11. Belajar Menerima

1553 Kata
Ragu-ragu Yuri ingin mengirim pesan pada nomor yang ia tau pernah menghubunginya mengatas namakan Erik Candra, suaminya. Yuri hanya ingin mengatakan bahwa dia tidak mau pindah ke rumah Erik karena merasa kurang nyaman. Kemewahan bukanlah dunianya meski pun seharusnya Yuri bisa saja memanfaatkan kekayaan suaminya. Hati kecilnya memberontak. Selama ini dia dan Yoga terbiasa hidup sederhana dan serba kekurangan. Mendadak menjadi OKB tak lantas ia manfaatkan. Justru yang ada Yuri takut andai kata Erik akan menagih imbalan atas semua yang telah pria itu berikan padanya. [Paman Erik. Ini aku Yuri. Aku tidak bisa tinggal di rumah yang sudah Anda siapkan. Itu semua terlalu mewah dan aku kurang nyaman. Sekali lagi maaf. Bukannya aku tidak tau berterima kasih karena tidak menurut akan apa yang diperintah oleh suami. Hanya saja ... aku belum siap menjadi Nyonya. Mohon dimengerti. Terima kasih.] Setelah mengirimkan pesan itu pada Erik, Yuri pamit pulang pada Tania. Malam ini Yuri akan pulang ke rumah kakaknya dan tidak kembali ke kosan. Tepatnya semenjak kakaknya pulang dari rumah sakit tiga hari yang lalu, setiap malam Yuri memilih pulang ke rumah Yoga. Dia tidak tega pada kakak iparnya yang tidak ada membantu di rumah. Sudah mengurus orang sakit ditambah keponakan Yuri yang masih lima tahun usianya. Setidaknya, selama Yuri ada di rumah sang kakak, di malam hari dia bisa membantu menjaga Vino, keponakannya agar Fina lebih fokus merawat Yoga. Tak apa dia dibuat capek karena jarak rumah Yoga dengan kampus lumayan jauh. Demi kakak lelaki yang merupakan keluarga satu-satunya yang dia punya, Yuri ikhlas menjalani semua. Sekitar pukul sembilan malam, pada akhirnya Yuri sampai juga di rumah Yoga setelah menempuh satu jam perjalanan dengan menumpang ojek motor. Saat baru saja turun dari boncengan abang ojek, Yuri sudah dikejutkan dengan keberadaan sebuah mobil yang parkir di depan pagar rumah. Gadis itu buru-buru melangkah cepat sembari menenteng makanan yang dia dapat dari Tania. Akan Yuri berikan pada Vino nantinya. "Assalamu'alaikum!" sapa Yuri di ambang pintu depan. Kompak, empat orang yang ada di ruang temu memutar kepala memandang padanya. "Waalaikumsalam." "Yuri! Akhirnya kamu datang juga. Kakek sudah nungguin kamu dari tadi. Dari mana saja?" rentetan pertanyaan Erwin dia berikan. Pria tua itu sempat merasa cemas karena sudah semalam ini tapi Yuri belum juga kembali. Tadi Yoga sempat mengira jika mungkin saja Yuri pulang ke kosannya. "Kakek. Kapan datang?" tanya Yuri mendekat, lalu membungkukkan badannya. Menyalami Erwin dengan penuh kesopanan. Lalu berganti menyalami Yoga yang duduk di atas kursi roda. "Sejak tadi Kakek di sini. Sudah menelpon kamu juga tidak dijawab." "Kakek telpon saya? Aduh, maaf Kek. Saya tidak ngecek ponsel tadi. Ngomong-ngomong kakek ke sini sengaja untuk mencari saya atau untuk menjenguk Kak Yoga?" "Dua-duanya. Kakek ke sini ingin melihat kondisi Yoga dan alhamdulillah perkembangan kesehatan Yoga makin membaik." Yoga menyela, "Ini semua juga karena Pak Erwin yang sudah memberikan perawatan dan pengobatan terbaik untuk saya." "Itu sudah menjadi tugas dan tanggung jawabku, Yoga. Karena akulah yang sudah membuat kamu celaka sampai seperti ini." Erwin menolehkan kepala pada Yuri yang kini duduk di samping Fina. "Selain itu aku juga ingin berbicara banyak dengan Yuri. Ini mengenai Erik. Apa Yuri ada waktu? Tapi kalau Yuri capek ... besok saja aku akan ke sini lagi." "Nggak apa-apa, Kek. Jika untuk kakek ... apa sih yang tidak saya lakukan." Erwin terkekeh. "Baiklah. Kamu yang menyetujuinya. Eum ... Yoga. Kalau kamu capek sebaiknya istirahat saja. Terima kasih sudah menemaniku ngobrol dari tadi. Tidak perlu sungkan padaku. Biar aku mengobrol sebentar dengan Yuri." "Baiklah Pak Erwin. Maaf saya tidak bisa ikut menemani. Saya masuk ke dalam dulu." Fina bangkit berdiri pamit pada Erwin. "Kak Fin, Vino mana?" tanya Yuri menanyakan keponakannya. "Ada di kamar." "Ini ada titipan dari Tania untuk Vino." "Bilang ke Tania. Makasih ya." Yuri mengangguk. Memperhatikan Fina yang mendorong kursi roda Yoga dan masuk ke dalam rumah. Sopir pribadi Erwin Candra pamit duduk di teras. Beralasan ingin merokok. Padahal sebenarnya tidak ingin ikut campur dalam urusan pribadi majikannya. "Yuri, apa benar kata Yoga jika kamu bekerja sepulang dari kampus?" "Iya, Kek. Sebagai tambahan uang saku. Saya kerja di toko kue milik ibunya teman kuliah, Kek." "Apa kamu enggak capek?" "Namanya kerja ya capek, Kek. Tapi tetap harus dinikmati." "Sekarang kamu sudah menikah, Yuri. Tidak mungkin kan jika Erik sama sekali tidak memberikan kamu uang nafkah?" "Paman Erik kasih saya kartu debit. Katanya untuk mencukupi semua kebutuhan saya. Begitu, Kek." "Tuh, kan. Ya sudah. Kamu pakai saja untuk keperluan kamu. Untuk bayar kuliah dan untuk apa saja yang kamu mau. Habiskan saja jika perlu karena Erik pasti akan memberi kamu nafkah tiap bulannya." "Paman Erik juga berkata seperti itu tadi." "Jadi beneran Erik menemui kamu tadi?" Erwin mencoba memastikan. Setelah tadi Erik menelponnya untuk meminta nomor ponsel Yuri, Erwin bertanya-tanya apakah putranya itu ada nyali untuk menemui Yuri karena satu minggu ini bahkan Erik tak pernah menampakkan batang hidungnya dan Erwin pun tak tau ke mana perginya Erik. "Iya, Kek. Paman Erik menemui saya untuk pamit. Katanya pergi ke Dubai." "Lalu?" "Lalu apa, Kek?" "Reaksi kamu bagaimana?" "Ya nggak gimana-gimana Kek. Biarkan saja Paman Erik kerja. Saya ini hanya orang baru yang tidak tau apa-apa akan kehidupan Paman Erik. Saya juga tidak ada hak untuk melarang ataupun sekedar bertanya." "Dasar aneh. Padahal kamu itu sudah jadi istrinya. Jadi kamu ada hak untuk bertanya. Bahkan kalau kamu mau ikut dia pun, nggak ada yang salah karena kalian adalah suami istri." "Mana mungkin saya ikut paman Erik, Kek. Urusan saya di sini juga masih banyak. Saya masih kuliah dan masih harus membantu Kak Yoga sampai kembali pulih kondisinya." "Apa Erik ada mengatakan padamu sampai kapan dia di Dubai?" Yuri mengedikkan bahunya. "Paman Erik mengatakan sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Kek, sebenarnya paman Erik juga meminta pada saya gar tinggal di rumahnya. Tadi pun saya sudah ditemani Zak datang ke rumah itu." "Zak siapa?" "Katanya sopir pribadi Paman Erik?" "Zakwan?" "Betul Kek " "Terus?" "Maaf Kek. Saya belum ada bakat jadi orang kaya. Rumahnya besar sekali kayak istana. Mana pelayannya banyak dan saya di sana benar-benar diperlakukan dengan sangat hormat. Saya nggak bisa, kek." "Kenapa nggak bisa?" "Saya nggak nyaman." "Lalu?" "Saya sudah bilang ke Paman Erik kalau saya mau tetap tinggal di rumah kos sampai saya lulus kuliah nanti." "Astaga, Yuri. Kamu ini aneh. Sudah aku tawari tinggal bareng di rumahku, kamu tidak mau. Dikasih rumah mewah sama Erik pun kamu tolak." "Ya maaf, Kek. Buat apa tinggal di rumah mewah kalau sayanya kurang nyaman." "Baiklah, Yuri. Aku juga tidak akan memaksa kamu. Sudah mau menikah dengan Erik saja, aku sangat berterima kasih padamu. Yang penting kamu nyaman saja dan jika butuh sesuatu langsung katakan saja padaku atau lada Erik. Kamu paham Yuri?" Yuri mengangguk. "Paham, Kek." "Ya sudah kalau begitu. Aku pulang dulu. Pamitkan pada Kakak kamu dan semoga Yoga lekas pulih kembali." "Iya, Kek. Hati-hati di jalan." Erwin meninggalkan ruang tamu. Sopir pribadinya sigap mendahului dan membuka pintu mobil untuk Erwin. Yuri melambaikan tangan pada Erwin saat mobil yang dikendarai ayah mertuanya itu meninggalkan halaman rumah kakaknya. Erwin Candra tersenyum lebar lalu geleng-geleng kepala. Meraih ponselnya dan melakukan panggilan pada putranya. "Dasar b0doh! Kenapa kamu malah pergi meninggalkan Yuri, hah!" Baru juga Erik mengangkat panggilan telepon tersebut, Erwin sudah mengata-ngatai putranya itu. "Apa maksud Papa. Telepon-telepon langsung marah-marah." "Papa tidak melarang kamu pergi ke mana pun untuk mengembangkan bisnismu, Erik. Tapi kenapa kamu tega ninggalin Yuri gitu saja. Seharusnya kamu paksa dia ikut denganmu." "Ya Tuhan, Pa. Kalau dia tidak mau kenapa harus aku paksa? Lagian dia mau fokus kuliah katanya. Bahkan tidak mau aku suruh tinggal di rumah yang sudah aku siapkan untuknya. Terus salahku di mana?" "Habisnya kamu itu keterlaluan. Yuri itu anak baik. Buktinya dia saja menolak tinggal di rumah mewah yang kamu berikan. Itu sudah membuktikan bahwa dia memang layak dijadikan bagian dari keluarga Candra. Beda dengan para wanita yang selama ini mengejar-ngejar kamu hanya karena harta. Jadi papa harap kamu bisa menjaga Yuri dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kamu sakiti dia jika tidak ingin kamu menyesal nantinya, Erik." "Bukankah masih ada papa di Indonesia. Jadi papa saja yang menjaga dia sebagai perwakilanku. Aku mana bisa dua puluh empat jam mengawasi dia sementara aku saja tidak di Indonesia, Pa." "Jangan seperti orang susah yang pelit mengeluarkan duit. Jika untuk membayar orang dan menjaga Yuri ... masak iya kamu tidak mampu?" "Kalau itu papa tidak perlu khawatir. Aku usahakan untuk memenuhi apa yang papa minta." "Bagus. Jika begini papa bisa tenang." "Apa maksud papa?" "Nggak ada." Erik sudah merasakan feeling tidak enak saat mendengar perkataan sang papa yang ambigu. Mana dengan seenaknya Erwin mematikan sambungan telepon begitu saja di saat Erik membutuhkannya penjelasan. Erik terdiam di tempatnya. Saat ini dia memilih tinggal di hotel untuk sementara sebelum terbang ke Dubai esok hari. Pria itu keluar dari dalam kamar menuju balkon hotel tempat menginap. Memandangi gemerlap lampu jalanan. Menghembuskan napas panjang. Berpikir sejenak. Kenapa dia jadi semenurut ini dengan papanya. Erik tersenyum dalam diamnya. Teringat pesan yang ia dapat dari Yuri sore tadi. Mungkin apa yang papanya katakan memang benar jika Yuri adalah gadis yang baik. Buktinya ia berikan rumah mewah dengan segala fasilitasnya malah ditolak dan mengatakan belum siap jadi nyonya. 'Dasar gadis labil!' Mungkin memang keputusan Erik meninggalkan Yuri saat ini sudah tepat. Ketika dia kembali nanti, Erik berharap Yuri sudah menjadi wanita dewasa yang mengerti akan status seorang istri dan siap menjadi nyonya Erik Candra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN