Sepanjang malam Arkan tak kunjung bisa tidur dengan nyenyak karena Zahira terus-terusan muncul di dalam mimpinya. Arkan mengumpat pelan dan duduk sambil memijat pangkal hidungnya. Tak biasanya dia terus-terusan memimpikan orang yang sama dalam semalam apa lagi orang itu adalah Zahira wanita yang memaksa masuk kedalam kehidupannya.
"Kenapa harus kamu orangnya Ra? kamu itu orang baik." Dalam lubuk hati terdalam, sebenarnya ada rasa tidak tega saat dia melakukan hal yang buruk pada Zahira yang hanya berperan sebagai korban dari nazar yang pernah orangtuanya janjikan waktu itu. Tapi saat berdekatan dengan Zahira perasaan dan pikirannya selalu saja tidak singkron dan berujung berbuat hal-hal yang buruk pada gadis itu.
"Sayang ...."
Lamunan Arkan langsung buyar saat kedua tangan Rosalia melingkar di lehernya. "Kok ikut bangun sih?" Tanyanya dengan suara lembut.
"Pengen pipis, sebentar ya." Rosalia segera turun dari atas ranjang dan berlari kecil menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar. Beberapa saat kemudian Rosalia keluar dari dalam toilet dan kembali duduk disamping Arkan yang sedang berusaha menjaga senyumnya untuk Rosalia agar dia tidak berfikir macam-macam.
"Kamu belum tudur?" Tanya Rosalia sambil menyandarkan kepalanya di atas dadaa bidang Arkan.
“Kebangun tadi.”
“Ayo bobok lagi besok katanya ada pertemuan ke luar kota.”
“Kayaknya aku harus pulang, dari semalam Mama telfon aku terus.” Kali ini Arkan berkata jujur karena saat dia membuka ponselnya ada puluhan notifikasi panggilan tak terjawab dari Mamanya.
“Pasti istri kamu yang bodoh itu sengaja nggak bilang ke tante Maya kalau kamu lagi ada urusan di luar kota!”
Bisa jadi yang Rosalia ucapkan benar, Zahira tidak melakukan apa yang sudah dia perintahkan tadi.
“Kamu harus kasih dia pelajaran biar nggak berani lawan ucapan kamu. Kalau sampi dia mulai berani kita nggak akan bisa seperti ini karena di belakang dia ada Mama dan Papa kamu.”
“Itu tidak akan pernah terjadi, sayang. Zahira tidak seberani itu, dia hanya gadis kemarin sore yang tidak tahu apa-apa.”
Rosalia menarik tubuhnya dari atas dadaa Arkan yang nyaman dan menatapnya sinis. “Pokoknya kamu harus kasih dia pelajaran, kamu harus marahin dia karena nggak bilang ke Mama kamu!!”
“Iya nanti aku bilangin dia biar lebih amanah lagi.”
“Marahin, bentak-bentak dia kalau perlu!!”
Arkan berdecak terkadang dia sangat bingung menghadapi Rosalia yang suka plin-plan dan apapun kemauannya harus segera dituruti detik itu juga.
“Kemarin kamu yang meminta aku buat pura-pura baik sama Zahira, sekarang kenapa kamu minta aku kasar lagi ke dia?” Arakan yang mulai kehilangan kesabarannya balik membentak Rosalia dengan suara yang tak kalah tinggi.
“Itu kemarin, sekarang aku minta kamu buat kasih pelajaran istri kamu dan jangan dikasih ampun!”
Arkan tidak menjawab, dia memilih turun dari atas ranjang dan memakai celana panjang serta kemeja yang tadi dia pakai dan bersiap pergi dari kamar kekasihnya untuk menghindari keributan yang lebih besar lagi dengan Rosalia.
“Oh jadi gini sekarang mentang-mentang sudah punya wanita lain di rumah bisa ninggalin aku seenaknya!” Rosalia berkata sinis melihat Arkan yang sudah bersiap pergi.
“Aku nggak mau ribut sama kamu atau sama Mama.”
“Alasan, bilang aja kamu sudah jatuh cinta sama anak pembantu itu!”
Arkan tidak menjawab dan mengecup kening Rosalia sekilas lalu pergi tanpa kata-kata meninggalkan Rosalia yang terus memaki Zahira dengan bahasa kasar.
****
Pukul setengah empat pagi Arkan sampai di rumahnya dengan pakaian yang sedikit lusuh dan wajah yang tak bersemangat. Sialnya saat dia akan masuk ke rumah pintu utama di kunci rapat dan ponsel Zahira tidak bisa dihubungi. Akhirnya mau tak mau dia harus memencet bel rumah beberapa kali dan Papanya lah yang kebetulan bangun dan membukakan pintu untuknya dengan wajah yang tidak bersahat.
“Ternyata kamu nggak berubah!” ucapnya dengan nada dingin.
Arkan memilih tidak menjawab karena sebanyak apapun alasannya, ayahnya tidak akan pernah mau mendengar.
“Berhenti sebentar Papa mau bicara.”
Arkan membalikkan badan dan duduk di salah satu sofa ruang tamu untuk menerima ceramah dari sang Papa.
“Sudah berapa kali Papa bilang, putuskan hubungan kamu dengan wanita itu!”
“Berkali-kali juga aku sudah bilang kalau aku nggak akan bisa lepas dari Lia!” Arkan tak mau kalah dengan sang Papa, mulutnya dengan ringan melawan ucapan pria paruh baya itu sampai membuat keduanya saling berpandangan sengit.
“Kamu sudah menikah, di dalam kamar kamu sekarang ada istri kamu yang semalaman nunggu kepulangan kamu. Tolong lah lihat ketulusan dia buat kamu.”
“Menikahi Zahira bukan kemauan aku, tapi kemauan Papa dan Mama. Jadi jangan salahkan aku kalau aku nggak pernah peduli sama dia.”
Ardi mengusap wajahnya kasar dan menatap putra tunggalnya dengan tatapan lelah. Dari dulu putranya sangat sulit menuruti kemauannya, dia selalu bertindak semaunya sendiri.
“Tanpa nazar Papa mungkin kamu nggak akan bisa seperti ini dan usaha kita mungkin tinggal kenangan saja,” Ardi berkata sangat pelan saking lelahnya. Dia kira setelah Arkan mau menikah dengan Zahira putranya akan berubah dan mengikuti jalur yang dia buat. Tapi ternyata tidak. Dia tetap berada di jalur yang berbeda karena pengaruh besar yang diberikan oleh Rosalia, wanita yang tidak memiliki asal-usul yang baik dan juga sering tersandung kasus penipuan.
“Papa bilang kita seperti ini karena nazar Papa?” Arkan tertawa cukup keras karena selama ini dia tidak pernah percaya dengan nazar yang pernah Papanya ucapkan. Saat itu dia mau menerima menikah dengan Zahira karena Mamanya yang terus-terusan keluar masuk rumah sakit dan juga ancaman besar dari Papanya.
“Kita bisa seperti ini karena usaha dan doa kita bertiga bukan karena nazar yang pernah Papa ucapkan!!”
“Berhenti berbicara seperti itu, Arkan. Bagaimapun juga nazar tetaplah nazar yang harus dilaksanakan.”
“Sekarang nazar itu sudah kita laksanakan, jadi tolong jangan halangi aku bersama Rosalia lagi.”
“Apa kamu tega melihat Zahira tersakiti karena ulah kamu?”
Arkan langsung diam tak bersuara, dia tau Zahira akan jadi tokoh paling tersakiti disini tapi itu semua tidak akan terjadi jika orang tuanya tidak memaksa dia menikahi gadis se-lugu dia.
“Aku tidak peduli toh ini kemauan Papa dan Mama.”
Ardi mengepalkan tangan kuat mendengar perlawanan putranya. “Jangan keras kepala kalau kamu tidak mau menanggung akibatnya!” Setelah itu Ardia beranjak pergi meninggalkan Arkan yang masih kacau.
Arkan tak henti-hentinya mengutuk nazar yang sudah Papanya ucapkan di masa lalu. Munglkin kalau tidak ada nazar itu hidupnya akan berjalan mulus tanpa ada pernikahan dan Zahira yang mempersulit hidupnya. Dia hany berharap Papanya tidak meluncurkan ancaman yang dapat merugikan dirinya dan karir yang sudah dia bangun dengan susah payah selama ini.
Setelah beberapa menit berada di ruang tamu Arkan melangkah menuju kamarnya dengan suasana hati yang lebih tenang. Dia berharap saat dia masuk ke dalam kamar Zahira masih tidur.
Namun ternyata jauh dari prediksinya, saat pintu baru terbuka sedikit samar-samar dia bisa mendengar dengan jelas isak tangis Zahira dan gumam doa yang tidak terlalu jelas terdengar ditelinganya. Arkan hanya melihat dari celah pintu Zahira yang tengah mengenakan mukena dan berdoa pada Sang Maha Kuasa.
Karena tak mau mengganggu Zahira yang sedang khusyuk, Arkan kembali menutup pintu kamar dan menunggu Zahira sampai selesai berdoa. Dia tahu gadis itu sedang sangat sedih dan kecewa sekarang, tapi dia bisa apa bukan Zahira wanita pilihannya.
****
Zahira mengusap sisa air mata yang membasahi kedua pipinya. Saking khusyuk-nya dia curhat kepada Alloh air matanya tak bisa dia bendung lagi.
Bibirnya terus mengucap istigfar agar hatinya bisa lebih tenang dan tidak menimbulkan kecurigaan kalau dia sedang ada masalah. Saat Zahira membalikkan badan untuk menyimpan mukenanya dia dikagetkan oleh keberadaan Arkan yang tiba-tiba sudah berada di dalam kamar.
Zahira buru-buru menyimpan mukenanya di tempat biasanya dan memakai jilbabnya dengan cepat. Meski dia selalu berada di kamar yang sama tapi sekalipun dia belum pernah melepas jilbabnya untuk Arkan.
“Kenapa kamu tidak menyampaikan pesan saya pada Mama,” ucap Arkan dengan suara dingin membuat Zahira semakin menunduk karena dia sadar sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal.
Semalam dia terlalu larut dalam kesedihan dan kekecewaan sampai melupakan pesan dari Arkan yang menyuruhnya berbohong lagi pada ibu mertuanya.
“Maaf, semalam aku ketiduran Mas,” ucapnya dengan nada sangat pelan.
Tak ada jawaban dari Arkan. Untuk beberapa saat keduanya hanya berhadapan tanpa suara.
“Tolong pahami sikap Lia kemarin. Dia sangat kalut karena belum menerima saya menikahi kamu.”
Mendengar Arkan menyebut nama sang kekasih yang sudah sangat menyakiti hatinya membuat Zahira langsung mendongak dan menatap Arkan dengan tatapan kecewa.
“Lia sangat sulit mengendalikan emosi, kalau kalian tidak sengaja bertemu tolong kamu menghindar jangan sampai dia melihat kamu.”
“Mas Arkan nggak marah?” Zahira mengalihkan topik karena dia merasa sangat muak saat Arkan terus membicarakan kekasihnya.
“Marah karena apa?”
“Karena aku lupa menyampaikan pesan yang Mas Arkan perintahkan.”
“Tidak apa-apa.” Setelah itu Arkan berjalan menjauhi Zahira dan membaringkan tubuhnya di ranjang.
Sedangkan Zahira memilih bersiap untuk memasak di dapur dengan hati yang tenang karena pagi ini Arkan tidak terlalu kasar hanya menunjukkan tatapan dinginnya saja.