13

1455 Kata
Sampai tengah malam mereka berdua sama sekali tidak keluar kamar atau saling berbicara. Arkan sibuk dengan pikirannya sendiri sedangkan Zahira tetap meringkuk di atas ranjang sempitnya tanpa suara dan gerakan layaknya patung hidup. Tubuh Arkan sebenarnya sudah sangat lelah setelah seharian kerja dan menuruti kemauan Rosalia yang sedang ngambek, tapi apa daya kamar ini terlalu panas dan ranjang Zahira akan sangat sempit jika ditempati berdua sehingga dia hanya bisa duduk di kursi belajar milik Zahira yang terbuat dari bahan kayu. "Kamu tidur aja disini biar aku gelar tikar dibawah. Maaf kamarku memang sempit dan nggak ada AC." Arkan cukup kaget saat tiba-tiba mendengar suara Zahira setelah beberapa jam saling diam. "Enggak boleh, nggak ada yang tidur dibawah." Meski dulu saat malam pertama dia pernah menyuruh Zahira untuk tidur di lantai beralaskan karpet tapi untuk sekarang dia tidak akan tega melihat itu terjadi karena tikar yang Zahira miliki cukup tipis dan bisa membuat Zahira masuk angin seketika jika nekat tidur dibawah. "Emang kamu bisa tidur di ranjang yang sempit ini?" Arkn tidak menjawab karena dia tidak yakin bisa tidur nyenyak di atas ranjang sempit dan panas itu. "Enggak bisa kan?" Arkan berdecak dan berganti posisi menjadi duduk di atas ranjang kecil Zahira. "Ayo kita pulang aja." "Kamu aja yang pulang aku pengen nginep di rumah ibu." "Yaudah." Arkan menjatuhkan tubuhnya di samping Zahira. "Sempit banget aku tidur sama ibu aja deh." Kini giliran Zahira yang bangkit karena merasa tidak nyaman saat tidak ada jarak sedikitpun antara dirinya dan Arkan. "Kasian ibu kamu nanti kebangun kalau kamu pindah kesana. Udah tidur sini aja saya enggak apa-apa," ucapnya dengan ringan meski sebenarnya dia sangat berat berbagu ranjang yang sempit dengan Zahira. "Aku ambil kipas angin dulu biar kamu enggak kepanasan." Zahira turun dari ranjang untuj mengambil satu-satunya kipas angin yang ada di rumahnya. Saat Zahira keluar dan masuk kembali sambil membawa kips angin berdiri Arkan terus memperhatikan wajahnya yang masih menunjukkan aura kemarahan meski tak separah tadi. "Ra, saya lapar." Zahira yang awalnya membebarkan posisi kipas angin langsung mendongak. Dia juga baru ingat kalau Arkan belum sempat makan malam gara-gara pertengkaran tadi. "Ibu tadi masak sayur lodeh kamu mau?" "Beli di luar aja." Zahira sedikit berfikir karena sekarang sudah pukul satu pagi rasanya tidak pantas keluar rumah selarut ini. "Aku masakin aja ya." "Nggak mau, saya pengen makan di luar." Zahira menimang ajakan Arkan karena dia sendiri juga sedang lapar. "Udah lah ayo cari makan di luar aja nggak usah repot-repot masak." Akhirnya mau tak mau Zahira mengangguk. Toh dia juga keluar dengan suaminya sendiri jadi tidak ada masalah jika ada seseorang yang melihat dia keluar malam-malam. Arkan bangkit dari ranjang dan mengambil kunci mobilnya sedangkan Zahira merapikan jilbab yang dia gunakan dan mengoleskan sedikit lip balm pada bibirnya yang terlihat pucat. Malam ini kali pertama mereka keluar bersama setelah sekian mingg menjadi pasangan suami istri. Zahira yang duduk di samping Arkan terlihat kikuk dan berkali-kali menbenarkan posisi duduknya. Selama perjalanan mereka tak banyak mengobrol, hanya sesekali saja Arkan menanyakan tempat yang biasa buka sampai dua puluh empat jam. Akhirnya mereka sampi di depan rumah makan pinggir jalan yang buka dua puluh enpat jam di kawasan yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka. "Kamu pengen apa?" Tanya Arkan sambil menyodorkan buku menu pada Zahira yang duduk di sampingnya. "Aku nasi rendang aja sama s**u jahe." Arkan mengangguk dan mengembalikan buku menu yang dia ambil sambil menyampaikan pesanan mereka. Sambil menunggu pesanan mereka datang Arkan terlihat sibuk memainkan ponselnya dan bisa Zahira tebak pria itu sedang chatting mesra dengan pacarnya. "Mama tadi marah-marah ya?" Tanya Zahira membuka obrolan agar Arkan tidak sibuk sendiri. Arkan menatapnya beberapa saat dan menyimpan ponselnya di saku jaket kulit yang dia pakai. "Semua marah." Bisa Zahira tebak, mungkin kalau orang tua Arkan tidak marah pria itu tidak akan mungkin mau repot-repot menyusul ke rumah ibunya dan ikut menginap. "Maaf, Ra." Zahira melongo seketika mendengar permintaan maaf terluncur begitu saja dari mulut Arkan. "Aku yang harusnya minta maaf karena sudah egois dan childish." Zahira kembali menundukkan kepalanya sambil memainkan jari-jarinya. "Bagus deh kalau kamu sudah sadar. Jangan childish dan ikuti semua permainan saya." "Terus kalau misal aku nggak setuju sama sesuatu hal apa aku enggak boleh protes?" Pertanyaan itu muncul begitu saja saja Arkan mengatakan dia harus mengikuti semu permainan yang dia buat. "Enggak ada protes, kamu harus melakukan apapun yang saya perintahkan." Egois, bahkan Arkan lebih egois dan arogan melebihi dirinya. Bagaimana bisa Tuhan menyatukan dirinya dengan pria macam Arkan yang minim ilmu agama dan sangat jauh dari Tuhan? "Kalau kamu bisa menurut dan nggak banyak menuntut saya bisa lebih baik dari ini, Ra. Tapi kalau kamu banyak melawan dan tidak bisa diatur saya bisa lebih kejam dari biasanya." Zahira mendongak dan menatap Arkan yang memiliki wajah yang sangat teduh. "Apa kamu merasa keberatan menuruti semua peraturan yang saya beri?" Zahira tak menjawab dan tetap menatap Arkan. "Enggak jawab berarti iya, kamu setuju dengan semua peraturan yang saya beri." Zahira benar-benar seperti dihipnotis. Sedetikpun dua seperti tidak rela beralih dari wajah tampan suaminya. Sedangkan Arkan yang dipandang seperti itu lama-lama salah tingkah sendiri dan meminta Zahira lebih fokus saat dia mengajak ngobrol. "Besok kita kembali ke rumah Mama ya," ucap Arkan mengalihkan pembicaraan. "Kalau kamu nggak betah nggak apa-apa pulang duluan, nanti biar aku ngomong sama Mama." Arkan bedecak kesal karena dia akan tetao disalah-salahkan kalau tidak berhasil membawa Zahira pulang. "Mama nggak akan mempan kalau kamu nggak pulang bareng saya. Ayolah Ra pulang." "Sehari lagi aja, Mas. Ibu juga seneng banget waktu aku nginep dirumah." Arkan tak menjawab lagi karena pesanan mereka sudah datang dan siap untuk mengisi perut mereka yang sudah keroncongan. **** Siapa yang tak mengenal Rosalia. Model cantik berdarah Indonesia Belanda itu cukup terkenal di berbagai kalangan terutama perusahaan yang sudah menaungi Arkan selama bertahun-tahun. Wanita bertubuh sintal dan berkulit putih berjalan dengan anggun melewati koridor perusahaan dengan senyum manis yang tak pernah luntur menghiasi wajahnya yang sempurna. Beberapa pegawai yang bekerja satu lantai dengan Arkan menyapanya dengan ramah karena sudah bukan rahasia lagi kalau atasan mereka masih menjalin hubungan dengan model cantik ini. Tak perlu meminta izin siapapun untuk membuka pintu ruangan Arkan yang selalu tertutup, dengan santai Rosalia membuka pintu itu dan masuk untuk menemui kekasih hati yang sedang sibuk di meja kerjanya. "Lia kenapa kamu nggak bilang dulu kalau mau kesini?!" Wajah Arkan terlihat menegang karena dia takut Papanya melihat keberadaan Rosalia di kantornya. "Memangnya salah kalau aku mau berkunjung?" ucap Rosalia sambil melepas cardigan panjang yang menutupi tubuh indahnya. Sedangkan Arkan semakin panik saat Rosalia memamerkan tubuh indah itu di depan matanya. "Shittt!! pakai cardiganmu lagi kalau kamu nggak mau aku masukin disini." Arkan menahan gairahnya saat tubuh sintal itu hanya ditutupi kemeja ketat dan rok mini yang memiliki panjang beberapa senti dari pangkal paha. Bukannya menuruti perintah Arkan, Rosalia semakin menantang dan duduk dipangkuan Arkan sambil menggerayangi d**a bidang itu. "Kita sudah sangat lama tidak melakukan di ruangan ini." Mungkin kalau tidak mengingat kerjaannya masih cukup banyak Arkan sudah menyerang Rosalia sekarang juga. Tapi karena pekerjaan dan deadline yang menantinya Arkan memilih menahan mati-matian gairahnya dan berharap Rosalia segera pergi dari ruangannya. “Lia, setop!” Arkan menggenggam tangan Rosalia yang mulai melepas kancing kemejanya. “Kenapa sih!” “Ini dikator, nggak enak kalau karyawan yang lain lihat apalagi Papa ku.” “Bukannya ini sudah biasa aku mendatangi kamu dikantor?” Arkan mengacak rambutnya frustrasi karena Rosalia benar-benar sulit diajak kerja sama. “Status aku sudah beda, Lia. Semua orang tau kalau istri aku Zahira.” “Terus masalahnya apa toh mereka juga udah paham kalau kita masih menjalin hubungan. Aku nggak terima kalau cuma jadi simpanan kamu!” “Tetep aja nggak enak, terus bahaya juga kalau ada yang laporan ke Papa.” Rosalia turun dari atas pangkuan Arkan dengan wajah kesal. “Semenjak nikah kamu berbeda, nggak prioritasin aku sama sekali!” “Bukan begitu sayang, tapi aku lagi berusaha menata semuanya dari awal biar hubungan kita bisa berjalan lancar lagi.” “Tetap saja aku jadi simpanan yang nggak di prioritasin sama sekali.” Arkan bangkit dari kursi kebesarannya dan memeluk Rosalia dari belakang. “Kamu tetao nomor satu di hati aku sayang. Setelah aku dan Zahira pindah dari rumah Papa dan Mama kita akan bebas berkcencan kapan pin dan dimanapun toh Zahira tidak akan bisa melawan aku dia akan pasrah melihat kuta berdua.” Mendengar itu Rosalia langsung tersenyum kegirangan dan mulai membalikkan badan. “Serius? kamu nggak akan cuekin aku lagi kan?” “Makanya kamu yang sabar dong aku lagi berusaha ambil hati orang tua aku biar mereka ringan melepas aku hidup berdua dengan Zahira.” Rosalia memeluk tubuh kekasihnya erat dan tak sabar menanti hari itu terjadi karena dia benar-benar sudah rindu momen kebersamaan mereka berdua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN