11

2495 Kata
Langkah Zahira menuju dapur terhenti saat Maya memanggil dari ambang pintu kamarnya. Dengan sopan Zahira tersenyum dan menghampirinya. "Iya Ma, ada apa?" Tanya Zahira bingung. Bukannya menjawab Maya malah memeluk tubuhnya cukup erat dan menangis sesenggukan. "Mama kenapa?" Zahira mulai panik karena Maya yang biasa dia lihat selalu bersemangat saat ini terlihat terluka dan menangis tak karuan di pelukannya. "Maafin Mama ya, nak. Kami sudah gagal mendidik Arkan menjadi lelaki dan suami yang baik buat kamu." Zahira tak menjawab karena masih ada rasa sakit yang tersisa di dalam hatinya karena perbuatan Arkan dan kekasihnya. "Ra, tolong maafin Mama ya." Maya mencengkeram lembut kedua bahu Zahira dan menatapnya dengan sendu. Setelah beberapa detik Zahira menarik dua sudut bibirnya membentuk senyum yang cantik. "Enggak Ma, Mama sama Papa enggak salah." "Kamu pasti sangat tersiksa, Ra." Zahira tidak menggeleng atau mengangguk. Dia hanya tersenyum dan mengusap sisa air mata Maya yang menggenang di kedua pipinya. Kalau dia boleh jujur sebenarnya dia sudah sangat tersiksa dari awal pernikahan. Namun, sebagai seorang istri dia harus menghadapi ini semua dan belajar untuk terus bersabar dan berharap semua akan cepat berlalu dan rumah tangganya bisa berjalan dengan semestinya. "Mama akan bicara sama Arkan. Kamu tenang aja Ra, selamanya Arkan akan tetap jadi milik kamu." "Aku ke dapur dulu mau masak buat sarapan." Lebih baik Zahira mencoba menghindar dulu dari pembicaraan tentang hal ini untuk sementara waktu sampai hatinya merasa lebih tenang dan menghadapi masalah ini dengan sikap yang lebih dewasa. Saat di dapur bi Nur banyak bercerita tentang sosok Arkan karena dia yang memancing agar Bi Nur mau bercerita tentang sisi lain suaminya yang tidak dia ketahui. Meski dulunya dia tidak terlalu dekat dengan bi Nur tapi dia adalah sosok yang sangat baik dan memiliki watak yang hampir sama dengan ibunya. "Den Arkan itu orangnya nggak seperti yang kamu lihat sekarang ini Non, dia itu aslinya baik dan nggak tegaan banget apalagi sama nyonya." "Tapi sama saya enggak, bi. Dari aku kecil sampai sekarang aku udah jadi istrinya Mas Arkan tetap nggak suka sama aku." "Non Rara jangan ngomong gitu ah, masa suaminya nggak suka sama istrinya itu nggak mungkin." Zahira tersenyum tipis sambil memotong wortel yang akan dia jadikan sop. "Jangan bilang siapa-siapa ya Bi, soal pembicaraan kita hari ini." Bi Nur mengusap punggung Zahira sangat lembut dan berusaha memberinya semangat lewat sentuhan. "Aku nggak tau pengen curhat sama siapa lagi selain sama Alloh dan kadang aku bingung, bi." "Kamu boleh ceritakan apa aja sama bibi, anggap bibi ini ibu kamu juga." "Makasih bi Nur." Zahira memeluk tubuh wanita yang lebih muda daripada ibunya itu "Kamu wanita yang salehah, cantik, pintar masak, dan pintar mengaji semua kebaikan ada di kamu pasti suatu saat pintu hati Den Arkan akan terbuka untuk kamu." "Pacar Mas Arkan lebih cantik, Bi. Aku mah enggak ada apa-apanya." "Percuma cantik kalau tidak menutup aurat." Keduanya lalu tertawa kecil dan suasana kembali mencair setelah beberapa saat melow. Zahira berdecak kesal saat semua sudah berkumpul di meja makan tapi Arkan belum juga menampakkan batang hidungnya padahal biasanya paling siang Arkan keluar kamar pukul 7 pagi. "Mama panggil Arkan dulu ya." Zahira langsung menahan tangan Maya yang duduk di sampingnya. Dia tau maksud Mamanya baik, tapi sekesalnya dia dengan Arkan tak mungkin membiarkan Mamanya berjalan sendiri memanggil suaminya sedangkan dia tidak ada pekerjaan lain. "Biar aku aja, Ma, mungkin Mas Arkan butuh bantuan ku." "Tapi, Ra ...." Zahira menggeleng dan tetap berjalan menuju kamarnya dengan Arkan meski dengan berat hati. "Mas?" Zahira melihat Arkan sudah rapi dengan setelan kerjanya dan bersantai-santai di atas ranjang sambil melamun sehingga Zahira harus memanggilnya beberapa kali sampai Arkan tersadar dari lamunannya. Arkan hanya menoleh dan menggumam menanggapi panggilan Zahira. "Semua sudah menunggu, ayo sarapan dulu." "Saya pengen bicara berdua sama kamu, bawa sarapan kita kesini." "Tapi kan ...." "Jangan membantah, cepat bawa sarapan kita kesini!" Zahira mengangguk pelan dan keluar kamar dengan perasaan dongkol karena ulah suaminya sendiri. "Arkan mana?" "Mas Arkan pengen sarapan dikamar, Ma." "Yasudah nggak apa-apa mungkin kalian butuh waktu berdua dan membicarakan masalah kalian." Zahira rasa juga begitu, dia dan Arkan butuh berbicara empat mata agar hubungan ini tidak semakin rumit. Setelah mengambilkan menu sarapan lengkap untuk dirinya dan Arkan, dia kembali melangkah menuju kamar. Keduanya sarapan dengan hening, hanya terdengar bunyi dentingan sendok dan piring yang saling beradu. "Masakan kamu enak." "Hah?" Zahira refleks mendongak saat mendengar pujian yang tiba-tiba Arkan lontarkan. "Besok masakin bekal buat saya." Zahira mengangguk dan diam-diam menyembunyikan senyum bahagia ketika Arkan yang biasanya cuek tiba-tiba memuji masakannya secara gamblang dan memintanya menyiapkan bekal untuk dia. "Untuk hari ini aku bisa kok siapin bekal, aku masak banyak." "Besok aja." Zahira menurut dan membereskan sisa sarapan mereka. "Biar disitu dulu, aku mau ngobrol sebentar." Zahira hanya menunpuk piring dan menyingkirkan beberapa barang yang membuat meja penuh dan kembali duduk di samping Arkan. "Maaf Ra, aku kemarin nggak bermaksud mempertemukan kamu sama Rosalia." Wajah Zahira yang semula memperhatikan Arkan langsung menunduk seketika saat mendengar nama Rosalia. Hatinya masih sangat sakit saat mendengar hinaan yang wanita itu lontarkan padanya. "Lia memang begitu orangnya, dia gampang emosi dan nggak pernah memikirkan perasaan seseorang." "Aku maafin, nggak usah diperpanjang lagi karena aku sudah paham gimana perasaan pacar Mas Arkan pasti marah banget karena pacarnya aku rebut." Zahira langsung berdiri begitu saja dan bersiap untuk pergi karena pembicaraan tentang Rosalia sangat mengganggu hati dan pikirannya untuk saat ini. "Ra, tunggu dulu!" Arkan menarik tangan Zahira sampai dia terduduk kembali di sampingnya. "Aku belum selesai bicara, jangan pergi gitu aja!" Zahira sedikit terkejut saat suara Arkan mulai meninggi dan buru-buru meminta maaf sebelum pria itu semakin murka. "Maaf Mas, aku nggak bermaksud sepelein masalah ini tapi aku sudah nggak pengen bahas lagi." "Aku ngerti sebenarnya kamu kecewa tapi dari awal kamu kan sudah tau kalau aku punya wanita lain." "Iya aku paham dan nggak seharusnya aku punya perasaan marah atau kecewa." Zahira terus meyakinkan dirinya agar tidak mengeluarkan ekspresi sedih atau air matanya lagi. Dia harus tetap terlihat baik-baik saja dan tegar menghadapi ujian ini. Arkan memalingkan wajahnya dari Zahira dan berkata lirih, "sikap kamu membuat aku semakin merasa bersalah." "Kamu nggak perlu merasa bersalah bukannya selama ini kamu nggak pernah menganggap aku ada?" Zahira yang biasanya hanya bisa diam kali ini mulai berani menyuarakan isi hatinya karena efek kekesalannya pada Arkan. "Memang susah ngobrol dengan anak kecil!" Arkan beranjak begitu saja meninggalkan Zahira keluar kamar sambil menenteng tas kerjanya. Air mata yang Zahira tahan-tahan sejak tadi akhirnya tumpah juga. Dia menangis kembali setelah semalaman air matanya dikuras habis. **** Di sisi lain Arkan mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan dijalan raya sambil sesekali membunyikan klakson saat ada pengendara lain yang mengganggu perjalanannya. Dia merasa sangat emosi pada Zahira karena niat baiknya dihempas begitu saja oleh-nya. Bahkan sepanjang perjalanan dia tak henti-hentinya menyumpah saking kesalnya. Niat awalnya adalah memperbaiki hubungannya dulu dengan Zahira karena bagaimanapun keadaannya status dia sekarang adalah istrinya dan kedua orang tuanya tidak akan diam saja melihat perlakuannya pada menantu kesayangannya. Tapi nyatanya hari ini Zahira tak sesuai dengan ekspetasinya, dia membuatnya emosi dan mengakhiri niat baiknya. Sedangkan Rosalia yang pagi tadi dia tinggal begitu saja dari tadi tak henti-hentinya menelfon dan mengirim pesan tapi hanya dia abaikan saja untuk saat ini karena wanita itu tidak akan puas dengan kata maaf. Arkan menghela nafas kasar, ternyata memiliki dua wanita dalam hidup tidak lah mudah dia harus pontang-panting memikirkan ini dan itu. Sesampinya di kantor dia langsung mengunci diri di dalam ruangannya dan berusaha mengalihkan semua pikirannya dengan bekerja sangat keras. Dia tidak peduli kalau setelah ini Rosalia akan marah besar karena di acuhkan begitu saja yang terpenting sekarang semua pekerjaannya selesai sesuai jadwal agar Papanya tidak mencak-mencak saat akhir bulan tiba. * Pukul tiga Arkan baru keluar dari ruang kerjanya karena perutnya sangat lapar. Seluruh pekerjaannya juga sudah rampung jadi dia bisa bebas pergi kemana saja setelah ini. "Heyoo bro! ngapain bengong disini?" Arkan tersentak dan langsung menoleh pada pria yang menepuk pundaknya cukup keras. "Lagi nyari temen makan, lo sibuk nggak?" "Sorry bro gue lagi banyak kerjaan nih." Pria bernama Anjas itu menolak dengan sopan ajakan atasan sekaligus sahabatnya itu. "Yaelah sok rajin banget, yuk makan di resto depan gue bayarin." "Kenapa nggak pulang aja sih? istri lo nggak masak atau nggak bisa masak karena masih bocil?" Mendengar candaan yang berlebihan terlontar dari Anjas membuat Arkan langsung memanfangnya sinis. "Santai bro gue cuma canda. Istri lo kelihatannya rajin terus ramah dan salehah, lo beruntung banget. Kalau lo udah bosen lempar ke gue aja." Setelah mengatakan itu Anjas langsung berlari pergi karena tatapan Arkan semakin tidak enak. "Sialan!" Arkan mengumpat pelan dan kembali masuk ke dalam ruangannya untuk mengambil tas dan beberapa barangnya dan pergi dari kantor. Hari ini dia memutuskan pulang lebih awal dan makan di rumah karena masakan Zahira benar-benar membuat dia ketagihan. Sampai akhirnya dia sampai di rumah dan melihat Zahira tengah sibuk sendiri bersih-bersih rumah padahal sudah ada dua pembantu yang siap membantu membersihkan rumah sampai kinclong. Tapi wanita 20 tahun itu memilih bersusah payah membersihkan rumah sendirian. Tanpa peduli melihat Zahira yang sedang kelelahan Arkan tetap meminta Zahira memasak makanan untuknya dengan cepat karena dia sudah kelaparan. "Mas, tunggu dulu!" Zahira berjalan cepat menyusul Arkan yang sudah berjalan menjauh darinya. "Apa lagi sih, Ra? apa kurang jelas permintaan saya tadi?" "Bukan itu mas, tapi kamu mau dimasakin apa?" "Apa aja aku makan!" Arkan langsung membalikkan badan dan kembali menjauhi Zahira yang masih memasang ekspresi kebingungan karena dia belum tau ingin memasak apa untuk suaminya. Setelah bengong beberapa saat, dia melangkah gontai menuju dapur dan mulai mewawancarai bi Nur yang lebih mengerti masakan apa saja yang Arkan suka agar dia mendapat pencerahan. "Mas Arkan suka masakan yang pedas, terus masakan yang full bumbu rempah-rempah gitu dia suka banget." Zahira sangat menyimak penjelasan Bi Nur dari awal sampai akhir sambil berfikir kira-kira masakan apa yang pas untuk Arkan hari ini. "Emm ... kiraa-kira masak apa ya bi, aku takut nanti Mas Arkan nggak suka kalau aku asal masak." "Mas Arkan bukan orang yang ribet soal makanan, Non, pasti apapun yang kamu masak dimakan sama Mas Arkan ." Zahira berjalan membuka kulkas sambil mengamati persediaan bahan-bahan masakan yang ada. "Biasanya kamu lihay banget mengolah bahan masakan yang ada, kenapa hari ini kamu heboh dan bingung sendiri?" Ledek Bi Nur. "Kali ini beda, Bi, Mas Arkan sendiri yang minta dimaskin." "ciee udah baikan nih ceritanya?" Sambil memegang gagang pintu kulkas, Zahira menoleh ke arah Bi Nur yang tengah senyum-senyum. "Belum baikan, tadi masih sinis." "Bukannya setiap hari kamu selalu dikasih tatapan sinis?" Zahira semakin cemberut karena ledekan Bi Nur semakin menjadi-jadi. "Udah ah bi aku mau masak ayam suwir pedas aja nanti ditambah kerupuk udang pasti mantap banget." "Yasudah semangat non Rara semoga setelah makan masakan non Rara, Mas Arkan auto klepek-klepek." Zahira tersenyum lebar menanggapi guyonan bi Nur dan mulai mengambil daging ayam dari dalam freezer beserta bumbu-bumbu yang akan dia gunakan. Kali ini dia tidak boleh asal-asalan apalagi sampai membuat Arkan kecewa dengan hasil masakannya. Sambil meracik bumbu dan membolak-balikkan ayam di penggorengan Zahira menyempatkan bersenandung kecil agar dia semakin semangat dan masakannya cepat selesai. Tak butuh banyak waktu, dua puluh menit kemudian hidangan sederhana namun lezat sudah siap di meja makan dengan rapi. Zahira hanya perlu memanggil Arkn yang ada di kamar dan memintanya untuk segera ke meja makan. Namun, saat dia membuka pintu kamar indra pendengarannya menangkap Arkan tengah berdebat di telfon dengan orang yang tak lain dan tak bukan adalah kekasihnya, Rosalia yang paling Arkan sayang. Melihat Zahira mematung di ambang pintu, Arkan memberikan isyarat dengan tangannya agar dia menunggu terlebih dahulu sampai dia selesai berbicara dengan kekasihnya. Selama Zahira menunggu di ambang pintu seperti orang bodoh, Zahira melihat banyak perbedaan saat Arkan sedang kesal dengan dirinya dan Rosalia. Saat ini Arkan terlihat lebih bisa mengontrol emosinya dan sangat menjaga ucapannya meski dia juga tengah emosi. Berbeda jika sedang bersamanya, Arkan sama sekali tidak menunjukkan keramahan atau senyum yang tulus. Dia selalu sinis dan kasar. "Sudah selesai masaknya?" Zahira langsung tersadar dan mengangguk cepat saat Arkan sudah berada di hadapannya. "Sudah aku siapkan di meja makan." Arkan mengangguk kecil dan menunggu Zahira memberikan jalan karena dia berdiri tepat di tengah-tengah pintu kamar. "Eh, maaf Mas." Zahira buru-buru menyingkir agar Arkan bisa berjalan keluar kamar. "Mau kemana kamu?" Tegur Arkan saat Zahira malah berjalan masuk ke dalam kamar. "Mau mandi dulu." "Nanti aja, temani saya makan dulu nggak enak kalau makan sendirian." Mau tak mau Zahira ikut berjaln di belakang Arkan padahal badannya sudah terasa sangat lengket karena seharian dia menyibukkan diri beberes rumah. Melihat Arkan sangat lahap menyantap masakan sederhana yang dia buat, Zahira merasa sangat bahagia dan berbunga-bunga sampai tatapannya tak beralih sedikitpun dari Arkan. "Kamu nggak ikut makan?" tanya Arkan. "Aku sudah makan." "Yasudah aku habiskan." "Enak Mas?" "Ya, seperti masakan bi Sumi." Zahira semakin tersipu dan terus menunjukkan senyum bahagianya. "Setelah ini aku mau ke tempat Lia, kalau Mama tanya bilang aja aku lagi ke ada acara sama temanku." Senyum ceria itu langsung luntur seketika, lagi-lagi Arkan menyuruhnya untuk berbohong dan menutupi semua kesalahannya. "Apa nggak cukup semalam nginep disana? aku istri kamu Mas, seharusnya kamu punya lebih banyaj waktu sama aku." Arkan menghentikan makannya dan menatap Zahira dengan tatapan yang dingin. "Tapi kamu bukan orang yang saya inginkan. Buat apa saya menghabiskan banyak waktu sama kamu kalau saya enggak merasakan kebahagiaan?" Rasanya seperti di tusuk ribuan pisau, sakit sekali sampai dia tak mampu lagi membalas perkataan itu. "Kalau maunya Mas Arkan begitu jangan suruh aku berbohong lagi." Arkan menggebrak permukaan meja cukup keras sampai membuat Zahira tersentak. "Seorang istri harus mengikuti perintah suaminya, nggak boleh membantah! kamu mau menjadi istri yang durhaka?!" Air mata Zahira meleleh lagi, perlakuan Arkan bernar-benar sudah keterlaluan. Bagaimana bisa dia mengikuti jalan sesat yang Arkan ciptakan. Kedua mertuanya sama dengan kedua orang tua kandungnya, sangat berdosa jika dia terus menerus berkata bohong dan menyakiti hatinya. Tanpa berkata apa-apa lagi Arkan langusng pergi meninggalkan meja makan dengn wajah yang kesal. "Ya Alloh berikan hamba kekuatan dan kesabaran dan menghadapi suami hamba," doanya sangat pelan dan diiringi isak tangis. Arkan benar-benar tak bisa ditebak. Terkadang dia telihat baik tapi setelah itu dia akan berubah menjadi seorang suami yang buruk dan selalu menyakiti hatinya. Belum genap satu bulan menikah dia sudah sangat tetekan luar dan dalam bagaimana nasibnya nanti kalau dia terus-terusan diperlakukan secara tidak baik seperti ini. "Non Rara yang sabar, ayo bibi antar ke kamar." Bi Nur mengusap bahu Zahira dan berusaha memberikan ketenangan seperti halnya seorang ibu yang melihat anaknya menangis. "Bi Nur bisa naik motor kan?" tanya Zahira dengan suara bergetar. "Bisa, kamu mau diantar kemana?" "Tolong antar Rara ke rumah ibu, Rara pengen kesana." Meski rumahnya tidak semewah rumah ini tapi disana dia bisa mendapat berkali-kali lipat kenyamanan dan ketenangan. “Yuk Bibi antar tapi kamu mandi dulu gih biar tambah cantik biar Bi Sum nggak sedih lihat anaknya kucel.” Zahira tersenyum tipis dan mengusap sisa air matanya. “Tolong diberesin ya bi, aku mau mandi dulu.” “Iya Nona cantik.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN