidak tega meninggalkan ibunya sendirian apalagi kondisi kesehatannya juga sedang tidak baik-baik saja. “Aku pengen banget ke sana, Bu. Terakhir aku kesana waktu Ayah masih ada.” “Kapan-kapan kalau ada waktu kamu ajak suami kamu kesana kenalin ke semua keluarga kita yang ada disana.” Zahira tak berharap banyak pada Arkan karena kampung halamannya cukup jauh dan berada di daerah pegunungan dia pasti akan sangat tersiksa. “Airnya sudah panas, sebentar ya bu aku siapin ini dulu.” Sumiati mengangguk sambil membolak-balikkan ayam yang masih di penggorengan. ** Setelah makan malam Arkan duduk di teras rumah sambil memperhatikan lingkungan rumah Zahira yang masih cukup ramai anak-anak kecil serta beberapa orang dewasa yang berkumpul di pos ronda atau warung kelontong. Suasana yang sangat berbeda dengan lingkungannya. Biasanya sepulang kerja dia langsung mengurung diri di kamar atau keluar menuju tempat tongkrongan. “Ini kopinya, Mas.” Zahira meletakkan secangkir kopi s**u di atas meja dan ikut duduk di samping Arkan. “Setiap hari emang selalu ramai begini ya?” “Iya, sepi kalau lagi hujan aja.” Arkan menyeruput kopi buatan Zahira dan kembali memperhatikan keramaian yang diciptakan tetangga rumah istrinya. “Ra, minta tolong boleh?” “Apa Mas? insyaallah aku akan bantu.” “Bantu ngomong ke Mama Papa biar kita bisa cepat pindah ke rumah yang sudah aku siapkan.” Gara-gara masalah dia tidak pulang kemarin Papanya meragukan dia lagi untuk tinggal berdua bersama Zahira. “Rumahnya jauh nggak sama rumah Mama?” “Lumayan jauh kita bakal beda kompleks.” Arakan sengaja memilih rumah yang jauh agar orang tuanya tidak bisa mengontrolnya setiap saat dan yang terpenting dia bisa bebas saat ingin memadu kasih bersama Rosalia. “Yahh … nanti aku susah dong kalau mau main ke rumah Mama atau Ibu.” “Nanti bisa sama saya, wekend kita gantian nginep di rumah Mama atau Ibu.” “Yaudah besok aku bantu ngomong ke Papa dan Mama kalau kita pengen hidup mandiri.” Seketika Arkan mengeluarkan senyum yang sangat manis karena orang tuanya lebih mudah luluh pada Zahira daripada dirinya yang anak kandungnya sendiri. “Kalau nanti saya nggak pakai pembantu apa kamu keberatan?” “Insyaallah enggak Mas, aku masih sangat mampu menghandel urusan rumah dan melayani kamu.” “Bagus, saya mau semuanya kamu yang urus. Saya nggak mau cari pembantu bukan karena pelit tapi saya mau rumah kita beres dengan tangan kamu.” Zahira tak berfikir buruk soal Arkan yang tak mau menyewa pembantu. Dia malah merasa bahagia karena Arkan mempercayakan semua urusan rumah padanya. “Iya Mas, itu sudah menjadi kewajiban aku.” “Besok saya ajak kamu lihat-lihat rumahya semoga kamu suka dan betah.” Zahira mengangguk, dalam hati dia bersorak bahagia karena Arkan yang dingin dan kejam perlahan mulai menghangat dan memiliki banyk kejutan. “Mas, kemarin waktu aku beres-beres kamar lihat laptop lama kamu apa boleh aku pinjam?” “Buat apa?” “Buat nulis biar nggak bosen.” “Nulis apa sih?” Arkan masih belum paham maksud Zahira karena sehari-hari dia tidak berada di rumah jadi tidak tahu kegiatan Zahira saat dirumah. “Nulis cerita di aplikasi online.” “Loh kamu bisa?” Zahira mengangguk dan mulai menceritakan hobi yang dia bawa dari pondok dulu dan respon Arkan juga cukup baik saat dia akan mengembangkan hobinya. “Jangan pakai laptop bekas punya saya, besok kamu beli aja laptop yang baru sama beli buku-buku referensi menulis atau buku novel but bacaan biar kemampuan kamu makin terasah.” “Terimakasih banyak Mas Arkan.” “Tapi saya nggak bisa antar, besok saya suruh Pak Dani buat antar kamu.” Arkan terlihat sangat mendukung hobinya, dia berharap tulisan-tulisan yang dia ciptaka membawa keberkahan untuk dirinya dan keluarga kecil yang berusaha dia bangun. “Masuk yuk lama-lama dingin di luar.” Arkan masuk ke dalam terlebih dahulu sedangkan Zahira masih harus mematikan semua lampu yang tidak digunakan dan mengunci pintu serta jendela. “Kenapa sayang? ada masalah apa lagi sama fotografer kamu?” Dari balik pintu kamar Zahira bisa mendengar dengan jelas pembicaraan Arkan dengan kekasihnya alhasil dia yang sebelumnya ingin masuk ke kamar mengurungkan niatnya dan memilih menunggu di ruang tengah sambil menonton televisi daripada telinganya panas mendengar obrolan romantis antara Arkan dan Rosalia. “Rara kamu kok malah nonton tv ini sudah malam loh.” Zahira terkejut melihat kedatangan ibunya yang tiba-tiba. Dia mengambil remote tv dan menambah volume agar ibunya tidak mendengar Arkan sayang-sayangan dengan wanita lain. “Rara belum ngantuk, Bu terus bingung mau ngapain.” “Sekarang kan udah ada suami yang bisa diajak ngobrol atau bercanda ngapain bingung-bingung lagi.” Zahira meringis dan menggser tubuhnya agar sang ibu bisa ikut duduk. “Tadi kita udah ngobrol banyak di luar, Bu.” “Oh begitu, yaudah ibu temenin kamu nonton tv soalnya ibu juga nggak bisa tidur nih.” Zahira mengangguk dan mulai menyandarkan kepalanya di paha ibunya. “Ibu, tadi Mas Arkan bilang mau ajak Rara pindah rumah.” “Rumah siapa?” “Ya rumahnya Mas Arkan sendiri, bu.” “Wah bagus dong kalian bisa lebih dekat dan hidup mandiri.” Sumiati mengusap kepala putrinya yang masih tertutup hijab dengan penuh kasih sayang. “Tapi rumahnya beda kompleks dan agak jauh, Bu.” “Ya nggak apa-apa nanti kalau kamu nggak bisa main ke sini biar Ibu sama Abang kamu yang kesana sekalian jalan-jalan.” “Sehat terus ya, Bu. Kalau sakit jangan ditahan langsung bilang ke Abang atau Rara kita nalah sedih kalau ibu sakit tapi nggak bilang-bilang.” Suamiati hanya tersenyum pada putrinya karena dia tak mau menyusahkan anak-anaknya kalau dia terus-terusan sambat tentang penyakitnya. “Tadi ibu telfonan sama bu Maya sekalian pamitan.” “Pamitan? ibu bakal berhenti kerja?” “Iya Ra, fisik ibu juga sudah nggak sekuat dulu kalau bekerja jadi ibu putusin buat berhenti aja toh udah ada Bi Nur sama Bi Anik.” “Nggak apa-apa Bu, memang sudah waktunya Ibu istirahat. Kalau di rumah Mama aku juga gantiin kerjaan ibu kok.” “Bagus, jangan mentang-mentang udah jadi nyonya nggak mau injak dapur,” ucap Sumiti setengah bergurau. “Ya enggak lah, Bu. Rara masih ingat asal-usul Rara.” “Anak ibu memang idaman.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN