"Gila, tempat tinggal kamu luas banget," ujar Jesika.
Saat masuk ke dalam, usai dari perbincangan dengan sang pemilik properti tadi. Dia merasa beruntung banget punya sahabat seperti Kirana. Waktu masa kuliah, dia yang selalu berikan apa pun untuknya. Sekarang gantian sahabatnya beri tumpangan.
"Bukan punyaku," ucap Kirana membawa tas sahabatnya ke kamar. Jesika duduk sofa sambil mengayun pantatnya yang terlihat sangat empuk banget.
"Meskipun bukan punyamu, tetap saja mereka sudah termasuk baik loh. Kamu masih ingat sama rumah kontrakan sebelumnya?"
Pasti dong Kirana tidak melupakan itu, apa lagi selesai dengan kuliahnya. Pas pula pemilik rumah itu mengabari kalau mereka akan menempatkan rumah itu untuk putra yang akan menikah. "Iya sih. Termasuk dirimu juga."
"Kamu mau makan apa? Sampai saat ini aku belum belanja apa pun, hanya ada ...."
"..., mi instan?" sambung sahabatnya sembari menarik napas panjang, "hari-hari kebiasaanmu gak pernah berubah ya, An," imbuhnya kemudian, sambil memeluk bantal ada di sebelahnya.
"Ya gimana lagi, aku baru sampai kemarin, terus buat belanja juga gak sempat banget. Kamu tahu kan di sini tempatnya gimana, sepi, jauh lebih sepi dari tempat aku tinggal dulu," gerutunya, sambil menghidupkan gas kompor buat masak air dulu.
"Beginilah, An. Hidup sebagai manusia gak bisa diubah. Hanya atas mengubah."
Jesika membaringkan diri di sofa sambil memandang langit rumah tanpa bertingkat. Sedangkan sahabatnya lagi mengerjakan di dapur buat mengganjal perut malam hari. Kebiasaan Kirana seperti itu, tidak bisa mengubah kebiasaan buruk. Kadang bisa di rumah kalau lapar.
Daripada bosan menunggu, sahabatnya bikin mi instan, wanita berambut sebahu itu membuka ponsel. Hanya buka sebagai pembuang suntuk dan jenuh. Kadang buka aplikasi youtube lihat video, atau putar lagu sebagai berisik di ruangan yang sunyi.
Beberapa menit kemudian, masakan mi instan dari Kirana selesai. Di pindahkan dari tempat masak, kemudian ke piring lainnya. Setelah itu, dia menghampiri sahabatnya, di sana melihat bahwa wanita sebahu itu ternyata ketiduran sambil ponselnya masih bernyanyi.
"Jes, bangun Jes." Dia membangunkan sahabatnya.
Jesika yang enggan buat buka matanya, dengan paksaan dia bangun, tercium aroma enak dan perut juga ikut berdemo. "Sori, An. Aku ketiduran. Soalnya rumahmu adem banget," cengirnya, "sudah siap mie-nya?" lanjutnya saat dia menoleh ke meja terlihat asap mengepul ke atas.
"Baru siap," kata Kirana, "yuk, makan habis itu cuci muka, ganti baju, kalau kamu mau mandi nanti ku siapkan air hangat di sana."
Mereka bersamaan makan bersama. "Kamu gak makan?" Dia bertanya kepada sahabatnya.
Jesika mengira akan makan bareng ternyata piring itu hanya untuk dirinya seorang. "Aku sudah kenyang pas kita nongkrong di kafe tadi. Kamu aja yang makan," jawabnya sambil mencuci tempat masak mi tadi.
"Diet?"
Kirana terkekeh-kekeh, "Diet apaan. Uda kurus gini. Bisa-bisa angin topan pun menghantamku. Malam aku jarang makan yang berat-berat. Soalnya suka kebawa-bawa. Bisa-bisa baju yang kamu kasih gak bisa ke pakai."
Jesika meniup mie-nya karena masih panas. "Masih kamu simpan juga baju itu? Masih muat?"
"Masihlah, kamu pikir aku ini tukang boros barang-barang kumuh gitu?"
"Ya mana tahu, kan? Setelah uda dapat kerjaan baru, terus dijadikan staf tetap, pastinya, kan, baju yang aku kasih bakal jadi pajangan."
Kirana langsung lemparin tisu yang sudah basah. Dengan muka tawa canda dari Jesika membuat dua wanita itu terlihat sangat bahagia.
Sementara di rumah seberang, Rendy lagi asyik main game di ponsel, hingga membuat Tian susah buat tidur nyenyak. Dengan dercikan kesal, dia melempar bantal dan mendaratkan ke sahabat kurang asem itu.
Rendy yang sedang seru dengan game terkejut.
"Bisa diam gak sih?" semprot Tian ke Rendy.
Rendy dengan muka santai malah balas melempar ke lelaki sok jaim. "Yaelah, santailah, Bro. Kamar banyak tuh, napa gak tidur di sana saja."
"Suka akulah, rumah juga milikku, mau tidur di mana bukan urusanmu. Justru aku tanya, ngapain lagi kamu di sini? Pulang sana, ganggu aja!"
Rendy bukan mengindahkan pengusiran dari sahabat dari sepupunya. Malahan dia makin menahan buat ikut rebahan di sofa satu lagi. Tian yang melihat lama-lama pengen banget melenyapkannya.
"Tugasku itu buat jaga dirimu. Mencari informasi dari luar. Apalagi pamanmu juga masih meragukan dirimu," ucap Rendy lanjut main game sumber berisik banget.
Tian memilih buat tidak mendengar, dia kembali tidur lebih baik daripada ocehan dari sahabat sepupu sialan itu. "Btw, kamu gak ngerasa aneh sama Galen papan muka besi itu?"
Tian tetap tidak menanggapi, dia cukup bersuara untuk diam. "Aku mau tidur, urusan itu besok saja di bahas."
"Gak seru!"
Dua rumah berhadapan masing-masing terlihat sangat hening. Hanya terdapat suara jangkrik di malam hari, kemudian beberapa suara gonggong beberapa meter dari lokasi.
Selain itu, salah satu ruangan yang sangat terang, seorang pria tua sedang duduk sambil melihat beberapa kertas-kertas di mejanya. Apa lagi seorang pria dengan pakaian yang santai, duduk sambil memainkan kursi berputar sembari memandang sebuah foto ada di galeri ponsel seraya senyum amat nakal.
"Bagaimana perundingan dengan saudara-saudaramu di kantor?" Suara berat dan sangat khas banget. Menunda kegiatan oleh pria itu.
"Biasa saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ucapnya masih sibuk dengan slide foto beberapa lembar itu.
Anthonius menatap cucu paling diharapkan, baru kali ini, melihat seulas senyum diperoleh oleh pria itu. Selama ini, beliau tidak pernah melihat raut senyum begitu bahagia setelah berita menggemparkan di keluarga tercintanya.
"Ingat, Galen. Saya memberikan penerus sebagai tanggung jawabmu. Jangan melibatkan siapapun, apalagi seorang wanita yang tidak tahu tujuanmu untuk mengganti posisi Vika."
Galen yang dari tadi asyik melihat foto bidadarinya di ponsel. Dengan hembusan yang amat jengkel banget. Dia beranjak dari kursi dan berjalan kemudian menatap sang pria tua yang sangat dihormatinya sampai sekarang.
Pria itu tentu tidak pernah takut, meskipun ada perasaan tidak disukai oleh cucunya. "Saya hanya ingin kamu tidak melibatkan wanita itu. Apa kamu tahu, dia tidak ada sangkut paut atas masalah dengan calon ibu dari …"
"..., Kakek tidak perlu mencemaskan persoalan itu. Dia tidak akan terlihat asal wanita itu mengangkat kaki dari keluarga Theo, itu saja sudah cukup, jangan membawa nama Davino. Karena dia tidak tahu apa pun perihal ini," potong Galen, dan menegaskan sekali lagi kepada kakeknya.
Anthonius hanya berharap itu tidak terjadi. "Saya mengerti, semoga itu tidak terjadi. Saya hanya bisa mengandalkan kamu bisa melewatinya."
"Apa perbincangan yang ingin Kakek sampaikan soal perihal ini?" Sekarang Galen ingin tahu. Sebab, saudara tertuanya yang super berisik asyik meminta untuk bertemu dengan kakeknya.
"Tidak, ada hal yang ingin saya sampaikan kepadamu."
"Soal?"
Anthonius menyerahkan sebuah amplop kepada cucunya. Galen melirik secarik amplop itu masih rapi. Kemudian dia melihat sambil memandang sang kakeknya. Anthonius tidak menunjukan raut wajah mencurigakan. Karena penasaran, mau tak mau pria itu merobek amplop itu, dan menarik isi di dalam beberapa foto tercetak sangat jelas.
"Saya ingin kamu mencari tahu siapa pria yang mencoba untuk menjebak wanita itu. Selain itu juga, saya mendapat kabar bahwa salah satu peserta mencoba melamar pekerjaan di tempatmu. Apakah ada kaitan dengan wanita yang selalu kamu banggakan?" ucap Anthonius.
Galen melihat beberapa lembar foto, di mana saat Kirana dalam keadaan tidak berdaya. Bahkan seorang pria yang coba-coba untuk mengelabui selain itu seorang wanita tidak asing di matanya. Raut wajahnya mulai mengeram, hingga lembaran foto itu remuk dibuatnya.