“Abang Agaaa!” pekik Vya. Gue sontak sumringah, sementara bocah kecil itu sudah mulai berlari, mengikis jarak. Menyusul di belakangnya adalah Kyra, lalu Nuwa, dan Jihan. Kebayang ngga tuh bocil-bocil cantik pada lari mendekat sambil meneriakkan nama gue. Berasa guru PAUD sumpah! Sontak gue bersimpuh, membentangkan kedua tangan, bersiap menerima serbuan pelukan. Pas keempatnya berada di rengkuhan, gue pura-pura limbung, merebahkan diri sembari menciumi mereka satu persatu. Ya Allah, tawa bocil gini tuh nenangin banget! “Kok pada main di luar? Ngga makan di dalam?” tanya gue seraya mendudukkan keempatnya di lantai beralas karpet ini, barulah kemudian gue yang menyusul duduk. “Peyut Nuwa dendut nih. Nanti meyedak lho,” ujar Nuwa. “Siapa yang bilang perut bisa meledak?” tanggap gue. “Mas

