Lima tahun kemudian….
Sebuah taksi membawa Sara memasuki perumahan elit yang penjagaannya cukup ketat. Namun, berhubung Sara mengenal penjaga gate-nya, tentu proses masuk tidak akan memakan waktu lama. Sampai kemudian, taksi itu berhenti di salah satu rumah mewah yang akan Sara kunjungi.
Setelah mengucapkan terima kasih sambil membayar ongkos taksinya, Sara turun sambil menenteng hand-bag di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya membawa parsel berisi buah-buahan yang akan ia berikan untuk bosnya. Ya, rumah yang saat ini Sara kunjungi adalah rumah milik Desy, bosnya. Terhitung sudah lima tahun Sara mengabdi pada Desy.
Tunggu, lima tahun? Semenjak ikut paket liburan ke Senjaratu ini, Sara tadinya mengira kalau dirinya hanya akan transit di wilayah ini sebelum akhirnya kabur ke tempat yang lebih jauh.
Namun, pada hari pertama Sara memisahkan diri dari rombongan agen perjalanan, ia langsung dipertemukan dengan bos rasa bestie seperti Desy. Saat itu Radiant Rose, perusahaan yang dikelola Desy masih benar-benar baru sampai akhirnya Sara menjadi saksi perusahaan rintisan itu tumbuh dan berkembang dengan pesat seperti sekarang.
Sebaliknya, Desy dan Radiant Rose pun seolah menjadi saksi Sara yang kala itu berusia 23 tahun dan kini hampir genap menginjak usia 28 tahun. Sara kini menjelma menjadi wanita yang lebih dewasa dan bahagia. Terlebih orang-orang di sekelilingnya hampir tidak ada yang seolah menjadi tokoh antagonis seperti ibu tiri dan keluarganya dulu.
Itu sebabnya melarikan diri ke Senjaratu adalah hal yang paling Sara syukuri seumur hidupnya karena ia bisa mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik.
Sara langsung disambut oleh pintu rumah Desy yang terbuka lebar. Seorang ART mempersilakannya masuk dan mengatakan kalau Desy ada di ruang kerjanya. Melewati ruang tamu, selama beberapa saat Sara dibuat salah fokus oleh keberadaan parsel buah di meja yang sama persis dengan yang kini dibawa olehnya.
Bisa dipastikan ada yang datang ke sini dan membawa parsel untuk Desy. Konyolnya, Sara memesan parsel di tempat yang sama. Tadinya Sara mau bertanya pada ART tentang siapa yang datang dan membawa parsel di meja itu, tapi berhubung ART-nya sudah ke belakang, Sara lebih baik menanyakannya secara langsung pada Desy saja.
Tanpa ragu, Sara langsung naik ke lantai dua menuju ruang kerja Desy berada. Tentu saja Sara sangat hafal. Sebagai asisten sekaligus sekretaris Desy, tentu tidak terhitung berapa kali Sara berkunjung ke rumah ini.
Tiba di lantai dua, dari jauh Sara langsung melihat pintu ruang kerja Desy yang terbuka lebar. Sara mendekat dan tetap mengetuk pintunya.
“Mbak Des…,” panggil Sara.
Sejak awal, Desy memang tidak mau dipanggil ‘bu’ oleh Sara. Selain usia mereka hanya terpaut tiga tahun, Desy memang sudah menganggap Sara selayaknya adik sendiri.
“Masuk, Sar. Ini aku di sofa. Sini duduk.” Suara Desy langsung terdengar. Wanita itu tidak terkejut dengan kedatangan Sara karena memang Sara sudah mengabari dulu kalau akan datang.
Sara tersenyum lalu masuk. “Aku kaget pas si bibi bilang nyonya lagi di ruang kerja. Timbul pertanyaaan dalam hatiku … hah, kerja? Serius? Eh, ternyata lagi rebahan di sofa,” kekeh Sara sambil mengambil posisi duduk di sofa kapasitas satu orang, sedangkan bosnya berbaring di sofa panjang. Sara bahkan sudah meletakkan parsel buah-buahannya di meja.
“Enggak tahu kenapa sofa yang ada di ruang kerja paling nyaman di antara semua sofa yang ada di rumah ini,” balas Desy. “Apa ini bawaan dedek bayi di perut?” kekehnya seraya mengubah posisi yang semula berbaring menjadi duduk.
“Ya ampun, Sar. Repot-repot banget bawa buah-buahan, tapi makasih,” kata Desy lagi.
“Gimana keadaan Mbak Desy sekarang?”
“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik aja. Cuma memang mual-nya, tuh, terkadang hilang timbul. Belum lagi lemasnya itu bikin mager buat ngapa-ngapain,” jelas Desy. “Tapi aku sangat menikmati morning sickness ini. Udah tiga tahun aku menjadi pejuang garis dua dan aku nggak akan mengeluhkan apa pun,” sambungnya.
“Pertama dengar Mbak Desy hamil, jujur aku bahagia banget.”
“Kamu saksi betapa aku berharap banget dapat garis dua, Sar. Tahun terus berganti sampai RR se-besar sekarang, aku nggak kunjung hamil. Sampai akhirnya, harapanku benar-benar terwujud sekarang. Aku beneran hamil,” ucap Desy dengan mata berbinar.
“Sekali lagi selamat ya, Mbak. Semoga segalanya dilancarkan sampai si bayik lahir ke dunia dengan sehat, sempurna serta selamat ibu dan bayinya.”
“Makasih, Sar. Aku aminkan itu,” balas Desy. “By the way, Sar … kamu yakin nggak bawa kerjaan ke sini?”
Sara tersenyum penuh arti. “Sejujurnya bawa, tapi aku merasa bersalah kalau keluarin dari tasku karena tujuanku datang memang pure mau menjenguk Mbak Des, bukan nyuruh kerja sekalipun tanda tangan doang.”
“Kata kuncinya adalah … tanda tangan doang. Baiklah, keluarin sekarang sebelum aku berubah pikiran,” canda Desy.
Sara kemudian mengeluarkan beberapa berkas yang ada di hand bag-nya.
“Ini beberapa produk yang harus mulai diproduksi. Sebelum ke sini, aku mampir dulu ke pabrik dan dari segi bahan udah oke banget, Mbak. Bisa mulai kalau udah ada persetujuan Mbak," jelas Sara.
Sejenak Desy membaca beberapa lembar pada dokumen persetujuan produksi lalu tanpa ragu menandatanganinya.
“Maaf kamu jadinya lebih repot, Sar. Setelah ini kamu bawa salah satu mobil di sini, anggap aja inventaris, ya. Udah mulai musim hujan, kamu nggak mungkin naik motor terus.”
“Aku ke sini naik taksi loh, Mbak. Bukan naik motor.”
“Pulangnya bawa mobil biar nanti ke mana-mana lebih enak.”
“Ngapain aku bawa mobil dari sini sedangkan kita ke mana-mana naik mobil Mbak Desy,” ucap Sara. “Makanya aku berdoa semoga morning sickness Mbak Desy nggak parah sehingga bisa kembali beraktivitas normal. Semangat, Mbak!”
“Kayaknya buat beraktivitas normal … nggak dulu deh. Soalnya Mas Ibnu nggak izinin aku kerja lagi. Aku disuruh cuti panjang supaya bisa fokus sama kesehatan dan kehamilanku.”
Desy melanjutkan, “Kamu tahu untuk bisa hamil, aku udah melalui banyak hal. Aku hampir melakukan bayi tabung tapi Tuhan lebih dulu ngasih kejutan sebelum aku dan Mas Ibnu melakukan prosedurnya."
Tentu Sara kerkejut. Cuti panjang? Sara pikir mereka belum pernah membicarakan ini sebelumnya.
“Aku memang sengaja bilang sama kamu secara langsung gini. Malas kalau lewat telepon,” kata Desy. “Intinya mulai sekarang sampai waktu yang nggak bisa aku tentukan … aku mau stop kerja.”
“Terus nasib Radiant Rose-nya gimana, Mbak?”
“Kamu bisa gantiin aku,” jawab Desy dengan begitu entengnya.
“Enggak, enggak. Aku nggak bisa, Mbak.” Sekalipun Sara sudah tahu seluk beluk perusahaan yang Desy kelola ini, tetap saja Sara tidak pernah kepikiran untuk menggantikan posisi bosnya itu. Terlebih tanggung jawabnya sangatlah besar.
“Padahal aku serius loh, nggak apa-apa kalau kamu yang kelola. Aku juga percaya banget sama kamu.”
“Aku nggak bisa, Mbak. Aku nggak mau,” tolak Sara baik-baik.
“Sudah kuduga, kamu pasti nggak mau. Makanya Mas Ibnu dengan sigap mencari seseorang untuk mengisi posisiku,” jelas Desy. “Ah, suamiku itu bener-bener deh. Dia bikin supaya nggak ada alasan lagi buat aku kerja, karena memang dia sendiri yang menyiapkan pengganti yang tentunya bisa dipercaya.”
Itu artinya, Sara sebentar lagi punya bos baru. Ah, padahal Sara sangat nyaman bekerja di bawah Desy. Sangat disayangkan bos rasa bestie-nya harus cuti panjang. Namun, mau bagaimana lagi? Ini demi kebaikan Desy serta janin dalam kandungannya.
“Udah ada penggantinya, Mbak? Kalau boleh tahu, siapa?”
“Teman kuliahnya Mas Ibnu. Seharusnya besok udah mulai ngantor.”
“Hah? Besok? Se-cepat itu?”
“Kamu merasa cepat karena baru tahu, karena sebenarnya pemimpin baru Radiant Rose ini udah dipersiapkan dari jauh-jauh hari,” jelas Desy. “Wah, kebetulan banget loh orangnya lagi mampir ke sini,” sambungnya.
“Calon bos baru aku lagi ada di sini?”
“Ya. Tadi, sih, Mas Ibnu bilangnya mereka mau jalan-jalan di halaman belakang.”
Sara jadi ingat parsel buah yang di meja tadi. Parsel yang sama persis dengan yang dibawanya.
“Sekarang aku paham parsel buah di ruang tamu, yang sama persis sama yang aku bawa ini … ternyata itu bawaan calon bos baruku.”
“Iya kah? Aku belum lihat. Rupanya dia bawa parsel juga. Ya ampun, padahal nggak usah repot-repot.”
Jujur, Sara jadi penasaran siapa bos barunya. Mengingat barusan Desy bilang bos barunya adalah teman kuliah suami Desy, bisa dipastikan bukan orang sini.
“Sebentar, kalau teman kuliahnya Mas Ibnu … berarti kemungkinan laki-laki?”
“Memang laki-laki,” balas Desy santai.
“Mbak, please. Kok laki-laki?” Jujur, Sara agak keberatan.
“Loh, ada masalah? Hmm, kamu takut nggak nyaman, ya? Tenang aja orangnya nggak aneh-aneh, kok. Suamiku sendiri yang jamin.”
Sara hanya tersenyum kikuk. Mau bagaimana lagi? Sudah menjadi hak bosnya memilih siapa yang akan menggantikannya. Sara bisa apa?
“Serius. Aku juga udah ketemu tadi dan memang dari wajahnya, sih, kayak kalem. Pembawaannya adem aja gitu,” kata Desy lagi. “Mau lihat orangnya?”
“Kita nyusul ke halaman belakang?” tanya Sara kemudian.
“Enggak perlu,” jawab Desy seraya berdiri. “Kita hanya perlu menuju balkon,” sambungnya.
Ah, benar juga. Kenapa Sara tidak kepikiran soal balkon? Padahal ia tahu balkon di ruang kerja Desy ini langsung mengarah ke area belakang rumah.
Sara dan Desy kemudian berjalan beriringan menuju balkon. Setelah menggeser pintu kaca, mereka berdua kini sama-sama berdiri di balkon.
“Nah, itu mereka lagi pada duduk di gazebo,” ucap Desy sambil menunjuk suaminya dan pria yang merupakan bos baru Sara.
“Aku dengar … dia seorang duda,” kata Desy lagi.
Dia seorang duda?
Sara yang penasaran, saat ini sedang menatap ke arah yang Desy tunjuk tadi. Betapa terkejutnya Sara saat merasa pria yang sedang duduk bersama Ibnu tampak sangat familier baginya. Tunggu, apa Sara salah lihat?
Menurut Sara, tidak mungkin Ravi ada di sini!
“Namanya Ravi Anggara,” ucap Desy sambil melambaikan tangan ke arah suaminya.
Mati aku….
Sara spontan kembali menatap ke bawah sana. Tampak Ibnu sedang melambaikan tangan pada Desy. Sedangkan Ravi yang kini sudah berdiri, menatap ke arahnya sehingga membuat pandangan mereka saling bertemu.
Tatapan Ravi terhadap Sara, benar-benar sulit diartikan bagi wanita itu.
Oh tidak, bagaimana ini?