15

1154 Kata
Sore ini Arkan menepati janjinya untuk mengajak Zahira melihat calon rumah mereka yang sudah siap huni. Gadis dua puluh tahun itu tampak sangat antusias dan sangt tidak sabar untuk pindah ke istananya dengan Arkan sampai-sampai di perjalanan pulang dia tak hentinya tersenyum dan membayangkan betapa indahnya kehidupan setelah ini. "Mau langsung pulang atau mampir kemana gitu?" "Kemana Mas?" "Terserah kamu mau mampir cari makan atau belanja sesuatu." "Aku ngikut kamu aja deh." Arkan mengangguk dan mengarahkan mobilnya menuju coffe shop milik sahabatnya yang bertempat tak jauh dari lokasinya saat ini. Mumpung Rosalia sedang keluar kota sesekali dia ingin mengajak Zahira bersenang-senang agar dia semakin luluh dan bisa dia manfaatkan sebagai tameng hubungannya dengan Rosalia untuk kedepannya. "Wihh ... pengantin baru lama nggak muncul." Ibra, pemilik coffe shop ini menyambut kedatangan Arkan dan Zahira dengan senyum ceria. Arkan menjabat tangan sahabatnya sedangkan Zahira hanya sebatas menempelkan kedua tangnnya di d**a karena pria itu bukan muhrimnya. "Sorry baru sempat mampir." "Yuk silahkan pilih duduk gue ambilin buku menu bentar." Arkan mengajak Zahira ke meja yang paling jauh dari keramaian karena sudah menjadi kebiasaannya saat berkunjung ke tempat-tempat seperti ini. "Gi, gue kopi kayak biasa ya," ucap Arkan saat Argi munculndengan membawa buku menu yang di desain aestatic sesuai dengan tema coffee shop-nya. "Kamu apa, Ra?" "Aku capucino late." "Itu aja? nggak mau beli camilan?" "Aku ngikut kamu." Arkan mengangguk dan menyebut beberapa makanan ringan dan desert andalan coffee shop ini. "Anak-anak tadi katanya juga mau kesini mending lo sama istri pindah ke atas sekalian." Argi menunjuk tempat di lantai dua yang selalau dia kosongkan jika tidak ada seseorang yang nenyewa untuk acara atau saat teman-temannya berkumpul. "Gimana Ra?" Arkan meminta pendapat Zahira terlebih dulu karena semua teman-temannya lelaki. "Terserah kamu." Jawab Zahira pasrah saja asal Arkan selalu berada disampingnya. "Kalau terserah aku ya ayo ikut ke atas aja biar lebih enak." Keduanya berjalan mengikuti Argi menuju lantai dua yang memiliki desain interior tak jauh dari lantai satu yang digunakan untuk umum. Dibantu karyawannya Argi menyiapkan tempat untuk beramai-ramai. "Silahkan duduk." Argi juga ikut duduk bersama mereka dan mulai tertarik pada Zahira yang sedari tadi menunduk. "Istri lo namanya siapa lupa gue." "Zahira." "Zahira kok nunduk aja sih dari tadi nggak pengen lihat view senja dari balkon?" Zahira langsung mengangkat kepalanya dan tersenyum canggung karena dia sudah terbiasa menunduk untuk menjaga pndangan jika sedang keluar rumah. "Dia nggak terbisa di tempat kayak gini, Gi," ucap Arkan memperjelas agar Zahira tak bingung-bingung mencari jawaban yang tepat. "Oh gitu, maaf ya Zahira." Zahira kembali mengangguk sambil tersenyum. Satu jam kemudian beberapa meja yang digabung menjdi satu terisi penuh dengan teman-teman Arkan dan Argi membuat Zahira semakin menunduk tak nyaman karena banyak celetukan dari pria-pria itu. Zahira merasa menyesal ikut ke atas harusnya tadi dia duduk saja di bawah dan membiarkan Arkan bergabung dengan teman-temannya, "Eh, Zahira kamu cantik kok mau nikah sama om om nakal ini sih?" Celetuk salah satu teman Arkan yang membuatnya sontak mendongak dan menatapnya tidak suka karena ledekannya sudah tidak lucu lagi. "Lo kali yang nakal gue mah anak baik-baik!" Bukannya membela Arkan malah menanggapi guyonan temannya. Beberapa temannya sontak tertawa dan tanpa sadar mulai membahas tentang perbuatan Arkan yang belum pernah Zahira ketahui sebelumnya. "Zahira awas loh Arkan kalau mabuk ganas banget." Zahira meremas kain gamisnya dan ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini karena obrolan para lelaki benar-benar tak bisa dimengerti dan sangat v****r. Sebelum dia semakin stres dan berdosa karena mendengar ucapan-ucapan tidak sepantasnya dia dengar. "Tunggu di bawah aja kalau kamu nggak nyaman," bisik Arkan yang sudah menyadari ketidaknyamanan Zahira. "Boleh?" Setelah Arkan mengangguk dia berpamitan untuk turun ke lantai satu. "Loh Zahira kenapa turun?" Tanya Argi saat mereka berpapasan. "Aku nggak bisa lama-lama di tempat ramai." "Oh kalau begitu kamu duduk di tempat kamu sebelumnya aja disana selalu sepi, kalau pengen camilan atau minuman lagi bilang aja ke mbak-mbak yang itu." "Makasih Mas Argi." "Yaudah saya ke atas dulu ya." Zahira hanya memesan minuman dan segera duduk di tempatnya tadi. Lebih baik begini sendirian dan sepi itu lebih membuatnya nyaman. Dia mengeluarkan ponsel yang berada di dalam tas dan mulai melanjutkan tulisannya. *** Pukul delapan lebih mereka memutuskan untuk pulang karena sang Mama tak henti-hentinya menelfon Arkan dan menyuruhnya membawa Zahira pulang. Sepanjang perjalanan Arkan hanya diam dan tak menunjukkan ekspresi apapun membut Zahira merasa tidak enak. "Mas, abis antar aku pulang kamu balik kesana lagi aja nanti biar aku yang ngomong sama Mama." "Udah malam males." "Maaf ya Mas." "Maaf kenapa?" "Gara-gara aku kamu nggak bisa kumpul sama teman-teman kamu." Arkan terkekeh dan menggeleng. "Nggak apa-apa kapan-kapan bisa di sambung lagi." Mendengar itu Zahira merasa sangat lega karena Arkan tidak marah padanya karena gara-gara dia pria itu harus cepat pulang. "Assalamu'alikum." Zahira menghampiri kedua mertuanya yang tengah bersantai dan bersalaman. "Wa'alaikumsallam, kamu dari mana aja sih Ra kata bi Sum kamu sama Arkan udah keluar sejak sore." "Aku ikut Mas Arkan lihat rumah kita." Mendengar jawaban Zahira, Ardi Malviano langsung memandang tajam putranya yang kini duduk di kursi lain. "Kamu serius mau ajak Zahira pindah?" "Iya, nggak baik lama-lama numpanh di rumah orang tua." "Astaga Arkan ini juga rumah kamu nggak ada istilah numpang," ucap Maya yang merasa tak terima presepsi putranya. "Tapi lebih baik aku tinggal berdua sama Zahira." "Nggak bisa! kalian harus tetap tinggal disini sampai kapanpun." "Pa, Rara sama Mas Arkan pengen hidup mandiri dan belajar membangun rumah tangga kita." Zahira ingat, Arkan pernah memintanya ikut meyakinkan hati orang tuanya agar mereka bisa tinggal berdua di rumah baru. "Nggak ada! kalian harus tetap disini sebelum Papa benar-benar yakin kamu berubah!" Ardi langsung bergerak meninggalkan keluarganya. Arkan mendesah kesal karena hati Papanya masih saja keras. "Ra, tinggal disini aja ya sama Mama." Zahira menatap Arkan yang masih terlihat sangat kesal karena respon Papanya yang tak sesuai ekspetasi. "Tapi Rara pengen hidup mandiri sama Mas Arkan, Ma. Rara pengen belajar menjadi istri yang baik seperti Mama." "Tapi Mama bakal sering khawatirin kamu, Ra. Mama belum tega." "Mama segitu nggak percayanya sama aku? tanya Zahira pernah nggak aku kasarin? atau aku perlakukan nggak baik? tanya aja!" Arkan langsung berjalan keluar rumah dengan perasaan kesal karena kedua orang tuanya tetap tidak mempercayainya. "Mas kamu mau kemana?" Panggil Zahira namun tak digubris Arkan. "Tuh kamu lihat sendiri kan Ra gimana dia kalau lagi marah. Dia sama sekali nggak bisa kendalikn emosinya sendiri Mama takut kamu nanti diperlakukan nggak baik sama dia kalau nggak ada yang awasin." Zahira menggenggam tangan Maya dan tetao berusama meyakinkan mertuanya agar mengizinkan dia tinggal berdua dengan Arkan. "Aku dan Mas Arkan akan selalu baik-baik aja, Ma. Akhir-akhir ini Mas Arkan udah nggak kayak dulu lagi dia sering ajak aku ngobrol dan nggak suka marah-marah." "Serius? bukan drama dia aja?" Zahira menggeleng karena dia tidak melihat tampang tidak mryakinkan. "Coba pikirin lagi keputusan kamu yang ini Ra, kalau kamu sudah benar-benar mantap Mama akan bantu ngomong ke Papa." Setelah itu Maya pamit untuk menyusul suaminya yang sedang kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN