Bab 11

1195 Kata
Melina mengepalkan tangannya kuat-kuat saat melihat kepulangan Alena dan Tristan dari Bali. Wajahnya memerah menahan amarah, terlebih saat rencananya dan Reyhan gagal total. Ia bahkan tak sempat menutupi kekesalannya ketika bertemu dengan Tristan di ruang tamu mereka. "Jadi, kamu benar-benar tak melihat apa yang terjadi di Bali sebagai ancaman?" desis Melina penuh emosi. Tristan hanya mengangkat alis, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana santainya. "Justru karena aku melihatnya sebagai ancaman, maka aku lebih memilih membawa Alena tinggal di rumah ini. Di bawah pengawasan kedua orang tuaku langsung." Melina menatap Tristan tajam. "Kamu gila! Ini rumahku, Tristan! Kamu ingin membawa perempuan itu tinggal di sini? Di rumahku?" Tristan mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya merendah namun penuh tekanan. "Ingat, Melina. Rumah ini milik orang tuaku. Milik keluargaku. Dan kamu hanya bagian dari keluarga itu karena statusmu sebagai istri. Jangan merasa terlalu percaya diri memiliki sesuatu yang bukan milikmu." Melina menahan napasnya, menelan hinaan yang baru saja dilontarkan suaminya sendiri. Tak lama kemudian, Alena masuk ke dalam ruangan, wajahnya tampak ragu. Namun Tristan langsung menggamit pinggang Alena dengan posesif. "Dan untuk kamu, Melina," lanjut Tristan, menatap istrinya yang pertama. "Aku sudah menetapkan aturan. Senin sampai Kamis adalah waktuku bersamamu. Sementara Jumat hingga Minggu adalah waktuku bersama Alena." "Apa?!" Melina menjerit tak percaya. "Kamu pikir aku bisa menerima itu?! Aku bisa saja ada pemotretan di luar kota, jadwal kerjaku berubah-ubah, kamu tidak bisa seenaknya!" Tristan menggeleng pelan. "Aku tidak peduli kamu ada pemotretan atau tidak. Kalau waktumu denganku sudah habis, jangan pernah minta ganti hari. Bukan aku yang harus menyesuaikan jadwalmu, tapi kamu. Kalau kamu masih ingin tetap menjadi istriku, ikuti aturanku." Alena menunduk. Meskipun dia adalah ‘pemenang’ dari konflik ini, tapi tetap saja, dia merasa tak terima dengan keputusan Tristan. Melina mendengus, matanya berkilat tajam ke arah Alena. "Kau puas sekarang, Lena? Kau berhasil merebut suamiku seutuhnya." Tristan memotong cepat, "Bukan dia yang merebutku. Tapi kamu yang melepaskanku. Sejak kamu memilih kariermu lebih dari keluargamu." Melina tercekat. Untuk pertama kalinya, dia merasa kalah. Dan lebih menyakitkan lagi, dia kalah dari wanita yang dulu hanya dia anggap sebagai penyewa rahim. "Aku akan tetap bekerja!" bentak Melina keras, lalu berjalan pergi ke kamarnya dengan kaki menghentak. Tristan menoleh pada Alena. "Dan kita akan tetap di sini. Aku ingin kamu tahu siapa yang benar-benar menjadi istriku." --- Pagi itu, suasana rumah kedua orang tua Tristan terasa berbeda. Aroma harum roti panggang dan s**u hangat memenuhi udara. Di ruang makan, Alena duduk di kursi empuk dengan perut yang mulai terlihat membuncit. Senyum lembut tak henti-hentinya menghiasi wajah Helena, ibu Tristan, yang sibuk menyiapkan sarapan spesial. “Sayang, ini...” Helena berjalan menghampiri Alena sambil membawa segelas s**u beraroma stroberi. “Mama buatkan s**u hamil rasa strawberry kesukaan kamu dan juga roti panggang!” Alena menatap gelas itu dengan tatapan canggung, lalu tersenyum kikuk. “Ma… aku bisa buat sendiri, kok. Mama nggak perlu repot-repot begini…” Helena menggeleng cepat, lalu menepuk lembut bahu Alena. “Kamu ini gimana sih… Kamu itu sedang hamil cucu pertama Mama! Segala sesuatu yang kamu butuhkan, Mama yang urus. Kamu hanya perlu istirahat dan jaga kesehatan.” Alena tersipu, menunduk sopan. “Makasih, Ma… Aku jadi nggak enak hati…” Dari ujung meja, Melina hanya menatap dingin, jemarinya mengetuk-ngetuk meja karena kesal. Matanya tajam menelusuri setiap gerak-gerik ibu mertuanya dan Alena. Seketika, kenangan masa awal pernikahannya dengan Tristan muncul di benaknya. Tak pernah sekalipun Helena membuatkan sarapan untuknya. Bahkan, ia harus memanggil pembantu jika butuh sesuatu. “Ma,” sela Melina dengan suara yang dibuat setenang mungkin. "Aku juga mau dong, roti sama s**u hangatnya!” Helena menoleh, sempat terdiam sejenak sebelum menjawab, “Kamu kan tidak hamil. Kamu juga punya tangan dan kaki. Kalau kamu malas bikin, suruh Bibi sana!” “Tapi Alena juga punya tangan dan kaki…” gumam Melina pelan, tapi cukup tajam. Helena tersenyum, tapi ada sedikit ketegasan di matanya. “Karena Alena sedang mengandung cucu Mama. Kandungannya sangat penting untuk dijaga, Mel. Dan situasi kalian saat ini berbeda. Lagipula, kamu tahu sendiri alasan Tristan menikahinya, kan?” Perkataan itu seperti tamparan halus bagi Melina. Dia menahan napas, lalu tersenyum palsu. “Iya, tentu saja. Aku ingat.” Tristan yang baru turun dari tangga langsung menghampiri Alena, mencium kening wanita itu lalu duduk di sampingnya. “Udah diminum susunya?” tanyanya lembut. “Udah, Sayang. Mama yang buatkan,” jawab Alena malu-malu. Melina merasa dadanya semakin sesak. Ia tak tahu mana yang lebih menyakitkan: perlakuan ibunya yang terasa pilih kasih, atau kemesraan Tristan dan Alena yang terus ditunjukkan di hadapannya. Melina mengepalkan tangannya. Dia tidak akan tinggal diam. Apapun, akan dia lakukan agar bisa memisahkan Tristan dan Alena. Dalam sebulan, sudah tiga kali Melina mencoba mengganggu waktu Tristan bersama Alena. Hari itu pun tak berbeda. Saat jam menunjukkan pukul enam sore—waktu Tristan seharusnya sudah berada di rumah untuk menghabiskan Jumat malam bersama Alena—sebuah pesan masuk ke ponsel lelaki itu. "Sayang, aku sudah reservasi tempat di restoran baru dekat SCBD. Tempatnya romantis banget, kamu pasti suka. Kita ketemu disana jam 7, ya?" Melina mengirimkan pesan pada suaminya. Tristan hanya menatap pesan itu dengan senyum sinis. Ia tahu benar maksud Melina. Perempuan itu memang tidak pernah benar-benar menyerah. Tapi dia juga bukan pria bodoh yang akan mengabaikan komitmennya. Tanpa membalas pesan itu, Tristan melangkah ke ruang tamu, di mana Alena duduk di sofa, membaca majalah ibu hamil. "Sayang," panggilnya lembut. Alena menoleh, tersenyum manis. "Iya?" "Kamu masih suka makanan Jepang?" tanyanya sambil duduk di sebelah istrinya. Alena mengangguk pelan. "Kenapa nanya begitu?" "Karena malam ini, suamimu yang tampan ini ngajak kamu dinner di restoran Jepang yang lagi hits. Siap-siap, ya." Alena sempat terdiam, lalu matanya menyorot rasa curiga. "Restoran Jepang dekat SCBD?" Tristan tertawa kecil. "Iya, yang itu." "Melina?" tanya Alena, setengah berbisik. "Dia juga aku ajak. Bukankah aku harus adil pada kedua istriku?" Malam pun datang. Di restoran mewah bernuansa minimalis itu, Alena dan Tristan duduk di meja VIP. Sementara itu, tak jauh dari sana, Melina melangkah masuk dengan gaun merah mencolok. Matanya langsung menyapu ruangan, mencari sosok Tristan. Namun, senyum di wajahnya menghilang saat melihat pria itu tengah menyuapi Alena dengan penuh kasih. "Sayang, coba ini deh, salmon sashiminya lembut banget," ujar Tristan, menyodorkan sumpit ke arah mulut Alena. Alena tertawa pelan, sedikit malu karena menjadi pusat perhatian. “Mas, banyak orang lihat…” "Biarin. Biar mereka tahu kamu istriku." Melina menggigit bibir bawahnya. Ia tak percaya Tristan benar-benar membawa Alena ke tempat yang seharusnya menjadi kencan pribadi mereka. Dengan langkah gemetar, ia mendekat ke meja mereka. “Tristan,” panggilnya dengan nada tinggi. Tristan menoleh, tanpa senyum. “Oh, Melina. Kamu sudah datang?” “Kita… janjian ketemu di sini, kan?” suara Melina bergetar menahan malu. “Enggak, Mel. Kamu yang ngajak. Tapi kamu lupa, hari ini Jumat. Dan kamu tahu artinya apa.” Tristan menggenggam tangan Alena dan mencium punggungnya pelan. “Ini waktuku dengan istri keduaku. Tapi, karena kamu mengajak dinner bukankah lebih bagus jika kita dinner bertiga.” Melina merasa wajahnya terbakar. Ia tak bisa berkata-kata. Dadanya sesak melihat kenyataan, bahwa Tristan tak lagi bisa diganggu seperti dulu. Di dalam hatinya, Melina bersumpah. "Aku akan membuat kalian menyesal sudah menghinaku seperti ini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN