"Yang benar, Serena di sana?"
Jesika sampai kaget mendengar cerita dari sahabatnya. Jarang sekali mereka bisa berkumpul di sini. Walaupun mepet banget waktu buat ketemuan. Kirana sendiri juga tidak bisa berpikir, semua sangat kebetulan sekali. Jelas banget waktu mereka ketemu itu juga saat dirinya penting dengan seseorang.
"Aku juga baru tau, ini kayak bukan kebetulan lagi. Kamu masih ingat teman yang pernah kasih job buatku?"
"Mega? Jelas ingat banget, kenapa dengan rubah betina tuh? Dia mencarimu lagi?"
Kirana mengusap wajahnya sangat frustrasi sekali. "Kemarin malam aku ketemu dengannya, dia ajak ke luar. Yang gak bisa berpikir jernih saat kejadian itu."
"Kejadian apa? Gila itu rubah betina gak ada kapok-kapok buat libatkan orang lemah. Sudah jelas, karena dia juga, kita hampir kena ...,"
"..., jangan dibahas lagi. Aku gak mau mengingat itu," sambung Kirana semakin stres.
"Bukan aku mau ungkit, apa kamu gak ingat bagaimana dia tega lakuin saat situasi kita waktu itu dalam keadaan gak memungkinkan. Dengan seenak jidatnya menyebar keburukan kita di mata orang yang kita sayangi. Kalau aku sampai ketemu dia lagi, pastinya aku bakal merobek mulutnya, kalau bisa cekik dia sampai gak bisa bernapas."
Jesika tidak akan tinggal diam begitu saja, bagaimanapun kejadian satu tahun tiga bulan itu, sangat jelas di ingatannya hingga sekarang. Bahkan untuk melupakan tentu tidak akan pernah sama sekali. Kebencian di matanya benar-benar terlihat, kalau dirinya sangat membenci pada wanita yang sudah dijuluki nama Rubah betina.
"Sudah berlalu, Jes. Jangan diungkit lagi. Semakin kamu mengungkit masalah itu, semakin terjadi masalah datang kepadaku."
Jesika membanting kecil minuman di meja, kemudian menatap lekat pada sahabatnya yang tengah stres. "Aku juga gak bakal mau mengungkit masa lalu. Kalau bukan karena mulut busuknya, kamu gak akan kayak gini. Mengalami semua setelah apa yang terjadi pada almarhum beliau."
"Entahlah, Jes. Aku sangat kurang yakin, kalau Mega yang membocorkan tentang diriku di luar selama pendidikan masih berlangsung. Pasti ada orang lain sengaja, atau ada orang yang gak suka pada kita. Makanya dengan sengaja menyebut nama Mega agar kita semakin benci sama padanya," tutur Kirana, dia bukan tidak percaya omongan sahabatnya sendiri.
Selain itu, dia juga belum bisa menceritakan kepada sahabatnya atas apa yang terjadi kemarin malam. Yang pasti, dia ingin mengorek semua informasi siapa Mega. Tujuan melamar pekerjaan tempat dia kerja sekarang.
"Jadi kamu gak percaya sama aku. Terserah kamu mau percaya apa gak. Yang pasti aku gak mau hal itu terulang lagi. Kalau sampai itu terulang kembali, aku pastikan dia gak bisa bertahan hidup lebih lama," ucap Jesika sambil menahan amarah dengan kepalan tangan yang ingin sekali meninju seseorang.
Sayangnya mereka dalam posisi di tempat umum, jadi dia harus bersikap profesional. Bukan lagi seorang yang di cap tidak bermoral di mata orang-orang sekitar.
"Jadi ... setelah tau Serena kerja di sana. Keadaan bagaimana?" Kali ini Jesika kembali ke topik pembahasan awal.
"Gak tau, aku belum bisa berpikir jernih sekarang ini. Apalagi, pekerjaanku belum di tentukan."
Jesika sampai iba mendengarnya. "Bukannya posisi kamu sekarang mengganti teman yang sedang cuti melahirkan?"
"Benar, posisi itu sudah diganti sama Serena. Makanya aku stres, aku gak tau posisi aku yang tepat itu di mana, dan kamu tau ... aku ketemu dengan siapa?"
Kali ini Kirana tidak bisa menyimpan suatu momen tadi. "Siapa?"
"Pak Tomi dan Pak Riko."
Bagaikan petir dadakan, Jesika makin syok dengarnya. "Yang benar saja?"
Kirana mengangguk. "Aku juga gak tau, bagaimana mereka ada di sana. Terus satu lagi, orang yang sangat asing di mataku."
"Siapa?"
Kirana tidak bisa menjelaskan, dia mendecih kemudian mencoba untuk ciri-ciri pria waktu hadir di rapat itu. "Aku susah menjelaskan ciri-ciri pria itu. Yang terpenting, mereka ada hubungannya dengan atasan di kantor aku."
Sudah dua jam Jesika dan Kirana duduk kafe dekat tempat tinggal rumah temannya. "Jadi sekarang kamu tinggal di mana?" Giliran Kirana bertanya setelah topik obrolan berakhir.
"Dekat daerah sini, gak tau juga di mana. Cuma aku lebih suka sih tinggal sendiri. Gak enak nginap bareng sama anak lain. Berisik!" ucapnya.
"Kalau gak tinggal di tempat ku saja, gimana? Bukannya katamu tempat kerjamu dekat di kantorku? Jadi kita bisa berangkat kerja barengan."
"Memang boleh?"
"Boleh dong. Nanti aku bilang ke pemilik propertinya." Dengan wajah berseri-seri itu pun. Kesempatan itu akan dipergunakan sebaik mungkin untuknya suatu saat nanti.
Seperti diucap oleh Kirana beberapa menit yang lalu. Tian yang sedang duduk frustrasi mendapat sebuah telepon dari pemilik rumah depan tempat dia tinggal.
Awalnya Tian merasa keberatan banget memberi izin untuk orang lain menginap. Karena melihat seorang wanita di bawa oleh Kirana. Ke egoisnya pun memberontak.
"Baiklah, saya hanya ingin kamu tetap mematuhi peraturan yang sudah tertera di kertas hitam putih, saya gak mau terulang lagi seperti kemarin malam." Tian mengingatkan kembali pada Kirana.
Jesika tidak tahu menahu maksud diucapkan oleh pria manis itu. "Memang ada apa dengan kemarin malam?"
Kirana dengan cepat mengalihkan topik pembicaraan. "Sudah kesalahan, gara-gara kemarin malam aku ribut karena panas, iya, kan, Pak?"
Dia berharap Tian paham maksud kode mata diberikan oleh wanita cantik itu. Jesika kembali menatap pria manis itu. "Benar sekali, makanya saya mengingatkan untuk tak mengulangi. Karena saya tak ingin ada hal buruk pada penghuni lain dan terganggu. Soal AC sudah saya minta orang perbaiki."
Jesika mengira ada hal lain, makanya dia juga perlu mengetahui. "Begitu, aku kira ada apa soal kemarin malam. Soalnya sikap kalian ini sedikit mencurigakan."
"Mana ada, ya sudah kami masuk dulu, Pak. sudah malam. Bapak juga harus segera istirahat, besok akan jauh lebih sibuk lagi."
Kirana segera menarik temannya masuk ke rumah. Dia tidak ingin jika Tian bertanya terus tentang temannya. Bakal bisa berabe jika sampai Jesika mengetahui apa yang terjadi kemarin malam.
Tian kembali ke rumah di sana Rendy sudah memantau dari jauh. Lalu menghampiri sahabatnya itu. "Wah, bos yang murah hati. Gak takut ketahuan sama Bos galak?"
Tian melempar kunci ke meja kemudian menghempas diri di sofa. "Katanya dia sudah tau."
Rendy dengan cepat gabung di sana dengan iming agak kaget. "Kayak mana ceritanya?"
"Dia yang telepon langsung dengannya. Makanya diberikan untuk tinggal dengan wanita itu."
Rendy mengangkat kakinya dan merasa akan ada hal baru lagi terjadi di masa berikutnya. "Wah, luar biasa. Kayaknya misi kali ini sudah tersusun sangat rapi."
"Maksudmu?"
Rendy menatap sahabatnya dan senyuman penuh tanda tanya. "Apa kamu gak merasa aneh terhadap pemilik properti yang asli? Dengan mudahnya mengizinkan orang lain buat nginap di rumah wanita itu?"
"Kurang tau, aku cape tolong matikan lampu." Tian memilih untuk tidur. Meskipun ada kamar, dia jauh lebih nyaman tidur di ruang tamu.