Zahira memutuskan untuk menginap dirumah ibunya untuk beberapa hari karena selama menikah dia sama sekali belum pernah menginap dan hanya sesekali mengunjungi ibunya setelah itu langsung pulang.
Selain untuk menenangkan diri dia juga ingin menghindari Arkan untuk beberapa saat agar perasaan kesal dan benci setiap pria itu berlaku kasar dan tidak adil dapat terhapuskan dari dalam hati karena sejatinya seorang istri yang baik tidak boleh membenci atau mengutuk suaminya sendiri.
Selepas salat wajib ataupun salat malam Zahira tak henti-hentinya berdoa agar suaminya cepat mendapat hidayah dan menjadi sosok suami dan kepala rumah tangga yang baik untuk dirinya dan anak-anak mereka kelak. Zahira tak mungkin sanggup jika selamanya dia diperlakukan seperti ini. Dia juga punya hati yang bisa hancur kapan saja.
"Non Rara kok sampai bawa tas gini sih, nanti kalau dimarahin nyonya Maya gimana?"
Zahira menggeleng dan menyuruh Bi Nur tenang karena dia sudah meminta izin pada Papa dan juga Mama mertuanya meski tanpa menyebutkan alasan dia ingin pulang ke rumah ibunya.
"Benar ya Non udah izin sama nyonya?"
"Iya Bi, ayo ke rumah ibu keburu sore." Zahira naik ke atas motor matic yang akan Bi Nur kendarai menuju rumah ibunya.
Selama perjalanan Zahira hanya diam dengan m raut wajah tak bersenangat padahal Bi Nur berkali-kali berusaha mencari topik pembicaraan. Dia merasa sangat tertekan dan menginginkan kehidupannya sebelum menikah dan sibuk mengurus adik-adik di pondok pesantrennya.
Meski dia juga merasakan lelah tapi setidaknya senyum bahagia masih bisa terpancar diwajah cantiknya. Sekarang dia hanya bisa berandai-andai karena semua harapan dan cita-citanya patah setelah ibunya mengabarkan kalau dia akan dinikahkan dengan Arkana Malviano yang dulu sangat dia idolakan saat masih kecil.
Sungguh, sebenarnya dia tidak menyesal menikah dengan Arkan karena menikah juga bagian dari ibadah dan sunah rosul. Dia hanya menyayangkan situasi yang tak sesuai dengan harapannya dan angan-angannya selama ini.
Zahira menyadari bahwa umurnya masih cukup belia, tapi selama berada di pondok dia sering mengikuti kajian tentang pranikah yang rutin digelar untuk membekali para santri-santri senior agar kelak bisa menjalani rumah tangga sesui syariat islam. Ilmu yang dia dapat memang belum banyak tapi dia sudah memahami dan siap menjalani rumah tangga yang sehat.
"Non Rara kita sudah sampai."
Zahira langsung tersadar dan melihat rumah masa kecilnya yang sederhana. "Ayo Bi Nur masuk dulu."
"Bibi langsung pulang aja Non, soalnya belum masak buat makan malam."
"Serius Bi nggak pengen ketemu ibu dulu?"
"Bibi setiap hari sudah ketemu Bi Sum di pasar."
"Yasudah kalau begitu, makasih banyak ya Bi udah mau antar Rara."
"Iya Non Rara cantik, Bibi pulang dulu ya."
Zahira mengangguk dan menunggu Bi Nur samapai keluar dari pekarangan rumahnya yang cukup luas. Setelah Bi Nur sudah tidak terlihat lagi kakinya segera melangkah masuk ke dalam rumahnya yang terihat sangat sepi karena mungkin kakak lelakinya masih berada di warung makannya.
"Assalamu'alaikum Ibu, Rara pulang." Zahira masuknke dalam kamar dan meletakkan tas yang dia bawa setelah itu melihat ibunya di dapur. Dan benar saja ibunya sedang sibuk memasak sambil mendengarkan radio tua yang masih bisa di dengarkan dengan jelas.
"Assalamu'alaikum ibu." Zahira mengulangi salamnya tepat di belkang ibunya yang sedang memasak sayur lodeh kesukaan semua keluarganya.
"Wa'alaikumsallam. Eh anak ibu kok sudah sampai sini, kamu sama siapa?"
Zahira mencium punggung tangan sang ibu dan memeluk tubuh renta itu cukup lama.
"Rara kangen banget sama ibu."
"Kemarin baru ketemu masa udah kangen lagi?"
"Iya, Rara udah kangen berat pengen manja-manja sama ibu terus."
Wanita paruh baya itu melepas pelukan sang putri dan menangkup kedua pipi putrinya. "Rara ada masalah?"
Zahira yang semula bertatapan dengan sang ibu tiba-tiba mengalihkan pandangan saat pertanyaan itu muncul.
"Anak ibu kenapa lagi sih? ayo sini cerita sama ibu."
Zahira tersenyum tipis dan menggeleng. "Rara enggak apa-apa, ibu."
"Kamu tunggu di luar sebentar ibu beresin masakan ibi abis itu kita ngobrol bareng."
Zahira sempat menolak dan kekeh ingin menbantu pekerjaan sang ibu, tapi akhirnya dia menurut dan menunggu ibunya di ruang tengah. Tempat dimana biasanya mereka berkumpul dan bercengkrama saat malam.
"Kamu berantem sama suami kamu?"
Zahira menggeleng sambil memelintir kain gamis yang tengah dia gunakan dia tak mungkin mengatakan semua yang telah terjadi pada ibunya, meski rasa ingin jujur dengan situasi yang ada sangat tinggi.
"Sebelum kamu menikah ibu sudah bilang kan kalau kehidupan rumah tangga jauh lebih berat daripada kehidupan kamu dulu waktu masih single. Dalam biduk rumah tangga ada dua hati dan dua kepala yang harus berjalan beriringan, jika salah satu ada yang keluar jalur harus kembali disejajarkan lagi bagaimanapun caranya."
"Tapi kita sama-sama keluar jalur bu. Jujur aku belum bisa menjadi istri yang baik begitu pula dengab Mas Arkan, dia juga belum bisa menjadi imam yang baik buat aku." Nada sura Zahira terdengar emosional dan matanya kembali berkaca-kaca saat mengucapkan itu semua.
Sumiati langsung mendekap erat tubuh putrinya dan membiarkan putri kesayangannya menangis sepuasnya di dadanya. Sebagai seorang ibu sebenarnya dia belum rela Zahira menikah terlebih dahulu, tapi apa daya dia tak bisa menolak permintaan orang paling baik yang sudah menyelamatkan kelurganya dari kemiskinan dan kesengsaraan.
Walaupun hidup Zahira tidak akan kekurangan harta jika menikah dengan anak majikannya tapi dia meragukan kasih sayang dan kehangatan yang mereka beri untuk putri satu-satunya.
"Rara ingat cerita ibu waktu awal menikah dengan ayah? waktu itu umur ibu juga masih muda banget masih 18 tahun sedangkan ayah sudah 29 tahun. Setiap hari ibu juga merengek pengen pulang karena ibu merasa nggak bisa apa-apa dan nggak cinta sama ayah tapi pelan-pelan ibu mulai belajar dan menerima takdir yang diberikan pada ibu."
Zahira mendengarkan cerita sang ibu sambil memeluk erat tubuh renta itu.
"Belum ada satu tahun pernikahan ibu sama ayah sudah lengket karena kita sama-sama belajar dan saling melengkapi."
"Tapi kita berbeda kisah, bu. Ayah menerima ibu sedangkan Mas Arkan sama sekali tidak mengharapkan aku." Namun kata-kata itu hanya mampu terucap dalam hati.
"Ibu yakin Rara pasti bisa menjalankan ini semua. Ibu tau karakter suami kamu dia cenderung cuek dan acuh, tapi di sisi lain hatinya dia adalah orang yang lembut dan penyayang."
Zahira nengangguk dan menarik tubuhnya dari pelukan sang ibu. "Makasih ya, Bu."
"Makasih buat apa? perasaan ibu enggak melakukan sesuatu buat kamu."
"Makasih buat motivasinya."
"Iya nak, ibu ikut sedih kalau kamu sedih begini."
"Setelah ini enggak lagi, Rara akan belajar banyak dari pengalaman ibu yang dulu juga dijodohin sama ayah yang sudah om-om." Gurau Zahira sambil tertawa.
"Jaman dulu musimnya jodoh-jodohan." Keduanya lalu tertawa bersama dan sama-sama menghibur diri atas apa yang sudah mereka alami.
****
Setelah Zahira salat isya ibunya terdengar memanggil namanya beberapa kali, dengan cepat dia memakai kembali jilbab instan yang berwarna senada dengab gamisnya dan berjalan keluar kamar.
Ternyata di ruang tengah rumahnya sudah ada Arkan dengan wajah ekspresi dan tatapan tajam yang ditujukan padanya.
"Kamu tadi nggak pamit sama suami kamu ya?" Tegur ibunya membuat Zahira kebingungan.
"Aku sudah izin Mama."
"Nggak boleh diulangi lagi, kemanapun kamu pergi kalau suami kamu belum kasih izin nggak boleh pergi gitu aja."
"Maaf," ucap Zahira sambil menunduk.
"Ibu, aku minta izin mau ngobrol sama Rara sebentar." Arkan bangkit dari duduknya dan menarik tangan Zahira kembali masuk kedalam kamar. Dia menutup pintu rapat dan menghempskan tangan Zahira dengan sangat kasar.
"Apa-apaan sih kamu mainnya kabur-kaburan. Mau cari pembelaan, iya?!"
Zahira tetap menunduk dan tak mengeluarkan suara dan ekspresi apapun.
Arkan mengusap wajahnya kasar dan menatap Zahira dengan tatapan berapi-api. "Mau kamu apa sih Ra, di ajak ngobrol baik-baik nggak bisa diksarin dikit kabur! tolong hilangin sifat childish kamu kalau nggak pengen nyusahin semua orang."
"Lihat ibu kamu, apa kamu nggak aksihan lihat beliau terus-terusan kepikiran padahal kondisinya sedang tidak sehat? saya menyuruh kamu berbohong untuk kebaikan bersama, Ibu kamu dan Mama saya mereka berdua sama-sama sedang tidak baik-baik saja saya nggak mau karena terlalu memikirkan kita kondisi mereka semakin drop!"
Ya, Maya memiliki riwayat penyakit jantung dan sering keluar masuk rumah sakit karena penyakitnya. Salah satu alasan Arkan mau menerima perjodohan dengan Zahira agar kondisi Mamanya bisa lebih stabil dan cepat sehat karena keinginannya dituruti oleh putra tunggalnya.
"Kalau sampai terjadi sesuatu hal yang buruk pada Mama atau Ibu itu semua salah kamu karena telah egois!"
"Cukup, Mas!!" Zahira menjerit dan menutup kedua telinganya yang sudah panas mendengar omelan Arkan yang terus menyudutkannya.
"Nggak usah lebay! kasian Ibu kalau sampai dengar suara kamu."
Zahira membalikkan badan dan duduk di atas ranjang sambil menangis. Meski seakan-akan menyudutkannya tapi ada kata-kata Arkan yang benar terutama tentang kesehatan Ibu dan Mama mertuanya.
"Kamu nggak usah mikirin hubungan saya sama Rosalia yang terpenting saat dirumah saya jadi suami yang baik buat kamu."
"Aku pengen sendiri dulu, Mas Arkan pulang aja."
"Saya ikut menginap disini. Apa kata Ibu dan Kakak kamu kalau saya meninggalkan kamu."
Zahira tak menjawab dan memilih merebahkan tubuhnya diatas ranjang. Dia tidak peduli dengan Arkan ingin menetap atau pulang karena kamarnya sangat sempit bahkan besarnya tidak ada seperempat kamarnya.