Ujung telunjukku menyusuri garis wajahnya. Dari batas dahi, ke pangkal hidung, puncaknya, lalu ke bibir. Abang meraih tanganku, menahannya, baru kemudian membuka mata dan menatapku. “Morning,” ucapku, hanya gerakan bibir. Abang bernapas dalam, melepaskan tanganku lalu merengkuhku lembut. Bibirnya kemudian melekat di bibirku. Sebelum menikah, melihat adegan-adegan pagi – di film – seperti yang kami lakukan sekarang, bisa membuatku bergidik. Bukankah itu jorok? Tapi, setelah menikah, justru moment bangun tidur di mana Abang menggosok-gosokkan wajah kami sembali melabuhkan kecupan-kecupan kecil, rasanya teramat indah. Paling yang menyebalkan kalau usilnya Abang lagi kumat, main ‘hah’ aja gitu. “Ayo kita jalan pagi, jagiya,” ujarnya di ceruk leherku dengan suara yang jelas menunjukkan jik

